tirto.id - Para penggemar komik Jepang atau manga dan anime seperti Kapten Tsubasa, Naruto, bahkan mungkin karya Junji Ito seperti Tomie awalnya hanya dicap otaku alias orang yang benar-benar tergila-gila pada manga dan anime. Sebagian orang menganggap otaku culun, pendiam, dan anti-sosial. Tapi pada1988, otaku mulai dianggap sebagai hobi yang berbahaya: mereka dipandang mudah melakukan pembunuhan keji.
Tsutomu Miyazaki lahir pada 21 Agustus 1962 dari keluarga kaya. Ayahnya, Katsumi Miyazaki, adalah seorang pemilik Akikawa Shimbun, harian lokal dari jaringan koran Itsukaichi. Meski nilai sekolahnya buruk, Miyazaki bisa memperoleh pendidikan sampai bangku kuliah.
Kehidupan Miyazaki jauh dari kata sempurna. Karena lahir prematur, tangannya cacat seumur hidup: terlihat keriput dan tulangnya menyatu dengan bagian lengan bawah. Dengan kata lain, Miyazaki tidak punya tulang pergelangan tangan dan harus menggerakkan seluruh lengan bawah jika ingin menggerakan tangan.
Miyazaki sering menjadi olok-olok di sekolah sehingga menjadi pendiam dan penyendiri. Sulit mencari orang yang bisa menjadi teman akrab Miyazaki. Teman-teman satu sekolah justru menyebutnya punya “tangan yang konyol". Samantha Lyon dan Daphne Tan mengisahkan dalamSupernatural Serial Killers: What Makes Them Murder? (2015) bahwa cemoohan ini menjadi salah satu luka mental yang mendorong Miyazaki menjadi pembunuh kelak.
Saat kuliah, Miyazaki mengambil jurusan fotografi. Dia sering hadir di acara-acara olahraga kampusnya. Namun, berdasarkan pengakuan teman kampusnya, Miyazaki tidak tertarik pada olahraga, dia hanya senang mengambil foto-foto mahasiswi yang ikut lomba dan kemudian menggunakannya sebagai bahan imajinasi untuk masturbasi.
Setelah kuliah, kehidupan Miyazaki kian kacau. Dia berhasil mendapat pekerjaan di tempat teman ayahnya, tapi kebiasaan cabul Miyazaki makin menjadi-jadi. Saudari kandungnya sempat memergoki Miyazaki mengintip dirinya saat mandi. Ketika ditegur, Miyazaki malah menyerangnya. Ia juga menyerang ibunda yang mengomeli dirinya.
Tiga bulan kemudian, sehari setelah ulang tahun ke-26, Miyazaki mengendarai Nissan Langley di Saitama, Tokyo, yang berjarak puluhan kilometer dari kampung halamannya di Itsukaichi. Miyazaki kemudian menemukan gadis berumur empat tahun bernama Mari Konno. Dia adalah korban pertama Miyazaki.
Konno menerima ajakan Miyazaki untuk masuk ke dalam mobil. Saat itu Miyazaki menawarkan Konno mengajaknya jalan-jalan ke tempat yang bagus. Mereka berkendara selama 90 menit dan Konno semakin jauh dari rumah.
Di daerah yang penuh pepohonan, Konno dan Miyazaki berjalan menjauhi jalur pendakian. Setelah berbincang selama 30 menit, Miyazaki kemudian mencekik Konno hingga tewas. Belum cukup puas, Miyazaki kemudian melucuti pakaian Konno dan melakukan kekerasan seksual kepada bocah empat tahun tersebut sambil mengabadikan momen tersebut dengan kameranya.
Tubuh Konno yang terbujur kaku digulingkan begitu saja di bukit dekat rumahnya, kurang lebih 50 kilometer dari rumah si gadis. Baju Konno dibawa pulang oleh Miyazaki.
Pembunuhan kedua terjadi di lokasi yang sama pada 3 Oktober 1988. Miyazaki menemukan bocah perempuan umur tujuh tahun bernama Masami Yoshizawa. Miyazaki berhasil membujuk Yoshizawa masuk ke dalam mobil, menuntunnya ke daerah yang sama tempat ia membunuh Konno dan mencekiknya hingga tewas. Lagi-lagi Miyazaki melampiaskan hasrat seksualnya di sana dan menyimpan baju korban.
Dua bulan kemudian, 12 Desember 1988, Miyazaki membunuh bocah empat tahun bernama Erika Nanba di Naguri, Saitama. Dia memaksa Nanba membuka bajunya kemudian mengambil gambar bocah malang yang ketakutan itu. Miyazaki kemudian mencekik leher Nanba dan mengikat tangan serta kakinya ke belakang. Setelahnya, tubuh bocah itu dibuang begitu saja di hutan belakang tempat parkir.
Pembunuhan terakhir Miyazaki dilakukan setengah tahun kemudian, tepatnya pada 6 Juni 1989. Dia mencekik bocah umur lima tahun bernama Ayoko Nomoto setelah sesi fotografi di taman. Nomoto melawan mati-matian. Pengakuan Miyazaki setelahnya, Nomoto terus meronta selama empat hingga lima menit dan melawan dengan kakinya. Perlawanan itu tak bisa menghentikan Miyazaki.
Bedanya kali ini, jenazah Nomoto dibawa pulang oleh Miyazaki. Selama dua hari, mayat Nomoto menjadi korban kebejatan seksual Miyazaki. Bersama mayat itu pula Miyazaki berbagi kasur.
Setelah tubuh Nomoto membusuk, Miyazaki membaginya menjadi beberapa bagian kemudian meminum darah Nomoto. Tidak hanya itu, ia juga melakukan aksi kanibalisme dengan memanggang tangan korban di belakang rumahnya. Setelah menyantapnya, Miyazaki mencampakkan tubuh Nomoto di toilet dekat kuburan dan membuang sisanya ke bukit terdekat.
Khawatir jenazah akan ditemukan, Miyazaki kembali mengambil bagian tubuh di bukit itu dan menyimpannya di rumah.
Mempermainkan Keluarga Korban
Modus Miyazaki sebenarnya berantakan dan penuh celah. Segala kejahatannya dilakukan berdasarkan insting dan nafsu semata. Ia bahkan hampir tertangkap beberapa kali.
Pada kasus ketiga, misalnya, petugas Youth Nature Facility melihat potongan baju Nanba di tempat parkir di mana Miyazaki menculik korban. Kepolisian kemudian melakukan pencarian besar-besaran dan berhasil menemukan jenazah Nanba di tengah hutan.
Setelah informasi ini disampaikan ke publik, dua orang melapor ke kepolisian. Mereka mengaku membantu seorang pria yang ban mobilnya terperosok di pembatas jalan. Pria itu terlihat membawa selembar kain yang disimpan ke dalam bagasinya. Sayangnya, dua orang ini mengidentifikasi mobil pelaku sebagai Toyota Corolla. Saat itu, Corolla menjadi mobil sangat laris di Jepang dan sulit mengidentifikasi semuanya.
Saksi ini pula yang menjadi analisa mengapa Miyazaki sempat menghentikan aksinya selama enam bulan.
Miyazaki juga hampir tertangkap saat berusaha mengeksekusi Ayako Nomoto pada 1 Juni 1989. Dia membujuk Nomoto agar melepaskan celana dalam, tetapi warga sekitar memergokinya. Namun, Miyazaki berhasil kabur sebelum polisi sampai di TKP. Nahas, lima hari kemudian, Miyazaki nekat melakukan aksinya. Nomoto hanya hidup lima hari lebih lama.
Di balik aksi yang ceroboh, Miyazaki berulang kali mempermainkan keluarga korban.
Ketika Konno menghilang, polisi langsung menindak cepat dengan menyatakan kasus itu sebagai pembunuhan. Seluruh rumah di area Saitama, Tokyo, didatangi polisi. Saat itu mobil-mobil polisi ada di jalan raya dan memberikan pengumuman lewat pengeras suara agar orangtua menjaga anaknya. Namun, meski ciri-ciri korban sudah digambarkan dengan deskripsi lengkap, tidak ada yang bisa menemukannya.
Namun, seperti dicatat Victor McQueen dalam The World's Worst Serial Killers: Monsters whose crimes shocked the world (2015), Miyazaki malah mengirimkan surat kepada ibu korban, Yukie Konno: “Ada iblis berkeliaran”. Polisi menanggap surat itu sebagai prank dari orang tak dikenal. Namun, di kemudian hari mereka sadar surat itu memang benar-benar dari Miyazaki.
Ketika polisi sulit menemukan jasad korban seperti Mari Konno, Miyazaki justru beberapa kali kembali ke lokasi pembuangan mayat. Satu ketika, dia membawa pulang bagian tangan dan kaki Konno, kemudian membakar sisanya. Pada 6 Februari 1989, abu itu dia masukan ke kotak bersama gigi dan foto baju korban, kemudian dikirim ke rumah orangtua Konno. Shigeo Konno, ayah Mari Konno, menemukan kotak itu disertai sepucuk kertas bertuliskan “Mari. Tulang-belulang. Dikremasi. Investigasi. Bukti".
Awalnya, dokter gagal mengidentifikasi gigi milik Konno. Namun Miyazaki justru mengirim surat lagi dengan nama “Yuko Imada” yang menyatakan bahwa dia telah membunuh tiga anak perempuan dan semua yang ada di kotak itu memang sisa-sisa tubuh Konno. Dokter kemudian merevisi bahwa gigi tersebut memang milik Mari Konno.
Bukan hanya keluarga Konno, Shin’ichi Namba, ayah dari korban ketiga, Erika Namba, juga menerima surat seminggu setelah kematian anaknya. Tulisannya: “Erika. Dingin. Batuk. Tenggorokan. Istirahat. Mati”. Polisi kemudian mengaitkan dua kematian itu dalam satu peristiwa. Dengan ini jelas satu hal bahwa pembunuh berantai memang berkeliaran di Saitama.
Satu lagi langkah sembrono Miyazaki adalah sering menelepon keluarga korban tanpa berkata apapun. Jika telepon tak diangkat, dering itu akan berlangsung sekitar 20 menit. Namun, sebagaimana dicatat McQueen, tindakan yang dilakukan oleh Miyazaki itu “gila, menghina, dan keji”.
Keteledoran Miyazaki akhirnya mengantarkannya ke penjara. Pada 23 Juli 1989, Miyazaki menyambangi dua gadis perempuan yang tengah bermain di Hachioji, sekitar 40 kilometer dari pusat kota Tokyo. Tipu muslihat Miyazaki berhasil menggiring satu anak perempuan itu ke bangku belakang mobilnya. Sang gadis sudah telanjang dan ketakutan. Di hadapannya, Miyazaki mengambil gambar bagian vital tubuh gadis kecil itu.
Sang kakak untungnya cepat mengadu ke ayah. Ketika sampai di mobil Miyazaki dan melihat pemandangan brengsek itu, sang ayah langsung melayangkan bogem mentah ke kepala Miyazaki. Kendati begitu, Miyazaki berhasil kabur dan polisi terlambat datang ke lokasi.
Karena cocok dengan deskripsi pelaku yang diperkirakan polisi, maka petugas menunggu di mobil untuk menyergap Miyazaki. Tak berapa lama, Miyazaki dengan polosnya kembali ke TKP. Polisi sudah menunggu.
Di rumah Miyazaki, polisi menemukan sisa-sisa bagian tubuh korban, termasuk Mari Konno. Seisi ruangan dipenuhi oleh berbagai rekaman video dan komik Jepang. Rekaman video itu juga meliputi animasi dengan kategori pornografi dan rekaman saat Miyazaki melakukan pelecehan seksual terhadap mayat korban.
Dari situ, media massa menjuluki Miyazaki “Otaku Pembunuh”.
Memberi Label Buruk Otaku
Persidangan Miyazaki dihadiri oleh 1.500 orang. Hanya sekitar 50 orang yang bisa masuk. Sepanjang sidang, Miyazaki justru sering menghabiskan waktu untuk tidur.
Saat persidangan tidak ada satupun kata maaf yang terlontar kepada korban atau keluarga korban. Miyazaki bahkan sempat meminta mobil dan koleksi manga serta videonya dikembalikan. Pengadilan punya satu tugas besar yaitu memutuskan bahwa Miyazaki gila atau waras sebelum menjatuhinya hukuman mati.
Para psikiater yang memeriksa Miyazaki tak bisa memberi kepastian tentang apa yang diderita pelaku; entah skizofrenia atau kepribadian ganda, entah kepribadian itu muncul ketika membunuh atau setelah sang pelaku dipenjara. Hakim akhirnya memutuskan kondisi kejiwaan Miyazaki tak cukup bisa membuatnya lolos dari hukuman mati.
Meski banyak video dan manga animasi yang berhubungan dengan seks, kanibalisme, dan sebagainya, tapi ada juga dugaan lain terkait motif pembunuhan oleh Miyazaki. Salah satu psikolog yang berhasil memeriksa dengan Miyazaki adalah Hirokazu Hasegawa. Ia mendengar Miyazaki mengakui perbuatannya dilakukan oleh sosok lain. Entah apa yang dibayangkan oleh Miyazaki, tapi ia menyebut sosok itu sebagai "manusia tikus".
Kedua, sejak lahir, Miyazaki memang tak dekat dengan orangtua dan saudara-saudara kandungnya. Ia lahir dari hubungan insesatau sedarah antara ayah dengan kakak perempuan tertuanya. Kakak perempuannya juga merasa jijik dengan cacat fisik yang diderita Miyazaki. Setiap hari, Miyazaki lebih sering menghabiskan waktu bersama kakeknya.
Setelah penangkapan, Miyazaki mengaku hanya ingin didengarkan oleh keluarganya. Dia menyalahkan kedua orangtuanya karena mengabaikan dirinya. Miyazaki pun yakin sudah berusaha membuka diri kepada keluarga.
Mendengar pengakuan ini, ayah Miyazaki meminta maaf kepada publik. Pada 1994, ia memutuskan bunuh diri dengan meloncat ke sungai.
Miyazaki memakan sedikit abu hasil kremasi jenazah kakeknya karena percaya itu akan membangkitkan orang kesayangannya. Tiga bulan berikutnya, dia melakukan aksi pembunuhan pertamanya. Salah satu dugaan, kematian kakeknyalah yang mendorong Miyazaki berbuat demikian.
Sharon Kinsella dalam artikelnya berjudul "Japanese Subculture in the 1990s: Otaku and the Amateur Manga Movement" (1998) mencatat bahwa media sejak itu kerap mengasosiasikan otaku sebagai individu berbahaya dan cabul. Hasilnya, banyak manga yang belum dipublikasikan disensor oleh kepolisian.
Melalui studi "An Unholy Alliance of Eisenstein and Disney: The Fascist Origins of Otaku Culture" (2013), Ōtsuka E. dan T. Lamarre memandang pembunuhan oleh Miyazaki menyebabkan munculnya stigma yang buruk terhadap otaku. Meski perbuatan Miyazaki tak bisa dimaafkan, bagi Ōtsuka dan Lamarre menyalahkan hobi membaca manga dan menonton anime adalah sesuatu yang keliru.
“Entah mengapa aku menjadi marah melihat penilaian kejahatan Miyazaki terus dikaitkan dengan hobi atau kegemaran otaku,” tulis Ōtsuka.
Hari-hari terakhir Miyazaki dihabiskan dengan saling berkirim surat kepada Hiroyuki Shinoda, salah satu editor majalah Jepang. Ada sekitar 300 surat yang dikirim oleh Miyazaki. Tak satu pun dari surat itu yang menujukkan penyesalan. Miyazaki bahkan mengutuk hakim yang memutus perkaranya sebagai seorang idiot. Tak lupa, dia juga masih mengglorifikasi kekejaman-kekejaman masa lalunya.
“Tidak ada yang bisa aku katakan kepada korban. Aku justru senang aku telah melakukan kebaikan,” tulis Miyazaki.
Miyazaki dihukum gantung pada 17 Juni 2008. Setelah 20 tahun, Miyazaki akhirnya mendapat hukuman atas perbuatannya.
Editor: Windu Jusuf