Menuju konten utama

Dibebaskan Jokowi agar Diam di Rumah, Napi Malah Berulah.

Beberapa napi yang dibebaskan lewat program asimilasi Yasonna malah berulah. Kebijakan pembebasan pun dikritik.

Dibebaskan Jokowi agar Diam di Rumah, Napi Malah Berulah.
Sejumlah warga binaan berjemur di bawah matahari di Rutan kelas 1, Depok, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.

tirto.id - Sebanyak 30 ribu lebih narapidana bebas sebelum waktunya lewat program asimilasi dan integrasi Kementerian Hukum dan HAM. Mereka dibebaskan untuk mencegah penyebaran pandemi COVID-19 di lingkungan rutan dan lapas--yang kini sudah kelebihan kapasitas.

Mereka yang menerima program asimilasi diwajibkan diam di rumah masing-masing sampai diintegrasi lewat pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, atau cuti bersyarat. Sementara yang mendapat program integrasi boleh ke luar rumah, akan tetapi karena pandemi tetap dianjurkan tidak ke mana-mana sebagaimana anjuran social distancing.

Namun, yang ideal ini ternyata tak sepenuhnya terwujud. Beberapa di antara mereka berulah kembali, melakukan tindakan kriminal lagi.

Contohnya seorang napi asimilasi Lapas Kelas IIA Pontianak berinisial GR, baru berusia 23 tahun. Dilaporkan Antara, ia bersama dua tersangka lain, MT dan ES, mencuri ponsel.

"GR ini baru mendapat asimilasi pada 6 April. Mulai 8 April atau dua hari setelah bebas sudah mencuri lagi," kata Direktur Reskrimum Polda Kalbar Kombespol Veris Septiansyah. GR tak hanya beraksi sekali, tapi "setidaknya sudah empat kali" setelah bebas.

AC dari Singkawang Kalimantan Barat melakukan hal serupa. Ia baru bebas pada 9 April kemarin, juga lewat program asimilasi yang dibikin Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, lalu ditangkap lagi karena maling motor.

B dan YDK juga menjambret lagi setelah bebas dari Lapas Lamongan. Ia ditangkap polisi saat baru bebas satu pekan.

Tim riset Tirto mencatat ada tujuh berita soal narapidana bertindak kriminal usai bebas karena program asimilasi. Kejadian tersebut berlangsung dari 7 hingga 9 April 2020, dengan berbagai macam kasus seperti pencurian, kurir ganja, penjambretan, dan mengamuk.

Minim Pengawasan

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto menilai beberapa kejadian ini adalah buah dari kebijakan yang konyol. Dasar dari pembebasan ini adalah Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan penanggulangan Penyebaran COVID-19.

Menurut Bambang, rasa aman masyarakat pada akhirnya terusik akibat dari kebijakan Menkumham Yasonna Laoly tersebut.

"Beban masyarakat yang sudah berat menghadapi pandemi dan efeknya, ditambah lagi dengan kebijakan yang konyol," kata Bambang kepada reporter Tirto, Selasa (14/4/2020).

Disebut konyol karena pada dasarnya para napi sudah ada di tempat yang terisolasi dari dunia luar, entah rutan atau lapas, dan karenanya relatif aman dari pandemi. Toh sebelum kebijakan pembebasan pun, sudah ada peraturan yang melarang menjenguk napi.

Ia juga mempertanyakan koordinasi Kemenkumham dengan aparat kepolisian sebelum memberlakukan program asimiliasi dan integrasi tersebut. Bambang juga mendesak kinerja Menkumham dievaluasi.

Kriminolog Leopold Sudaryono menilai narapidana yang kembali bertindak kriminal dapat terjadi karena minimnya pengawasan dan pembinaan instansi yang bertanggung jawab akan hal tersebut.

"Satu sisi ada kekurangan mungkin pada persoalan pengawasan dan pembinaan," katanya dalam sebuah diskusi daring, Selasa.

Kasus ini bukan kali ini saja terjadi. Leopold mencatat dalam tiga tahun terakhir ada 27.643 narapidana yang dipenjara kembali karena mengulangi perbuatan. Angka itu hanya 10-an persen dari keseluruhan warga binaan yang berjumlah 271 ribu. Sementara itu, jika dikerucutkan ke jumlah mereka yang mendapat program asimilasi dan pembebasan bersyarat, hanya ada 0,05 persen narapidana yang yang kembali berulah.

Meski demikian, tidak seperti Bambang, ia menilai bebasnya 30 ribu lebih warga binaan tidak serta merta mengancam masyarakat. "Di satu sisi media melaporkan ada 6 atau 12 orang itu [melakukan tindak pidana lagi itu] fakta, [tapi] dilihat riil, angka itu kecil."

Mendorong Masyarakat Terlibat

Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi (Dir. Binapi Latkerpro) Yunaedi mengatakan tepatnya ada 12 narapidana yang kembali berulah. Ia mengaku salah satu penyebab kenapa mereka berbuat kriminal lagi karena jumlah SDM pengawas sedikit untuk memastikan napi asimilasi tetap di rumah. Selama ini pengawasan dan pembinaan dilakukan secara online seperti lewat Whatsapp Group, telepon, atau video telekonferensi.

Dengan semua keterbatasan itu, Yunaedi mengajak masyarakat turut berperan serta mengawasi.

"Ditjenpas tidak berjalan sendiri. Petugas, warga binaan, dan masyarakat harus menjadi kesatuan yang harmonis dan sinergis," katanya, Selasa.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia ORI Ninik Rahayu menilai usul melibatkan kelompok masyarakat seperti ini hanyalah upaya Ditjenpas lepas tanggung jawab. Lagipula ia ragu apakah masyarakat siap jika tanpa edukasi dan sosialisasi terlebih dulu.

"Tanggung jawab yang dialihkan ini perlu diikuti dengan informasi yang cukup. Supaya tidak ada ketakutan lagi," ujarnya.

Sementara Direktur Eksekutif Center For Detention Studies (CDS) Ali Aranoval berharap agar Ditjenpas tidak menggantungkan pengawasan dan pembinaan dengan cara daring saja. Perlu ada tim yang bersedia turun ke lapangan mengunjungi para mantan narapidana tertentu.

"Harus mulai dengan asesmen dari yang paling berisiko di antara 35 ribu narapidana itu. Daring oke, tapi bagi yang berisiko [residivis] harus turun ke lapangan," ujarnya pada kesempatan yang sama.

Baca juga artikel terkait NAPI BEBAS atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino