tirto.id - Ribuan mahasiswa Indonesia berbondong-bondong pindah kewarganegaraan Singapura. Dari data Direktorat Jenderal Imigrasi tercatat ada 3.912 mahasiswa pindah kewarganegaraan menjadi warga Singapura.
Angka tersebut akumulasi rentang periode 2019 hingga 2022. Artinya, ada sekitar 1.000 orang rata-rata per tahunnya memutuskan menetap dan tinggal di negara tersebut.
"2023 belum selesai (datanya), jadi kita tidak masukan dalam analisis," ujar Direktur Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Silmy Karim lewat sambungan telepon, Kamis (13/7/2023) malam.
Rata-rata usia mereka yang memutuskan pindah kewarganegaraan berada di rentang usia 25 sampai 35 tahun. Kesempatan hidup yang lebih menjadi salah satu faktor mereka pindah.
"Ini berkaitan dengan kehidupan yang lebih baik gitu saja. Kan gitu. Kalau tawarannya lebih baik dia pindah," katanya.
Silmy mengklaim pemerintah tidak bisa memaksakan mereka untuk tetap menjadi warga negara Indonesia. Sebab, memilih kewarganegaraan merupakan hak asasi.
"Kita tidak bisa melakukan upaya dalam konteks menghalangi karena itu hak dia," imbuhnya.
Walaupun hak, dia pun khawatir nantinya Tanah Air kehilangan talenta-talenta muda. Sebab itu, dia berharap pemerintah melakukan mitigasi dengan melibatkan lintas dari Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait.
"Ini pekerjaan rumah K/L. Sekarang kan baru diungkap, tidak langsung ada jawabannya. Apalagi saya sebagai Dirjen Imigrasi ada keterbatasan ini kan masalah bersama," katanya.
Kesempatan Kerja Lebih Baik
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai fenomena ribuan mahasiswa Indonesia pindah kewarganegaraan Singapura lantaran kesempatan kerja yang lebih baik. Apalagi, Singapura dikenal sebagai financial centre (pusat finansial) dan digital economy hub (pusat ekonomi digital) khususnya di Asia Tenggara.
Munculnya ekonomi digital membuat perusahaan di Singapura mencari para talenta-talenta dengan skill tertentu. Begitu juga di sektor keuangan yang membutuhkan tenaga ahli dari Indonesia.
"Masalahnya Singapura negara kecil, dan hanya dijadikan sebagai perantara investasi dengan tujuan ke Indonesia. Begitu ada investor atau perusahaan mau ekspansi ke pasar Indonesia yang besar, maka mereka rekrut pekerja Indonesia dari beragam latar belakang karena dianggap memiliki pengetahuan lebih soal Indonesia," ujar Bhima kepada Tirto.
Negara yang terkenal dengan ikon patung Merlion itu juga memiliki daya pikat dari sektor pendidikan. Tawaran beasiswa dari lembaga di Singapura bagi pelajar Indonesia mulai dari sarjana sampai doktoral. Sementara, dari sisi pelajar indonesia melihat rating universitas atau pendidikan di Singapura lebih bagus dari Indonesia terutama di bidang sains, ekonomi hingga sosial politik.
Dalam laporan QS World University Rankings, pencapaian universitas terbaik di Asia Tenggara disabet Singapura pada 2021. Prestasinya diwakili National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) dengan skor masing-masing sebesar 91,5 poin dan 89,9 poin.
Universiti Malaya (UM) dari Malaysia berada di posisi ketiga Asia Tenggara dengan skor 70,1 poin. Disusul, Universiti Putra Malaysia (UPM) skor 52,7 poin.
Sementara itu di Tanah Air, Universitas Gadjah Mada (UGM) tercatat memiliki skor 37,4 poin dan berada di posisi kesepuluh. Sedangkan, Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) ada di peringkat 12 dan 13. Keduanya memiliki skor 34 poin dan 33,3 poin.
"Gelar yang didapatkan (di Singapura) juga lebih bergengsi dan berkorelasi dengan pendapatan atau gaji yang menjanjikan," kata dia.
Kualitas Hidup & Negara Makmur
Dalam gambar ini diambil Sabtu, 21 September 2019, menunjukkan patung Merlion dengan latar belakang kawasan bisnis di Singapura. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyerukan pemilihan baru untuk mencari mandat baru selama pandemi coronavirus. AP / Vincent Thian
Negara yang hanya memiliki luas hanya 728,6 km² mempunyai kualitas hidup yang baik. Bhima menuturkan Singapura menempati urutan ke-28 negara paling bahagia di dunia, sementara Indonesia di urutan ke 86 dunia.
"Soal kualitas hidup misalnya, Singapura menempati urutan ke-28 negara paling bahagia di dunia," kata Bhima.
Laporan World Prosperity Index atau Indeks Kemakmuran Dunia Dunia pada akhir 2021 menjelaskan Singapura merupakan negara paling makmur di Asia Tenggara dengan skor rata-rata 79,05. Sementara, Tanah Air berada di peringkat ketiga Asia Tenggara dengan skor 60,61.
Legatum Institute mengukur tingkat kemakmuran 167 negara dengan rentang skor 1-100. Semakin tinggi skor yang diraih, artinya semakin makmur negara tersebut
Sedangkan indeksnya dihitung berdasarkan 12 elemen kemakmuran yang dikelompokkan menjadi tiga variabel utama, yaitu masyarakat inklusif, ekonomi terbuka, dan masyarakat berdaya.
Masyarakat inklusif menjadi syarat penting untuk kemakmuran suatu negara. Elemen-elemen dalam variabel ini terkait dengan hubungan antara masyarakat dan negara, kekerasan dalam sosial, kebebasan kelompok dan individu dalam berinteraksi, serta cara individu berinteraksi. Adapun hal yang dinilai dalam variabel ini adalah keamanan dan keselamatan, kebebasan pribadi, tata kelola pemerintah, serta modal sosial.
Untuk variabel ekonomi terbuka, Legatum Institute mengukur sejauh mana kemampuan negara dalam mendukung persaingan ekonomi yang sehat, mendorong inovasi dan investasi, mempromosikan bisnis dan perdagangan, dan memfasilitasi pertumbuhan inklusif. Elemen dalam variabel ini antara lain lingkungan investasi, kondisi perusahaan, akses pasar dan infrastruktur, serta kualitas ekonomi.
Sedangkan variabel masyarakat berdaya memperhitungkan sumber daya yang dibutuhkan suatu negara untuk menjadi makmur. Ada empat hal yang dinilai dalam variabel ini, yaitu kondisi hidup, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan alam.
Perbaikan Sistem Ketenagakerjaan RI
Terlepas dari magnet Singapura, Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo memandang perlu adanya perbaikan sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Hal itu perlu dilakukan untuk mencegah generasi muda tergoda menjadi warga negara lain.
“Fenomena banyaknya mahasiswa kita yang pindah kewarganegaraan saya kira cukup serius untuk diperhatikan. Ini jadi pekerjaan rumah besar, bagaimana caranya Pemerintah menciptakan lapangan kerja yang sehat, termasuk dalam hal pengupahannya,” katanya kepada Tirto.
Rahmad mengatakan, perlu ada solusi dari fenomena yang terjadi ini. Apalagi berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Imigrasi, warga negara Indonesia (WNI) yang memilih pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura mencapai ribuan.
"Negara harus memiliki terobosan agar para generasi muda berprestasi tetap tertarik berkarir di tanah air. Salah satunya meningkatkan upah minimum di Indonesia," ucapnya.
Rahmad menilai, perbaikan sistem Upah Minimum Provinsi (UMP) perlu dilakukan demi peningkatan penghasilan bagi warga negara. Sebab pemicu ribuan mahasiswa memilih pindah warga negara adalah karena penghasilan yang lebih tinggi di Singapura.
“Ini jadi PR kita bersama untuk bisa menciptakan pasar ketenagakerjaan yang lebih menarik untuk generasi muda sehingga sumber daya manusia (SDM) yang unggul tidak habis diambil negara lain, yang akan berdampak pada kemajuan ekonomi dalam negeri,” papar Rahmad.
Sebagai negara berkembang, pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja yang mampu menampung para tunas bangsa. Harapannya agar negara Indonesia menjadi negara maju.
Rahmad pun menyoroti sistem pengupahan yang kurang diminati masyarakat produktif untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk lingkungan kerja yang tertib dan lebih menjanjikan dari sisi karir dan faktor-faktor kesejahteraan lainnya.
“Ada banyak yang harus dibenahi mengenai ketenagakerjaan dalam negeri. Karena banyak SDM muda kita tertarik untuk pindah warga negara agar bisa bekerja di sana dengan berbagai alasan, terutama dari sisi pelayanan publiknya,” jelas Rahmad.
Tidak hanya itu, dia juga menilai anak muda saat ini cukup kritis dalam menata hidup. Sebab itu, pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan mereka.
"Anak muda sekarang terbilang cukup kritis dalam menata masa depan. Mereka memikirkan baik dan buruk dalam sisi penghasilan dan kesejahteraan, di mana itu menjadi pemicu mereka memilih mencari upah yang terbaik bagi masa depan mereka walaupun harus pindah warga negara," ungkapnya.
Mengutip Trading Economics, upah minimal di Singapura pada triwulan pertama 2023 ini berada di kisaran 7.021 dolar Singapura per bulan atau setara Rp78,8 juta (kurs Rp11.233). Angka itu tercatat naik dari 6.622 dolar Singapura per bulan atau setara Rp74 juta pada kuartal keempat 2022. Informasi Trading Economics ini melansir dari Statistics Singapore.
Sementara berdasarkan laporan yang diterbitkan ceo world.biz, rata-rata gaji yang didapatkan para pekerja di Singapura yaitu 4.350,79 dolar AS atau setara dengan Rp 64,4 juta pada 2022.
"Perbedaan penghasilan yang cukup jauh juga mempengaruhi mental dan psikis generasi muda. Ini yang harus diperbaiki Pemerintah, agar kita tidak kalah bersaing dengan negara lain karena anak muda kita tertarik berkarir di luar negeri," tutur Rahmad.
Masalah Sektor Kesehatan
Di sisi lain, Rahmad juga menyoroti alasan sektor kesehatan yang membuat banyaknya mahasiswa pindah kewarganegaraan. Dia berharap dengan UU Kesehatan yang baru saja disahkan DPR, pelayanan kesehatan di Indonesia bisa semakin lebih baik.
“Masalah kesehatan memang sedang krusial, kita sedang memperbaiki sistem pelayanan agar masyarakat merasa aman dan nyaman memilih berobat di tanah air. Dengan UU Kesehatan yang baru disahkan, akan menjadi transformasi sistem kesehatan kita," ujarnya.
Diketahui berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ada 2 juta penduduk Indonesia memilih berobat ke luar negeri. Antara lain sekitar 1 juta orang berobat ke Malaysia dan 750 ribu orang berobat ke Singapura.
Dari sisi devisa, hal tersebut membuat Indonesia kehilangan cukup banyak. Dari sekitar 2 juta orang berobat ke luar negeri, Indonesia kehilangan Rp165 triliun devisa yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan negeri.
Lebih lanjut, Rahmad juga meminta kepada alumni beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) agar kembali ke tanah air. Dengan pengalaman menimba ilmu di luar negeri, para alumnus akan memiliki peran dalam meningkatkan perekonomian negara.
"Saya berharap khususnya untuk generasi muda, mari sama-sama bergotong royong membangun negeri ini menjadi lebih baik,” sebut Rahmad.
“Untuk para alumnus yang berkuliah di luar negeri, baik dari program Pemerintah atau mandiri, ayo kembali ke ibu pertiwi untuk membangun Indonesia. Mari sama-sama kita berjuang demi kemajuan bangsa dan negara," tutupnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin