tirto.id - Pada Desember 2018, dua mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) ditemukan tak bernyawa di tempat tinggal masing-masing di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Polisi menyimpulkan bahwa keduanya meninggal akibat bunuh diri. Kesimpulan itu didapat karena polisi tidak menemukan bukti tindak kekerasan di sekujur tubuh dua mahasiswa tersebut.
Seperti dilaporkan CNN Indonesia, MB (23) ditemukan tewas dalam posisi gantung diri setelah ayahnya mendobrak pintu kontrakan dan membuat laporan ke Polsek Jatinganor pada Senin (17/12/2018). Menurut keterangan orang tua mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya itu, anaknya masih bisa dikontak pada hari Sabtu (15/12/2018) malam. Tapi, ia tak lagi berkomunikasi dengan MB keesokan harinya.
Selang beberapa hari, polisi kembali mendapat laporan bahwa mahasiswa Unpad berinisial RWB ditemukan tak bernyawa di kamar indekosnya. Kejadian ini pertama kali diketahui sang pacar yang mengantarkan makanan pada Senin (24/12/2018) pagi. Menurut Kompas, RWB merupakan mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan.
Berdasarkan keterangan kekasih RWB, laki-laki berusia 24 tersebut sempat mengeluhkan soal kondisi keuangan keluarga dan skripsi yang belum selesai. Sementara itu, MB juga diduga mengakhiri hidup karena persoalan skripsi. Karena tidak ada surat wasiat, polisi belum mengetahui motif spesifik mengapa keduanya memutuskan bunuh diri.
"Tidak ada suicide note. Tidak menyebutkan keluhannya, motifnya apa secara spesifik. Untuk kasus yang kedua, yang terbaru, memang ada informasi dari keterangan pacarnya tentang masalah keuangan keluarga dan pendidikan. Tapi tidak bisa dipastikan penyebab spesifiknya apa," kata Kepala Kepolisian Resor Sumedang AKBP Hartoyo.
Depresi karena Skripsi
Stres menjadi salah satu persoalan besar yang dihadapi para mahasiswa. Berdasarkan laporan Student Minds bertajuk Grand Challenges in Student Mental Health (2014, PDF), stres termasuk dalam sepuluh kesulitan besar bagi mahasiswa terkait kesehatan mental. Hasil ini diperoleh setelah lembaga itu menganalisis data 230 responden yang terdiri dari mahasiswa dan lulusan universitas (57%), staf universitas (31%), dan tenaga ahli kesehatan (4%).
Student Minds mengatakan bahwa stres menjadi problem kedua yang paling biasa dirasakan mahasiswa. Apabila tidak ditangani dengan baik, ketegangan psikis ini bisa memburuk dan memunculkan isu kesehatan mental lain seperti depresi, perfeksionisme, gangguan obsesif kompulsif, dan lain-lain.
Menurut DeAnnah R. Byrd dan Kristen J. McKinney dalam “Individual, Interpersonal, and Institusional Level Factors Associated with the Mental of College Students” (2012), ada beberapa faktor yang memengaruhi kesehatan mental mahasiswa. Di tingkat individu, kondisi emosional, kognisi, fisik, dan fungsi intrapersonal menentukan kondisi psikis mahasiswa. Selain itu, kemampuan individu dalam hal kepercayaan diri, persepsi terhadap kompetensi dan keahlian, serta kesanggupan mengatasi masalah turut berkontribusi.
Selain faktor-faktor di atas, hal yang berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap lingkungan akademis perkuliahan juga memengaruhi kesehatan mental. Sebaik apa mahasiswa menangani tuntutan pendidikan, motivasi untuk menyelesaikan tugas kuliah, keberhasilan dalam memenuhi persyaratan dari universitas, dan kepercayaan diri dalam bidang akademis merupakan unsur penentu keadaan psikis mahasiswa.
Di level interpersonal, Byrd dan McKinney mengatakan bahwa seberapa baik mahasiswa berfungsi dalam lingkungan sosial turut menentukan kesehatan mental mereka. Ini termasuk keterlibatan dalam aktivitas sosial selama menempuh pendidikan tinggi.
Terakhir, peneliti asal University of California itu menyebutkan faktor di level institusi yang mencakup iklim sosial, praktik pengajaran, kurikulum, dan tuntutan akademik berkontribusi terhadap kondisi psikis mahasiswa.
Bagaimana pun juga skripsi adalah salah satu syarat mutlak kelulusan. Karena itu, ia kerap menjadi beban para mahasiswa. Berdasarkan penelitian Rosdiana Putri Arsaningtias dari Universitas Airlangga terhadap 221 mahasiswa, diketahui bahwa mereka mengalami stres dengan berbagai macam level ketika sedang mengerjakan skripsi. Ia mengatakan bahwa sebagian besar mahasiswa mengalami stres berat (25,8%) sedangkan sisanya merasakan stres normal (23,1%), stres ringan (12,7%), stres sedang (15,8%), dan stres sangat berat (22,6%).
Sementara itu, riset Muhammad Solih Nasution dan kawan-kawan berjudul “Pengaruh Penulisan Skripsi Terhadap Simtom Depresi dan Simtom Kecemasan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Angkatan 2014” (2018) menyebutkan, dari 84 subjek penelitian, ada 76 orang yang mengalami simtom kecemasan dengan level sedang dan ringan.
Penelitian ini juga menemukan ada 14 perempuan dan enam laki-laki yang mengidap simtom depresi. Tiga pria menunjukkan gejala depresi berat, sedangkan tiga laki-laki dan tujuh perempuan menampakkan simtom depresi sedang. Selain itu, tujuh perempuan dinyatakan mengalami gejala depresi ringan.
Anselma Lucyana dalam risetnya mengatakan bahwa gejala kognitif (kesulitan konsentrasi dan mudah lupa), perilaku (membentak orang lain), mental (menyalahkan diri sendiri, cepat marah, tidak tenang, serta mimpi buruk), juga fisik (sakit kepala atau punggung, sesak napas, diare, atau gatal-gatal) adalah contoh simtom stres yang ditunjukkan mahasiswa kala tegang mengerjakan skripsi.
Timbulnya stres di atas, menurut penelitian Kresna Dwi Aryawan, bisa karena penyebab dari dalam dan luar diri. Lewat riset berjudul “Gambaran Stresor dan Koping Stres dalam Proses Penyelesaian Skripsi pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Tahun 2016” (2017), Kresna Dwi menjelaskan faktor seperti motivasi diri, kesulitan mencari serta memahami literatur, karakter dosen pembimbing yang sulit dipahami, berikut dukungan keluarga memengaruhi kondisi psikis mahasiswa (hlm. 9).
Kampus Mesti Bertindak
Berkaca pada hal di atas, stres atau depresi akan berpengaruh pada kesehatan mahasiswa berikut pendidikan yang sedang mereka jalani apabila tidak segera ditangani. Berbagai cara untuk mengatasi ketegangan kala mengerjakan skripsi pun mesti diusahakan. Upaya kecil seperti membuat rencana kerja, tidur yang cukup, dan meluangkan waktu buat diri sendiri dapat dilakukan agar stres berkurang.
Selain itu, mahasiswa juga perlu mencari kelompok yang mendukung proses pengerjaan skripsi. Di samping agar tugas akhir segera rampung, grup semacam ini juga memberikan kepuasan sosial lewat percakapan yang tercipta.
Lebih lanjut, mahasiswa bisa mencari jalan keluar atas rasa stres atau depresi yang dirasakan lewat komunikasi dengan dosen wali. Dosen, sebaliknya, juga wajib dilatih agar peka terhadap tanda-tanda gangguan kesehatan mental.
Apabila kondisi tak kunjung membaik, maka mencari bantuan kepada psikolog perlu diupayakan. Dalam hal ini, universitas harus menciptakan kultur di mana stigma terhadap kesehatan mental tak lagi ada sehingga mahasiswa tidak segan untuk meminta pertolongan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan