Menuju konten utama
20 Agustus 1940

Detik-Detik Ramon Mercader Membunuh Leon Trotsky

Trotsky lalai pada suatu sore 20 Agustus 1940. Frank Jacson, orang yang diajaknya diskusi soal tulisan, ternyata adalah Ramon Mercader, seorang agen Stalin.

Detik-Detik Ramon Mercader Membunuh Leon Trotsky
Ilustrasi Mozaik Leon Trotsky. tirto.id/Nauval

tirto.id - Sore di Mexico City, 20 Agustus 1940, tepat hari ini 80 tahun lalu.

“Saya berada di atap dekat menara penjaga dengan Charles Cornell dan Melquiades Benitez. Kami sedang menghubungkan sebuah sirine yang kuat dengan sistem alarm yang akan digunakan bila GPU menyerang kembali,” tulis Joseph Hansen dalam artikelnya "With Trotsky to the End di Fourth International" (Vol.1 No.5, Oktober 1940).

Gosudarstvennoye Politicheskoye Upravlenie (GPU) adalah unit intelijen Soviet. Sebelumnya, unit ini mengirim agen-agennya pada 24 Mei 1940 untuk menyerang seseorang yang Joseph Hansen dan kawan-kawannya lindungi. Selama belasan tahun, Leon Trotsky, orang yang dijaga Joseph Hansen itu, dikejar-kejar. Bahkan satu per satu anaknya terbunuh oleh agen-agen Soviet kiriman Stalin.

Sekitar pukul 05.20, Frank Jacson—orang yang mereka kenal sebagai simpatisan Internasional Keempat dan suami Sylvia Ageloff muncul di depan pagar. Dia mengendarai sedan Buick. Waktu hendak keluar dari mobil, dia melambai pada para penjaga dan berteriak, “Sylvia sudah tiba?”

Para penjaga itu terkejut. Orang yang mereka jaga membuat janji dengan Jascon tanpa memberi tahu mereka. Trotsky lagi-lagi lalai. Penjaga itu pun menjawab, “belum.” Tanpa menunggu lama, Cornell membuka pintu lapis baja untuknya dan Harold Robins menerimanya di pekarangan. Jacson menyangklong sebuah jas hujan di lengannya. Kala itu memang sedang musim hujan sehingga jas hujan tak menarik perhatian pengawal.

Trotsky sedang memberi makan ayam dan kelinci di pekarangan ketika Jacson datang. Kemewahan itulah yang ia nikmati dalam ruang geraknya yang sempit. Trotsky kemudian berbicara dengan Jacson tanpa disertai pengawal. Meski ada yang tidak biasa, para pengawal tidak curiga kepada Jacson dan memilih mengerjakan hal lain di rumah pengungsian Trotsky itu.

Jacson menunjukkan sebuah tulisan kepada Trotsky. Mereka berdua pun menuju ruang baca, berbincang di dekat meja. Posisi Jacson berada di kiri belakang Trotsky.

“Kesempatan ini terlalu bagus untuk dilewatkan,” ungkap Jacson.

Tak lama kemudian, seperti kata Jacson pada polisi, “Saya mengambil kapak-es. Saya angkat tinggi-tinggi. Saya menutup mata saya dan menghantamnya dengan segenap tenaga saya ... Selama saya hidup, saya tidak akan melupakan teriakannya ...”

Para pengawal terkejut mendengar teriakan orang kesakitan dari dalam rumah. Mereka tahu sumber suara dari ruang baca Trotsky. Melquiades sudah membidik senapannya ke jendela di lantai bawah. Terlihat oleh pengawal, Trotsky yang berjaket biru sedang berkelahi dengan seseorang.

“Jangan tembak!” teriak Hansen kepada Melquiades, “kau akan mengenai Trotsky!” Melquiades dan Cornell tetap berada di atap, mengawasi pintu keluar ruang belajar. Alarm menyala. Ketika Hansen tiba, Trotsky tertatih-tatih keluar dari ruang baca. Wajahnya sudah berlumur darah.

“Lihat apa yang telah mereka lakukan padaku!” pekik sang korban.

Jacson pun mereka cari. Ia masih berada di ruang baca. Laki-laki yang kini bersama pistol otomatis di tangannya itu terkejut. Harold yang lebih dekat padanya pun diperintahkan Hansen untuk meringkusnya. “Tangani dia! Saya akan melihat bagaimana keadaan Trotsky.” Ketika Hansen hendak balik kanan untuk menuju Trotsky, Harold sudah membantingnya ke lantai.

Trotsky ditemukan di ruang makan. Natalia Sadova, istri Trotsky, hanya menangis. “Lihat apa yang telah mereka lakukan,” kata Natalia. Luka kepala Trotsky sekilas tampak tidak parah.

“Apa yang terjadi?” tanya Hansen pada Trotsky. “Jacson menembak saya dengan sebuah pistol; saya terluka parah...,” kata Trotsky yang merasa dirinya ditembak. Hansen pun meyakinkan lawan bicaranya bahwa, “ini hanya luka di permukaan. Kau akan sembuh.”

Hansen menekankan bahwa tak ada suara tembakan, Trotsky pun bingung.

Hansen kemudian segera meminta dipanggilkan ambulans. Agar Trotsky cepat tertolong, Cornell diperintahkan menuju rumah dokter Dutren yang tak jauh jaraknya dan pernah menolong keluarga Trotsky. Setelah Cornell pergi, ruang baca tetap gaduh.

Trotsky pun memberi perintah, “Beritahu anak-anak untuk jangan membunuhnya,” kata Trotsky. “Dia harus berbicara!”

Jacson, yang mantan gerilyawan Perang Saudara di Spanyol itu, mencoba kabur dari Harold. Pistol otomatis miliknya sudah tergeletak di meja. Kapak yang digunakannya tergeletak di atas meja, tentu penuh lumuran darah.

Infografik Mozaik Leon Trotsky

Infografik Mozaik Leon Trotsky. tirto.id/Nauval

“Aku lalu bergabung untuk menangkap Jacson, memukulnya di mulut dan di rahangnya, dan mematahkan tulang tanganku,” kata Hansen.

“Mereka telah memenjarakan ibu saya … Sylvia Ageloff tidak terlibat … Tidak, ini bukan ulah GPU; saya tidak memiliki hubungan apapun dengan GPU...,” kata Jacson.

Dia menegaskan bahwa GPU tak terlibat. “Mereka memaksaku melakukan ini,” kata Jacson tanpa menjelaskan siapa yang dimaksudnya. Hansen, menurut International Committee of the Fourth International dalam How the GPU Murdered Trotsky (1981), adalah sebagai agen GPU dan FBI.

Setelah koma 24 jam, Trotsky akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Jacson kemudian berada di tangan polisi.

Ternyata, dia punya dua nama lain: Jacques Monard dan Jaime Ramón Mercader del Río alias Ramon Mercader. Yang disebut belakangan adalah nama aslinya. Dia kelahiran 7 Februari 1913 di Barcelona, Spanyol. Sebagai ganjaran membunuh Trotsky, Jacson alias Ramon harus dipenjara 20 tahun di Meksiko.

Menurut Isaac Don Levine dalam The Mind of an Assassin (1960), Stalin juga mengganjarnya. Tentu dengan penghargaan pada 1940. Nama penghargaan itu Order of Lenin. Karena Ramon alias Jacson sedang dipenjara, penganugerahan itu diwakilkan kepada ibunya, Maria Caridad.

Ramon baru bebas setelah Kuba dikuasai Fidel Castro dan kawan-kawan. Setelah bebas dari penjara Palacio de Lecumberri pada 6 Mei 1960, Kuba adalah negara yang pertama kali dia tuju. Dia disambut hangat di sana. Setelahnya, dia pergi ke Moskow dan dianugerahi penghargaan lagi: Hero of the Soviet Union, pada 1961. Saat itu Stalin sudah mampus dan Nikita Khruschev berkuasa di Uni Soviet menggantikan diktator itu.

Belasan tahun kemudian, Ramon meninggal dunia pada 1978 karena kanker di Havana. Di Kuba, Ramon punya nama baru: Ramón Ivanovich Lopez.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh