tirto.id - Saat berkunjung ke Myanmar beberapa hari lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan bangga menyampaikan progresi pembangunan rumah sakit Indonesia di Negara Bagian Rakhine.
"Pembangunan tahap pertama Rumah Sakit Indonesia sudah selesai dilakukan," ujar Retno saat tiba di Naypyidaw, sebagaimana siaran pers Kementerian Luar Negeri, Senin (4/9).
Sepekan sebelumnya, ketika menggelar jumpa pers di Jakarta, untuk meredam kegaduhan kritik yang menuding pemerintahan Joko Widodo diam atas krisis kemanusiaan terhadap etnis Rohingya, Menlu Retno memakai rumah sakit Indonesia sebagai aksi nyata bahwa pemerintah terlibat aktif menyalurkan bantuan di sana. Di depan awak media, Menlu Retno menunjukkan gambar rancangan rumah sakit Indonesia - Myanmar.
Ia menyebutkan proyek pembangunan ini langkah sinergi antara Kemlu Indonesia dengan koalisi 11 lembaga swadaya masyarakat dan organisasi Indonesia, yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM).
"Pemerintah tengah mengembangkan proyek pembangunan rumah sakit Indonesia di Negara Bagian Rakhine. Pembangunan itu sudah mendapat izin dari pemerintah pusat Myanmar dan otoritas daerah di Rakhine," ujarnya, akhir Agustus lalu.
Apa yang diucapkan Menlu Retno soal sinergi antara Kemlu dan LSM bantuan kemanusiaan memang benar. Namun, sinergi ini hanya lobi-lobi politik soal perizinan.
Soal pendanaan, pemerintah sama sekali tidak mengeluarkan uang untuk pembangunan rumah sakit tersebut.
"Pemerintah hanya membantu lewat lobi-lobi kepada militer lewat KBRI di Yangon, tetapi sebetulnya lobi-lobi sendiri juga kami lakukan," kata Presidium MER-C, Joserizal Jurnalis. MER-C singkatan dari organisasi sosial kemasyarakat Medical Emergency Rescue Committee .
Rumah sakit ini akan dibangun di Desa Muang Bwe, Kota Mrauk U, sebuah kota kecil berjarak 80 kilometer sebelah timur laut dari Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine. Penggagas kehadiran rumah sakit ini adalah MER-C.
"Kita mulai assignment pada Agustus 2015," ujar Joserizal.
Baca juga: Sangat Susah Menyalurkan Bantuan Kemanusiaan ke Rohingya
Joserizal menceritakan, ketika berkunjung ke Mrauk U, MER-C tertarik atas tanah yang dinilai strategis, diapit sebatang sungai dan jalan raya. Daerah ini bekas banjir dan saban tahun terendam hingga dua meter. MER-C lantas membeli tanah seukuran 4.000 meter persegi itu.
"Bukan beli sebetulnya, hanya ganti hak garap. Karena itu tanah milik pemerintah," ujarnya.
Rencana pembangunan rumah sakit ini mengendap hampir setahun. Sebabnya, MER-C masih kekurangan dana.
Pada Juli 2016, ada KTT Asia-Eropa di Mongolia. Wakil Presiden Jusuf Kalla hadir di acara itu. Tanpa diduga, Kalla ditegur oleh seorang jenderal Myanmar yang hadir di pertemuan itu. Ia menanyakan soal kelanjutan kabar pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Rakhine.
Sepulang dari Mongolia, Kalla menggelar pertemuan dengan MER-C. Kalla juga memanggil Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Rencananya, Walubi dilibatkan dalam proses pembangunan rumah sakit tersebut.
Menurut Kalla, rencana pembangunan rumah sakit bersama MER-C tersebut untuk memberikan contoh nyata toleransi antar umat beragama di Indonesia bagi masyarakat Myanmar.
"Sengaja kami bikin itu. Untuk memperlihatkan kepada Myanmar bahwa sebenarnya antara Islam dan Buddha bisa bekerja sama," ujarnya, 16 Juni tahun lalu.
Melibatkan MER-C, Walubi, dan Palang Merah Indonesia
Kehadiran Kalla bukan dalam kapasitas sebagai wakil presiden, melainkan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI). Artinya, Kalla tidak bisa membantu menggelontorkan uang negara untuk membangun rumah sakit tersebut.
Semua sumber dana mengandalkan donasi. Karena berposisi sebagai ketua PMI, selain Walubi, PMI pun dilibatkan penggalangan dana.
Penggalangan dana oleh Walubi dan PMI baru efektif pada Juli 2017. Pada bulan yang sama pula, pembangunan tahap pertama dimulai.
Tahap ini meliputi peninggian tanah untuk menghindari dampak banjir, pemagaran di sekeliling lahan, dan survei pengolahan air.
"Semua Tahap I ini dari uang MER-C. Tahap II baru kita mulai kerja sama dengan Walubi dan PMI," kata Joserizal.
Untuk pembangunan fisik rumah sakit tahap kedua, mereka butuh dana sekitar 1-2 juta dolar AS (antara Rp13 miliar - Rp14 miliar). Dana yang besar ini antara lain untuk membangun rumah dokter, perawat, gedung rumah sakit, dan alat-alat kesehatan.
Joserizal menjelaskan, semua sumber dana ini diperoleh dari MER-C, PMI, dan Walubi.
"Sudah ditentukan besarannya, semuanya dibagi rata. Jadi, tagihan untuk bangunan ini kepada MER-C, PMI, dan Walubi sama. Namun, yang mengoordinir pelaksana lapangan tetap kami," ucapnya lagi.
Di tempat terpisah, Kabid Humas PMI Aulia Arriani berkata PMI siap memenuhi target penyelesaian RS Indonesia di Rakhine.
Berkaca pada pengalaman sebelumnya pada 2015, PMI pernah melakukan penggalangan dana. Hasilnya cukup memuaskan; mencapai Rp544 juta plus 1 juta dolar AS (Rp13 miliar).
"Peran kami memang hanya fokus pada penggalangan dana. Untuk pelaksanaan, semua diserahkan kepada MER-C," kata Aulia, yang mengatakan donasi akan dibuka sampai akhir tahun 2018.
Optimisme sama juga diucapkan perwakilan Walubi. Ketua umum Walubi Sri Hartati Murdaya berkomitmen bahwa Walubi akan ikut membantu pembangunan rumah sakit ini hingga bisa beroperasi.
"Kerja sama ini strategis untuk memperlihatkan harmonisasi antara umat beragama di Indonesia kepada masyarakat Myanmar," ujarnya.
Bantuan ini adalah bentuk umat Buddha di Indonesia menolak aksi kekerasan dan pelanggaran tragedi kemanusiaan di Rakhine, katanya.
Menurut Hartati, pihak Walubi, PMI, dan MER-C telah sepakat bahwa lokasi rumah sakit ditetapkan di tengah-tengah wilayah antara masyarakat muslim Rohingya dan Buddha Rakhine.
Fungsinya agar ada interaksi antara penduduk beda agama. Dan dari sanalah, katanya, akan muncul empati dan simpati hingga, harapan terbesarnya, kedamaian bisa tercipta.
Ketua Dewan Kerukunan Walubi, Suhadi Sendjaja, berkata keterlibatan Walubi membangun RS Indonesia "hanya bagian kecil" kepedulian Walubi terhadap konflik di Myanmar.
Sebelumnya, pada 2013, Walubi mendatangi kedutaan Myanmar dan mengutuk tindakan rezim junta militer. Pada Desember 2014, Walubi dan MUI terbang ke Myanmar untuk menyalurkan bantuan sekaligus melihat langsung kondisi krisis kemanusiaan di sana.
Ketika ratusan pengungsi Rohingya terdampar di Aceh pada 2015, Walubi pun ikut serta menyalurkan bantuan makanan, obat-obatan, dan perangkat salat.
Suhadi mengatakan, satu hal yang ingin ditekankan oleh Walubi adalah konflik di Rakhine bukanlah konflik agama antara Islam versus Buddha, tetapi konflik kemanusiaan yang pelakunya tidak menerapkan ajaran agama secara benar.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam