Menuju konten utama

"Di Yogya, Garin Tidak Seperti Ahok"

Gebrakan Jogja Independent (Joint) cukup membuat geger perpolitikan lokal Yogyakarta. Sayang, belakangan meredup. Sineas kenamaan Garin Nugroho yang keluar sebagai pemenang konvensi Joint, belum sanggup mendongkrak gerakan Joint menjadi masif dan membesar seperti Teman Ahok di Jakarta.

Erwan Agus Purwantoerwan. Foto/Dok. pribadi

tirto.id - Joint yang mengusung Garin Nugroho sebagai calon independen walikota Yogyakarta nyaris tak terdengar gaungnya. Beda dengan Ahok dan Teman Ahok di Jakarta. Erwin Agus Purwanto, pengamat politik yang juga Dekan Fakulas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada, melihat ada kelemahan dalam gerakan Joint. “Saya melihat ada isu yang belum nyambung antara gerakan warga dengan Joint maupun Garin,” katanya kepada tirto.id.

Menurutnya, meski di Jakarta gerakan seperti itu sangat digandrungi dan berpotensi menjadi bola salju, namun belum tentu cocok di Yogyakarta. Berikut pandangan lengkap Erwin;

Bagaimana Anda melihat Joint yang dideklarasikan sebagai gerakan mencari calon pemimpin independen?

Saya menilai, tamparan buat partai politik untuk segera berbenah. Ada ketidakpercayaan warga terhadap partai politik yang gagal melahirkan pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat. Kita bisa lihat, kader-kader partai yang akan maju, orangnya ya itu-itu saja.

Karena berharap dari partai tidak bisa, maka warga mengambil jalan melalui jalur perseorangan. Kita melihat awal kemunculan Joint sangat menarik perhatian publik, tapi sekarang seperti kehilangan gaungnya.

Di Jakarta Teman Ahok berhasil menarik perhatian publik. Apa yang membuat Joint dan Teman Ahok berbeda?

Sejak awal Joint beda dengan Teman Ahok. Joint muncul lebih dahulu sebelum ada calonnya. Mereka mencari calon dengan konvensi, sampai akhirnya terpilih Garin Nugroho. Namun secara umum, mereka sama-sama calon independen atau calon alternatif di luar partai. Poin pentingnya itu.

Lalu apa yang membuat Joint tidak sesukses Teman Ahok?

Ada dua hal, pertama soal sosok. Di Jakarta, Ahok popularitasnya tinggi. Dia juga sudah menjabat gubernur. Sosok Ahok diharap oleh warga Jakarta untuk membenahi ibukota. Tapi di Yogya, Garin tidak seperti Ahok. Garin mungkin terkenal sebagai sutradara. Tapi apa relevansinya untuk warga? Dia bukan orang politik atau pemerintahan, sementara bicara soal walikota, aspek itu sangat besar.

Kedua soal program. Ahok sudah punya track record yang jelas. Kebijakannya sudah terlihat, hasil pembangunan sudah terlihat. Garin belum punya kesempatan seperti itu. Kalau pun dia punya program kerja yang ditawarkan ke masyarakat, tapi dia belum bisa membuktikan.

Di Yogyakarta, isu terkait pembangunan dan tata ruang bisa menjadi program yang menarik. Partai-partai belum mengambil isu itu. Garin dan Joint yang lahir dari masyarakat, seharusnya bisa mengambil isu itu sebagai tawaran program kerja yang konkrit.

Dua hal itu semacam dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Satu lagi soal waktu. Gerakan ini cukup terlambat munculnya. Waktunya sangat singkat untuk membuat gerakan ini menjadi besar.

Selama ini sudah banyak gerakan warga Yogya mengkritik pemerintah, seperti 'Jogja Ora Didol', 'Warga Berdaya', dan gerakan lain. Apa berbagai gerakan tadi tidak cukup untuk membuat Joint menjadi besar?

Saya melihat ada isu yang belum nyambung antara gerakan warga dengan Joint maupun Garin. Sosok Garin mungkin dinilai kurang meyakinkan warga untuk bergabung dengan gerakan Joint. Belum momentumnya Yogyakarta punya pemimpin independen.

Kalau begitu, bagaimana peluang calon Joint di Pilkada 2017?

Sulit sekali. Apa lagi pasca ditetapkan revisi Undang-Undang Pilkada. Ahok yang sangat populer saja sudah mulai pikir-pikir. Saya melihat di Yogyakarta lebih sulit. Saya justru khawatir, jika nantinya partai tidak segera berbenah. Yang akan muncul adalah politik mahar (money politics).

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Indepth
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti