tirto.id - Tepat hari ini sebelas tahun lalu, pada 12 Desember 2006, salah satu petugas hotel bintang tiga Grand Menteng, Matraman, Jakarta Timur, diminta mencarikan taksi guna mengangkut dua orang tamu. Salah satunya ialah Alda Risma, penyanyi yang dikenal melalui lagu "Aku Tak Biasa". Waktu itu Alda sudah terbujur kaku. Tubuhnya dingin, dari mulutnya keluar busa dan darah.
Petugas hotel membantu Ferry Surya Prakasa, kekasih Alda, menggotong wanita ini ke dalam kendaraan. Taksi kemudian melaju ke Rumah Sakit Mitra Jatinegara, yang jaraknya dekat. Pihak RS Mitra merujuk Alda ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Alda dinyatakan tewas dan kekasihnya menghilang.
Ferry adalah seorang pengusaha. Sejak 1988, ia aktif di Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), organisasi sosial-keagamaan yang menjadi wadah umat Budha di Indonesia. Sempat juga tersiar kabar dirinya seorang biksu.
Baca juga:
- Mer-C, PMI, dan Walubi Membangun RS Indonesia di Rakhine
- Cara Buddha, Hindu, dan Konghucu Mengajarkan Puasa
Alda Mati dalam Tragedi
Menurut berkas putusan setebal 61 halaman yang diunggah di situs putusan.mahkamahagung.go.id, ahli forensik RSCM Zulhasmar Samsu mengungkapkan bahwa Alda meninggal karena keracunan psikotropika. Dalam tubuhnya ditemukan sekitar 20 bekas suntikan. Suntikan itu mengandung benzodiazepine, propofol, pethidine, morfin, dan pil analgetik. Perpaduan kandungan obat-obatan tersebut menyerang sistem syaraf pusat dan saluran pernapasan Alda.
Segala macam zat itu disuntikkan ke tubuh Alda dalam waktu tiga hari berturut-turut. Pada 10 Desember, Ferry menjemput Alda di Bekasi, lokasi rumahnya. Sebelum sampai hotel, mereka mampir ke toko obat Era Baru di Pasar Pramuka. Ferry masuk ke dalam toko untuk membeli obat tidur, obat penenang, infus, vitamin, tisu alkohol, dan alat suntik. Bila dihitung, jumlah obat-obatan yang dibeli mencapai 29 botol. Ferry meminta penjaga toko untuk mencarikan suster yang bisa membantu memasang infus dan menyuntikkan cairan obat ke dalam kantong infus.
Permintaan Ferry dikabulkan. Seorang suster ikut di dalam mobil Ferry. Setelah check in dan masuk ke kamar 432, suster tersebut memasukkan cairan infus yang bercampur obat tidur ke dalam tubuh Alda.
Keesokan harinya kejadian serupa kembali terjadi. Ferry memesan obat-obatan ke toko obat Era Baru, kali ini melalui telepon. Dua orang pria mengantar pesanan Ferry. Sesampainya di kamar hotel, Ferry meminta mereka untuk membantu memegang tubuh Alda. Ferry menyuntikkan cairan ke dalam tubuh wanita ini. Tak lama kemudian, Alda tertidur. Hari itu, jika Alda terbangun, Ferry berencana akan menyuntikkan lagi cairan yang membuat kekasihnya kembali tidur.
Di hari ketiga, Ferry kembali memesan obat di toko yang sama. Obat-obat itu diantar lagi oleh dua karyawan pria yang sama. Ferry menyuntik Alda di beberapa bagian tubuh seperti tangan dan kaki. Setelah suntikan terakhir, Alda berusaha bergerak namun tak kuat. Setelah kejadian itu, Ferry meminta dua karyawan toko obat untuk tidak menceritakan apa yang mereka lihat.
Ferry memberi mereka 100 gram emas yang saat itu bisa dijual dengan harga Rp15.000.000. Kedua pria tersebut pergi dari kamar hotel sekitar pukul 09.35 WIB. Sekitar pukul 18.00 WIB, Ferry baru menghubungi petugas hotel untuk dicarikan taksi.
Dalam sebuah artikel majalah Tempo edisi 18 Desember 2006, "Tragedi Kamar 432", tertulis bahwa di perjalanan menuju rumah sakit, Ferry menghubungi Halimah, ibu Alda. Tak jelas apakah malam itu mereka sempat bertemu.
Setelah pihak RS Mitra merujuk Alda ke RSCM, Ferry memutuskan kembali ke hotel dan membereskan pembayaran. Setelah itu, ia tidak bisa ditemukan. Beberapa hari kemudian, harian Kompas (29/12/2006) dalam berita "Ferry Tiba di Jakarta, Diserahkan Keluarganya di Batam" menulis bahwa Ferry ditangkap di Singapura. Ia lalu diajukan ke meja hijau.
Dalam persidangan, emosi Halimah meluap. Harian Kompas (25/07/2007) memberitakan, Halimah menendang partisi pembatas arena sidang, melempar botol air mineral ke arah Ferry, dan berusaha menerobos partisi untuk menggapai si terdakwa. Ia tidak terima terhadap putusan 14 tahun penjara kepada Ferry.
Baca juga: Kecenderungan Membunuh pada Manusia
Saat diberi kesempatan untuk bersaksi di pengadilan, Halimah menunjukkan dan membacakan pesan singkat dari Alda yang mengandung kalimat, “Aku dipukul, ditampar, ditonjok mukaku, aku tidak rela, aku tidak salah apapun, aku diancam dan dianiaya.” Pesan tersebut membuat Halimah berpikir bahwa putrinya telah berulang kali disiksa Ferry selama setahun belakangan.
Kesedihan Halimah ditinggal sang putri sulung terasa sangat mendalam lantaran Alda adalah tulang punggung keluarga. Setelah ayah kandungnya pergi meninggalkan keluarga pada 1996, Alda mulai menanggung biaya hidup ibu dan delapan orang adik.
Suara jadi modalnya. Di tahun 1997, album pertama yang memuat lagu "Aku Tak Biasa" dirilis di bawah label rekaman Blackboard. Setelah lagu itu melesat, gaya hidup Alda berubah jadi mewah. Sekitar 1998, Alda dikabarkan bertunangan dengan Iwan Sastrawijaya, petinggi Blackboard. Tapi tidak beberapa lama kemudian, hubungan itu berakhir.
Baca juga: Suka Duka Manajer Artis
Pada 2000, Alda mulai menjalin kasih dengan Ferry, yang saat itu berstatus menikah dan punya dua anak. Hubungan ini sempat ditentang Halimah karena perbedaan keyakinan di antara mereka.
Surat putusan pengadilan menuliskan bahwa Ferry dan Alda kerap menginap bersama di hotel atau di rumah Alda. Situs berita Antara menyatakan intensitas kebersamaan pasangan ini meningkat satu tahun terakhir sebelum Alda meninggal. Zaky Tandjung, pengacara Ferry, juga menyebut bahwa mereka punya kebiasaan untuk menyuntikkan obat tidur.
Hubungan Alda dan narkoba bukan sesuatu yang baru. Pemeriksaan visum turut membuktikan Alda telah menggunakan narkotika selama satu tahun belakangan. Beberapa bulan sebelum meninggal, Alda mengalami kecelakaan tunggal yang diduga karena menyetir di bawah pengaruh obat terlarang. Artikel Tempo menyebutkan, pada Oktober 2005, Alda pernah mengalami overdosis (hlm. 32).
Baca juga: Di Balik Lolosnya Artis YG Entertainment dari Jerat Hukum
Sebelas tahun berselang, Ferry bebas dari bui. Ia dinyatakan bebas bersyarat pada 2011 setelah melalui masa hukuman 4,5 tahun penjara. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Ferry.
Salah satu alasannya karena Ferry tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana. Dua orang karyawan toko mencabut pernyataan mereka di Berita Acara Pemeriksaan dan menggantinya dengan kesaksian baru yang meringankan Ferry. Tak tersiar pula kabar dari Halimah soal bebasnya pria yang disangka membunuh si putri sulung.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Ivan Aulia Ahsan