Menuju konten utama

Joint Yogyakarta, Kiat Rakyat Mencari Pemimpin

Warga Yogyakarta punya cara tersendiri untuk menyeleksi calon alternatif wali kota di luar calon-calon yang bakal diusung partai politik dalam perhelatan Pilkada Kota Yogyakarta, pada 2017. Muncul gerakan Jogja Independent atau Joint yang menyaring para tokoh melalui sistem konvensi untuk menjadi calon independen.

Joint Yogyakarta, Kiat Rakyat Mencari Pemimpin
15 pelamar lolos verifikasi administrasi pada acara sinau bareng demorasi ala Jogja. foto/dok joint

tirto.id - Suatu sore di bulan Februari 2016, Yustina Wahyu, yang akrab disapa Neni, datang ke Kedai Kebun Forum, di daerah Tirtodipuran, Yogyakarta. Enam orang asik berbincang sembari menikmati kopi dan kudapan, saat Neni tiba. Mereka rupanya sedang mendiskusikan masalah besar: mencari pemimpin yang pas buat Yogya.

“Yogyakarta ini semakin nggak jelas pemimpinnya. Lihat pembangunan sekarang, di mana-mana hotel, warga jadi tersingkir," kata Neni yang ikut nimbrung bersama Herman Dodi, Rifki Fauzi, Arif Budiman, Grek Wuryanto, dan Ong Hari Wahyu yang semuanya dikenal sebagai pegiat kegiatan kemasyarakatan.

Kegelisahan serupa ternyata telah menjalar di Kota Gudeg. Sudah banyak gerakan bersama yang dilakukan untuk melancarkan kritik pada pemerintah Kota Yogyakarta agar segera berbenah. Sayang, tidak kunjung ada perubahan.

Pada September 2013, misalnya, sejumlah seniman memelopori “Festival Mencari Haryadi”. Festival itu digelar sebagai sindiran atas tidak hadirnya negara dalam permasalahan di masyarakat. Haryadi Suyuti, Walikota Yogyakarta, pun diuber-uber dalam pagelaran itu.

Jauh sebelumnya, gerakan “Jogja Ora Didol” (Yogya Tidak Dijual) juga sudah dikumandangkan oleh para seniman jalanan dan warga. Acara ini bahkan sempat menimbulkan ketegangan antar kelompok masyarakat dengan para seniman.

Namun, semua gerakan tadi dianggap belum cukup. Neni dan teman-temannya masih berpikir, harus ada gagasan baru untuk membawa perubahan di Yogyakarta.

"Kita akhirnya menyadari, kita harus terlibat aktif dalam pemilihan pemimpin di Yogyakarta. Tidak sekadar menonton partai-partai adu kader yang kita tidak tahu kualitasnya," ungkap Neni, salah satu penggagas Joint (Jogja Independent), kepada tirto.id, pada kamis (9/6/2016).

Terbesit gagasan mengajukan calon perseorangan non partisan atau calon independen untuk maju sebagai kandidat Wali Kota Yogyakarta pada Pilkada 2017. Setelah perdebatan panjang, mereka menyepakati sebuah gerakan mencari calon pemimpin Kota Yogyakarta secara terbuka dan transparan.

Setelah beberapa kali pertemuan, mereka bertujuh mencoba menyampaikan gagasan tersebut pada sejumlah tokoh nasional yang ada di Yogyakarta. Mereka mendatangi Busyro Muqodas (mantan Pimpinan KPK), Suparman Marzuki (mantan Ketua Komisi Yudisial) dan Edi Suandi Hamid (mantan Ketua Forum Rektor). Belakangan, ide gerakan mencari bakal calon independen diberi nama 'Jogja Independent' atau Joint.

Gayung bersambut. Sejumlah tokoh memberi dukungannya. “Joint ini bukan partai politik, ini adalah inisiatif warga untuk mencari calon pemimpin berkualitas untuk kota Yogyakarta,” ujar Neni yang kemudian menjadi Koordinator Kesekretariatan Joint.

Tepat pada 20 Maret 2016, Joint dideklarasikan di Kampung Code, Jetis, Kota Yogyakarta. Busryo ikut berorasi.

"Saat itu juga kami membuka pendaftaran calon wali kota independen. Ada beberapa orang kami undang untuk mendaftar. Ya, teman-teman yang punya kapasitas kami dorong untuk mendaftar. Ada 30 nama yang waktu itu kami usulkan, ada 43 formulir yang diambil," terang Neni.

Konvensi Ala Joint

Salah satu langkah progresif yang diambil Joint dalam menentukan calon walikota adalah menggelar konvensi. Ada 15 nama calon wali kota yang lolos seleksi administrasi. Sebagian besar nama-nama baru yang belum pernah terdengar dalam politik lokal.

Ada kaum muda yang berusia di bawah 30 tahun seperti Emmy Yuniarty (25), Adry Primera Nuary (28) dan Hambar Riyadi (29). Ada juga sejumlah tokoh seperti sineas Garin Nugroho, mantan Dirut BUMN Transtoto Handhadhari, Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Siti Ruhayani Zudayatin, dan mantan anggota KPUD Yogyakarta Titok Haryanto.

Selain itu, juga ada Pegawai Negeri Sipil (PNS) Fitri Paulina dan Arbhak Yoga Widodo, Dani Eko Wiyono, serta Martha Haeni Agustoni. Aktifis NGO Akhyari Hananto, wirausahawan Esha Satya, penyiar radio Lusy Laksita, dan konsultan UMKM Rommy Heryanto.

Sebelum mengikuti konvensi, 15 calon itu harus mengikuti penyaringan atau pra konvensi yang dilakukan oleh Tim 10 yang berisi ahli dari masing-masing bidang yang diketuai Busyro Muqoddas.

“Prakonvensi kita lakukan untuk mengetahui seberapa kapasitas para calon, sehingga kita bisa mengukur kelayakannya,” kata Neni.

Pada akhirnya, muncul lima calon, yakni Garin Nugroho, Emmy Yuniarty, Rommy Heryanto, Fitri Paulina dan Adry Primera Nuary. Sayang, Adry mundur karena belum siap dengan konsekuensi meninggalkan pekerjaannya.

Hal yang menarik, konvensi Joint yang digelar 17 April 2016 di Jogja Expo Center, melibatkan para ketua RW di Kota Yogyakarta dan ratusan warga. Mereka semua memiliki hak suara untuk menentukan calon wali kota yang akan diusung Joint. Bahkan, beberapa perwakilan partai politik juga hadir menjadi penonton.

“Kita memang sedari awal ingin agar warga bisa terlibat. Biar warga juga turut ambil bagian dalam menentukan siapa calon wali kota dari Joint. Jadi tidak hanya dari penilaian panelis,” tutur Neni.

Dari hasil akhir konvensi, Garin Nugroho keluar sebagai pemenang. Garin pun menggandeng Rommy Heryanto untuk mendampinginya sebagai calon wakil wali kota.

“Saya memilih Joint karena sejak awal ingin mencari bentuk yang cocok untuk maju sebagai calon wali kota. Konvensi yang ditawarkan Joint ini menarik karena dilakukan secara terbuka dan semua orang bisa terlibat. Bahkan siapa pun bisa mendaftar sebagai calon wali kota,” kata Garin kepada tirto.id, pada Kamis (9/6/2016).

Garin menyadari jika Joint belum bisa bekerja maksimal. Namun setidaknya bisa menjadi ruang pembelajaran politik bagi masyarakat. “Kita juga ingin memberikan pendidikan politik pada warga. Kalau pun gerakan ini gagal, kita sudah berproses bersama warga. Ini lebih penting,” tegasnya.

Para Dedengkot Joint

Kemunculan Joint yang greget membuat banyak orang bertanya-tanya, siapa orang-orang di balik gerakan ini? Jika dicermati, banyak tokoh yang secara terang-terangan menyatakan dukungannya, bahkan menjadi deklarator Joint. Salah satunya Busyro Muqodas, mantan Pimpinan KPK, yang juga merupakan Ketua Bidang Hukum Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Busyro memiliki alasan kuat saat memutuskan memberi dukungan. Menurutnya, Joint merupakan fenomena baru yang belum pernah terjadi di Indonesia. Biasanya, calon pemimpin muncul dari partai politik. Kalau pun dari calon independen, selalu mengandalkan ketokohan.

“Joint ini beda. Kalau di Jakarta ada Ahok. Dia muncul dari ketokohannya, baru kemudian ada pendukungnya. Kalau Joint, mulai bergerak dulu baru kemudian sama-sama mendukung calon. Benar-benar dari masyarakat,” ungkap Busyro, yang juga dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Busyro bahkan menjanjikan akan memberikan 20 KTP keluarga besarnya untuk mendukung calon yang diusung oleh Joint.

Tidak hanya Busyro, Suparman Marzuki yang mantan Ketua Komisi Yudisial, juga memberikan dukungan. Alumni UII ini bahkan tergabung sebagai Tim 10 yang menyeleksi peserta konvensi. Ada pula Edi Suadi Hamid, mantan rektor UII yang juga mantan Ketua Forum Rektor, yang tercatat sebagai deklarator Joint.

Selain itu, ada pula Hery Zudianto, mantan waliKota Yogyakarta dua periode, yang terlibat aktif. Tak ketinggalan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang juga Ketua Ikatan Keluarga Alumi UII.

“Tegakkan demokrasi substantif. Jernihkan demokrasi prosedural agar tidak bertumpu pada politik transaksional yang negatif. Ayo dukung munculnya calon independen di Yogyakarta untuk memberi alternatif bagi tampilnya sosok Yogya yang berperadaban tinggi,” kata Mahfud.

Kesadaran masyarakat untuk mencari pemimpin yang baik sudah menjalar ke daerah. Yogyakarta memulainya dengan Joint. Sosok independen muncul, memberi warna baru pada sebuah pesta demokrasi. Apakah warna baru ini memang pilihan warga? Jawabannya kita tunggu setahun lagi.

Baca juga artikel terkait YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Indepth
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti