Menuju konten utama

Dianggap Bahayakan Petani, Aturan Bank Tanah Digugat ke MA

Jutaan hektar tanah masyarakat terancam diambil alih dan dikuasai sepihak oleh badan baru bank tanah untuk memenuhi kebutuhan tanah investor.

Dianggap Bahayakan Petani, Aturan Bank Tanah Digugat ke MA
Sebelas organisasi petani dan lingkungan hidup, salah satunya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggugat Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah ke Mahkamah Agung (MA) pada Senin (13/2/2023) pagi. foto/Tim Media KPA

tirto.id - Sebelas organisasi petani dan lingkungan hidup menggugat Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah ke Mahkamah Agung (MA). Aturan itu digugat lantaran dianggap melanggar sejumlah aturan konstitusi lainnya dan membahayakan peran petani di Indonesia.

Gugatan yang dilayangkan pada Senin (13/2/2023) itu dilakukan oleh Aliansi Organis Indonesia (AOI), Aliansi Petani Indonesia (API), Bina Desa, Ecosoc Rights, FIAN Indonesia, Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Lokataru Foundation, Sawit Watch, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Menurut para penggugat, aturan soal bank tanah yang diteken Presiden Joko Widodo tersebut bertentangan dengan sejumlah aturan seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91), yang menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) inkonstitusional bersyarat.

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, menyebut bahwa rumusan soal bank tanah awalnya gagal masuk melalui RUU Pertanahan yang ditolak ramai-ramai gerakan masyarakat sipil ReformasiDikorupsi pada 2019. Namun, DPR RI dan Pemerintah akhirnya memasukkan ke dalam UU Cipta Kerja.

“Sejumlah organisasi masyarakat sipil, petani, hingga nelayan, bahkan para akademisi telah memberikan saran, masukan dan kritik substantif hingga sikap penolakan terhadap rencana pemerintah membentuk badan baru pengelola dan pengatur penguasaan serta pendistribusian tanah yang bernama Badan Bank Tanah,” kata Dewi dalam keterangan tertulisnya usai gugatan dilayangkan, Senin, siang.

“Sayangnya aspirasi keadilan agraria dan tuntutan perlindungan hak-hak konstitusional rakyat atas tanah sebagaimana amanat UUD 1945 dan UUPA 1960 telah diabaikan oleh Pemerintah maupun DPR RI dengan tetap mengesahkan pembentukan Bank Tanah melalui UU Cipta Kerja lewat aturan turunannya,” tambahnya.

Selain menyatakan inkonstitusional bersyarat, putusan MK soal UU Cipta Kerja juga meminta Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang sifatnya strategis dan berdampak luas.

Para penggugat menilai aturan bank tanah yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja harusnya dinyatakan cacat formil oleh MA, karena berdampak luas dan sifatnya strategis untuk masyarakat kecil utamanya petani, masyarakat adat, buruh tani, masyarakat pedesaan dan pesisir dan pulau-pulau kecil yang bergantung pada pertanian, tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Kata Dewi, lebih buruk lagi, Presiden Jokowi juga menerbitkan sejumlah aturan pelaksana untuk memperkuat soal bank tanah tersebut. Di antaranya seperti PP No. 124 tahun 2021 tentang Modal Badan Bank Tanah, PP No. 61 tahun 2022 tentang Penambahan Modal Badan Bank Tanah, dan Perpres No. 113 tahun 2022 tentang Struktur dan penyelenggaraan Badan Bank Tanah.

“Semakin memperkuat inkonstitusionalitas PP 64/2021 dan praktiknya di lapangan. Selayaknya, PP 64/2021 Tentang Badan Bank Tanah dinyatakan cacat formil,” kata dia.

Dewi juga menjelaskan salah satu dampak buruk dari bank tanah adalah karena bertentangan dengan semangat UUPA. Imbasnya, jutaan hektar tanah masyarakat terancam diambil alih dan dikuasai sepihak oleh badan baru bank tanah sebagai jalan menyimpang untuk memenuhi kebutuhan tanah investor dan badan usaha besar.

“Kehadiran Bank Tanah dengan kewenangan dan fungsi yang luar biasa luas dan kuat—baik fungsi privat maupun publik—tidak dilengkapi dengan pengawasan yang ketat dan terbuka,” katanya.

“Sehingga ia berpotensi melahirkan praktik-praktik yang sarat conflict of interest antara kepentingan privat-publik, kepentingan profit-non profit, kepentingan rakyat dengan kepentingan elit bisnis-penguasa,” tambah Dewi.

Lebih lanjut, Dewi menjelaskan bahwa bank tanah adalah lembaga penjamin ketersediaan tanah bagi perusahaan dan pemilik modal. Menurut para penggugat, 99% pasal di dalamnya dibuat untuk melayani pengusaha.

“Bahkan dapat menjadi badan untuk memutihkan tanah-tanah konsesi perusahaan yang bermasalah, seperti beroperasi tanpa izin/hak atas tanah, izin/HGU kadaluarsa, tanah terlantar, wilayah konflik agraria, bahkan dapat menjadi cara untuk melegalkan hak atas tanah yang diterbitkan dengan cara-cara koruptif dan kolutif, melegalkan praktik spekulan tanah ala pemerintah, menyuburkan mafia tanah,” jelas Dewi.

Dewi mengkritik keras bahwa klaim adanya bank tanah untuk penyelesaian reforma agraria. Kata dia, hal tersebut adalah sesat pikir. Padahal, kata Dewi, reforma agraria sebagai upaya koreksi terhadap ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah sehingga akan mengikis ketidakadilan sosial di bidang agraria, adalah sama sekali berbeda dengan mekanisme pengadaan tanah yang dianut oleh Bank Tanah.

“Bank Tanah jelas-jelas berorientasi menjamin percepatan pengadaan tanah demi investasi. Dengan begitu, praktik pengadaan ala Bank Tanah sejatinya mendukung proses akumulasi modal (tanah) oleh segelintir kelompok. Dengan sendirinya Bank tanah memperparah monopoli tanah, bukan melakukan perombakan atas monopoli tanah,” katanya.

“Di sisi lain, ketentuan ketersediaan tanah untuk RA sedikitnya 30 % dalam Pasal 22 PP 64/2021 semakin menunjukkan bahwa RA bukan prioritas. Sumber-sumber akuisisi tanah oleh Bank Tanah justru mengambil tanah-tanah yang seharusnya menjadi prioritas RA,” tambahnya.

Para penggugat menganggap bahwa pembuatan ragam PP dan pelaksanaan bank tanah di lapangan saat ini adalah bukti keangkuhan Presiden Jokowi yang enggan menaati hukum dan merasa superior dibandingkan lembaga negara lainnya seperti MK.

“Sikap Presiden menandakan seolah Presiden adalah hukum dan hukum adalah Presiden itu sendiri. Hal demikian tidak dapat dibiarkan, karena dampak dari sikap politik demikian hanya melahirkan kebijakan yang merampas hak-hak asasi dan konstitusional para petani, nelayan, buruh, masyarakat adat dan masyarakat rentan lainnya,” tambahnya.

“Atas dasar hal-hal di atas, kami mendesak agar Mahkamah Agung dapat menghentikan operasi ilegal Bank Tanah dengan menerima dan mengabulkan gugatan ini sepenuhnya. Dalam hal ini, MA perlu mencermati pelanggaran yang dilakukan Pemerintah dalam PP 64/2021 terhadap Putusan MK 91 dan UUPA 1960,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait BANK TANAH atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri