tirto.id - “Saya melihat tongkang terlempar ke atas. Laut terbelah,” ujar Yunus El Malilu kepada Tirto.
Yunus baru saja selesai makan. Ia keluar dari rumahnya dan menyalakan sebatang rokok sambil duduk di atas kapal. Baru saja rokok menyala, tiba-tiba bumi bergoncang. Di depan matanya pesisir pantai di sepanjang Kelurahan Loly Salura, Kabupaten Donggala, amblas. Air laut surut.
“Laut terbelah,” katanya.
Ia terperanjat, dan segera menyuruh istri dan empat anaknya keluar rumah. Dua anaknya yang masih kecil ia gendong, sedang duanya lagi dituntun Nana, istri Yunus. Sekeluarga itu lari ke perbukitan yang jaraknya 500 meter dari rumah. “Air mulai naik, tapi belum besar,” kata Yunus.
Yunus mendengar tetangganya berteriak histeris. “Tolong...tolong.” Mereka berhamburan ke luar rumah dan segera ke perbukitan yang sama.
Di Masjid Babuljanah, orang-orang yang hendak salat magrib pun panik. Mereka balik kanan dan segera menyelamatkan diri ketika tanah terus berguncang. ”Tapi pintu dalam keadaan terkunci,” kata Yunus. Ia memaksa pintu pagar masjid terbuka dan meminta warga segera lari ke tempat yang lebih tinggi. Ratusan manusia melintasi jalan di samping masjid, dan memanjat perbukitan.
Jumat (28/9/2018) sore pekan lalu adalah hari paling horor bagi warga di pesisir pantai Kota Palu hingga Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Pesisir yang lokasinya berada di Teluk Palu ini nyaris seluruhnya tersapu tsunami. Di Kelurahan Loly Salura, tempat Yunus bermukim, rumah-rumah rata tersapu gelombang. Hanya Masjid Babuljanah yang kini masih kokoh berdiri.
“Selama puluhan tahun saya di sini. Saya baru merasakan tsunami,” aku Yunus.
“Gelombang sebesar ini,” tambahnya.
Orang-orang sekelurahan, kata Yunus, berlari ke arah perbukitan tepat di depan Kelurahan Loly Salura. Satu persatu mereka berlari memanjat bukit, agar selamat dari gelombang tsunami. “Tapi ada empat warga di dalam rumah,” kata Yunus.
“Korban meninggal ada empat, satu lagi yang belum ditemukan.”
Loly Salura adalah satu dari lima kelurahan di Kabupaten Donggala yang luluh lantak disapu tsunami. Air laut setinggi tiga meter itu juga melumat empat kelurahan lain di Kabupaten Donggala, yakni Kelurahan Loly Oge, Loly Sibura, Loly Dondo dan Loly Tsiburi. Dari kelima kelurahan itu, Loly Salura yang kondisinya paling parah. Wilayah ini hilang karena lokasinya berada tepat di bibir pantai dan ada di dataran rendah.
Di Kelurahan Watusampu, perbatasan Kota Palu dan Kabupaten Donggala, tsunami juga ikut menghempaskan kapal milik TNI Angkatan Laut hingga ke daratan.
Tsunami di Pesisir Kota Palu
Saat gempa mengguncang, Eva masih berada di dalam kediamannya di Kelurahan Ulujadi, Palu Barat, Kota Palu. Rumahnya berada tepat di sisi Jalan Trans Sulawesi, juga berdekatan dengan pesisir pantai mengarah barat, Kabupaten Donggala. Saat ia keluar dari dalam rumah menuju jalan, dalam kondisi nyaris gelap, pandangan tertuju pada air laut di pesisir pantai.
Gemuruh air terdengar dari arah pantai. Gelombang air mulai naik. “Tanah bergetar, seperti ditumbuk,” kata Eva.
“Itu air seperti di blender.”
“Air naik.. air naik...,” teriak Eva.
Warga, kata Eva, seketika balik badan. Mereka berlari dalam keadaan panik, dalam kondisi lampu padam dan hari mulai gelap. “Kami semua naik ke perbukitan,” ujar Eva seraya menunjuk tempatnya mengungsi.
Hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari kediaman Eva, tak jauh dari Pantai Talise, Waida masih berada di dalam kamar mandi ketika guncangan besar menjelang magrib membuat bangunan rumahnya bergetar. Terbirit-birit, Waida keluar dari dalam rumah dalam keadaan telanjang.
Ia berlari dalam kepanikan bersama ratusan orang yang tadinya ada di Pantai Talise. Waida buru-buru mengambil spanduk untuk menutupi tubuhnya.
“Saya sampai tutupi ini (kemaluan),” kata Waida. Ketika gempa mereda, Waida masuk ke dalam rumah, mengambil pakaian dan kemudian ikut berlari bersama ratusan orang karena gelombang tsunami mulai naik.
“Air mulai naik, tapi gelombang tsunami tidak sampai rumah saya,” kata Waida.
Jumat sore pekan lalu, Pantai Talise sesak dijejali warga yang datang menghadiri pembukaan festival sport-tourism bernama Palu Nomoni. Ketika tsunami menghantam, sebagian orang berhasil selamat. Tapi tidak bagi anak Nuraina, Fatya Elfarini, 12 tahun. Fatya hingga saat ini masih belum ditemukan.
“Saya terpisah dengan anak saya,” kata Nuraina di pengungsian Taman Vatulemo Kota Palu.
Ketika gelombang mulai naik, Nuraina terpisah dengan Fatya, anak pertamanya yang ikut membantu berjualan minuman ringan di Festival Palu Nomoni. Ia berlari mengendong Muhammad Aliafi, 3 tahun, di tengah-tengah ratusan orang yang menyelamatkan diri. “Jarak saya dengan Fatya hanya 10 meter,” kata Nuraina.
Kini Nuraina mengungsi bersama dengan keluarga besarnya di Taman Kota Palu Vatulemo. Ia masih menunggu kabar baik dari Fatya. “Semoga dia dalam keadaan selamat,” kata Nuraina.
Gelombang Tsunami menghancurkan hampir seluruh wilayah pesisir pantai Teluk Palu dari Kota Palu hingga dua bagian di Kabupaten Donggala. Di sebelah barat Kota Palu, tepatnya di Kelurahan Mamboro, Palu Utara, tsunami juga menghancurkan seluruh bangunan rumah bahkan kompleks pergudangan Layana Indah yang lokasinya di Jalan Trans Sulawesi, tepat di pesisir pantai Teluk Palu.
Air laut juga melumat Desa Wani II, di Kabupaten Donggala. Di Desa Wani, sepuluh kapal terseret hingga daratan, ketika gempa disusul gelombang setinggi tiga meter kemudian menghancurkan seluruh bangunan di Pelabuhan Wani.
Warga di pesisir Teluk Palu kini masih mengungsi di tempat lebih tinggi, di atas perbukitan yang mengelilingi Kota Palu hingga Kabupaten Donggala.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Rio Apinino