Menuju konten utama

Sang Sineas Pindah Panggung

Garin Nugroho mencoba peruntungan baru merambah dunia politik. Sejauh ini, dia sukses menjadi calon Wali Kota Yogyakarta dari jalur independen setelah memenangkan konvensi yang digelar Joint. Namun, tantangan berat masih menghadang jalannya.

Sang Sineas Pindah Panggung
Garin Nugroho dan Rommy Heryanto pemenang konvensi Jogja Independent (joint sebagai bakal calon walikota dan wakil wali kota jalur perseorangan yang akan diusung pada pilkada kota Yogyakarta 2017. foto/dok joint

tirto.id - Tak ada yang meragukan kepiawaian Garin Nurgoho sebagai sineas. Sejak tahun 1984, dia sudah merintis kariernya. Nama Garin melambung ketika menyutradarai film Cinta dalam Sepotong Roti pada tahun 1990. Film yang membuat Garin memenangi Festival Film Asia Pasifik kategori sutradara pendatang baru, pada tahun 1992.

Setelah itu, nama Garin kian melejit. Berkali-kali menyabet penghargaan. Sederet film berkualitas dibesut sineas kelahiran Yogyakarta ini, seperti Surat Untuk Bidadari, Daun di atas Bantal, atau Rindu Kami Padamu.

Setelah lama tak terdengar, nama Garin kembali menjadi perbincangan publik. Bukan karena film garapannya, tapi karena keputusannya terjun ke dunia politik.

Sejak Jogja Independent (Joint) dideklarasikan pada 20 Maret 2016, Garin menjadi salah satu orang yang langsung mengambil formulir pendaftaran sebagai calon wali kota. Garin mengaku punya alasan khusus hingga memutuskan untuk sebentar pindah dari panggung cinema ke panggung politik.

"Alasannya simpel, selama ini saya sudah banyak menerima sesuatu dalam hidup saya. Ada banyak penghargaan juga yang saya terima. Terakhir dari Perancis. Sekarang ada kewajiban yang harus saya lakukan untuk membangun masyarakat tempat saya tumbuh besar dan bisa menjadi seperti sekarang ini," kata Garin kepada tirto.id, pada Kamis (9/6/2016).

Alasannya memang klise. Namun Garin tidak ambil pusing dengan pendapat yang berkembang di masyarakat.

"Yogyakarta sudah memberikan banyak buat saya. Giliran saya yang memberikan sesuatu untuk Yogyakarta. Caranya dengan menjadi walikota. Itu saja, tidak ada alasan lain," tegasnya.

Masih menurut Garin, sejak awal dia mencari format yang tepat untuk maju sebagai calon wali kota selain melalui partai politik. "Saya ingin, ketika maju sebagai calon wali kota ada proses yang transparan. Ada konvensinya. Joint menawarkan itu dan bagi saya itu adalah gambaran yang ideal untuk saya maju," ujarnya.

Pada saat bersamaan, rekan-tekan Garin di Yogyakarta pun mendukungnya. Begitu Garin mendaftarkan diri ke Joint, namanya pun langsung diprediksi sebagai calon kuat pemenang konvensi. Prediksi itu tak meleset.

Gagasan Garin

Kemunculan Garin tentu menyemarakkan panggung politik Yogyakarta. Fenomena sosial warga Yogyakarta yang gelisah terhadap pemimpin kotanya, menjadi titik tolak Garin membuat keputusan.

Seperti diketahui, Yogyakarta terkenal dengan jargon City of Tolerance dan Kota Pendidikan. Namun, belakangan, gelar yang disandang Kota Yogyakarta itu sudah tidak relevan. Maraknya kasus intoleransi hingga tawuran dan kecurangan pelajaran membuat gengsi Yogyakarta dipertaruhkan.

Berdasarkan catatan Wahid Institute, pada tahun 2015, Yogyakarta menjadi kota paling banyak tindak intoleransi. Mulai penolakan gereja, pembubaran diskusi hingga penyerangan kelompok minoritas. Pada tahun 2016, kelompok seniman dan jurnalis pun menjadi korban intoleransi kelompok ekstrem di Yogyakarta.

Tidak hanya itu, masalah pembangunan di Yogyakarta juga menjadi perhatian publik. Tumbuhnya hotel yang tidak terkendali membuat warga dirugikan. Di beberapa tempat, warga harus berebut air dengan hotel.

"Kita tahu kondisi Kota Yogyakarta saat ini. Ini kota pendidikan, kota toleransi dan kota kebudayaan, tapi melahirkan banyak masalah seperti tergoresnya toleransi. Soal pembangunan juga tata ruang, kita paham ada masalah," ungkap Garin.

Karena itu, Garin ingin mengembalikan Yogyakarta menjadi kota yang penuh inspirasi dan menjadi kiblat kota-kota lain di Indonesia. Garin berencana melibatkan semua elemen masyarakat, mulai dari seniman, akademisi hingga agamawan untuk menata kembali Yogyakarta.

"Yogyakarta itu penuh dengan manusia unggul dari berbagai latar belakang. Ada ada ratusan universitas di Yogyakarta yang sudah melahirkan manusia-manusia unggul. Mereka cendekiawan, agamawan, budayawan, dan lainnya. Kami ingin manusia-manusia unggul ini juga ikut membangun Yogyakarta dengan gagasan brilian mereka," terangnya.

Tantangan di Panggung politik

Baru keluar sebagai pemenang konvensi, Garin langsung diterpa isu tak sedap. Beredar pesan singkat yang mengabarkan bahwa dirinya ditangkap oleh aparat kepolisian saat berduaan dengan GKR Pembayun, putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, raja sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tidak hanya isu yang menyerangnya secara pribadi, manuver partai politik di DPR RI yang melakukan perubahan UU Pilkada pun nyaris membuatnya patah arang.

"Perubahan ini aneh. Demokrasi menjadi tidak ada artinya. Ibarat sebuah pertandingan sepakbola, tiba-tiba ada peraturan yang diubah. Tidak ada lagi offside atau aturan offside diubah. Ini yang terjadi sekarang,” katanya.

Maksud Garin, aturan baru soal verifikasi terhadap pemilik KTP dukungan menjadi persoalan baru. Sebab, bakal muncul kesulitan jika setiap pendukung harus diverifikasi secara langsung. “Tidak mungkin meminta mereka harus tinggal di rumah," kata Garin kesal.

Meski kondisinya tidak menguntungkan, Garin tetap akan melanjutkan perjuangannya bersama Joint. Apalagi sejak awal menegaskan tidak akan menggunakan partai politik sebagai kendaraan.

Lalu bagaimana jika ada partai politik yang ingin mendukungnya?

"Saya dengan partai politik berkomunikasi dengan baik. Kalau memang ada yang mau memberikan dukungan kepada Joint dan saya, tentu kami akan membuka diri," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti