Menuju konten utama

Demokrat, PAN, PKS: Suaranya Kecil, Perannya Besar (Pecahkan 02)

Prabowo menuding Pemilu 2019 penuh kecurangan. Demokrat, PKS, dan PAN—tiga partai papan bawah pengusung Prabowo-Sandiaga—tidak serta-merta manut ucapan sang capres.

Demokrat, PAN, PKS: Suaranya Kecil, Perannya Besar (Pecahkan 02)
Kampanye Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Antaranews/Ampelsa

tirto.id - Hiruk pikuk Pemilihan Umum 2019 masih bertahan. Sekarang hingga hari pengumuman hasil perhitungan suara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), 22 Mei 2019, ialah masa-masa genting yang menentukan laju koalisi pengusung calon presiden dan wakil presiden, sekaligus percaturan politik Indonesia secara umum.

Menurut hasil hitung cepat Indikator Politik Indonesia, Prabowo-Sandiaga kalah. Pasangan calon nomor urut 02 ini mengantongi hanya sekitar 45,41 persen suara. Sementara lawannya, Jokowi-Ma'ruf, mendapat sekitar 54,59 persen suara.

Hitung cepat Indikator juga menunjukkan PDIP dan Gerindra, dua partai asal para capres, menjadi pemuncak dan runner-up klasemen suara Pemilu Anggota DPR 2019. PDIP meraih 18,89 persen, sedangkan Gerindra mendapat 12,89 persen.

Sementara itu, sebagian besar partai pengusung Jokowi-Ma'ruf selain PDIP menempati papan tengah klasemen: Golkar, PKB, dan Nasdem. Mereka mendapat suara lebih banyak dari partai-partai pengusung Prabowo-Sandiaga selain Gerindra: Demokrat, PAN, dan PKS.

Demokrat, PAN, dan PKS memang tersungkur di papan bawah. Hitung cepat Indikator menyatakan PKS memperoleh 8,18 persen suara, bersaing dengan Nasdem dalam memperebutkan peringkat kelima. PAN mendapat 6,56 persen, peringkat ke-8 atau nomor dua dari bawah. Sedangkan Demokrat, partai yang pernah menang Pemilu 2009, hanya meraup 7,63 persen suara dan menempati urutan ke-7. Meski demikian, manuver tiga partai ini begitu menonjol di masa-masa genting.

Demokrat versus Gerindra

Usai hasil hitung cepat diumumkan, Prabowo dan pendukungnya menggelar konferensi pers. Dia menolak hasil hitung cepat yang menunjukkan keunggulan Jokowi-Ma'ruf. Prabowo mengklaim pihaknya menang dengan perolehan suara 62 persen. Ketika bertemu media luar negeri pekan ini, Prabowo mengklaim Pemilu 2019 diwarnai banyak kecurangan dan dia tidak akan terima hasil pemilu yang dianggapnya curang.

Klaim tersebut belakangan ini ditanggapi dingin oleh Demokrat. Politikus Demokrat Andi Arief—orang yang pernah menyebut Prabowo jenderal kardus dan tak niat jadi capres—mengatakan di twitter bahwa angka 62 persen yang diklaim Prabowo itu dipasok oleh "setan gundul".

"Dalam koalisi adil makmur ada Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, Berkarya, dan rakyat. Dalam perjalanannya muncul elemen setan gundul yang tidak rasional, mendominasi, dan cilakanya Pak Prabowo mensubordinasikan dirinya. Setan Gundul ini yang memasok kesesatan menang 62 persen," ucap Andi.

Pernyataan ini dilontarkan hanya lima hari setelah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sulung Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bertemu Jokowi di Istana Negara. AHY terakhir kali bertemu Jokowi pada Maret tahun lalu, sebelum masa pendaftaran capres dan cawapres ke KPU.

Petinggi Demokrat menyatakan pertemuan yang berlangsung pada 2 Mei 2019 itu sekadar silaturahmi biasa. Namun, sulit untuk tidak membacanya sebagai bagian usaha Demokrat menjaga jarak dengan Prabowo. Usaha ini telah tampak sebelumnya lewat kritik-kritik Demokrat terhadap Prabowo, Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, dan kampanye akbar Prabowo-Sandiaga.

Pertemuan ini juga bisa dilihat sebagai usaha Demokrat mendekatkan diri ke Jokowi. Hal ini telah dilakukan Demokrat sejak sebelum pemungutan suara. Pada akhir Maret 2019, setelah SBY tak lagi bisa berkampanye karena mesti menemani istrinya yang sakit di Singapura, AHY mengatakan pihaknya menerapkan strategi rel ganda: kader Demokrat menangkan partainya, tapi perihal paslon di Pilpres 2019 silakan pilih yang diinginkan—tidak harus Prabowo-Sandiaga.

Menanggapi manuver Demokrat akhir-akhir ini, Wakil Ketua Umum (Waketum) Gerindra Arief Puyuono mengatakan bahwa sebaiknya Demokrat lekas keluar dari koalisi Prabowo-Sandiaga.

"Dan, saya tahu kok kenapa [SBY] kayak undur undur. Maklum belum clear jaminan hukum dari kangmas Joko Widodo bagi keluarga SBY yang diduga banyak terlibat kasus Korupsi, kayak kasus Korupsi proyek hambalang," ucap Arief.

PKS dan PAN di Ambang Perubahan

Strategi rel ganda dilancarkan sebab Demokrat tidak dapat efek ekor jas Prabowo-Sandiaga. Namun, PKS dan PAN pun mengakui partainya tidak dapat efek ekor jas serupa.

Beda dengan Demokrat, sewaktu masa kampanye, gelagat PKS dan PAN menunjukkan kesetiannya kepada Prabowo atau Sandiaga sambil curhat bahwa kadernya di daerah sulit mengampanyekan Prabowo-Sandiaga. Meski demikian, selepas pemungutan suara, kedua partai itu pun menunjukkan gelagat berbeda.

Infografik tunggal Pilpres dan Koalisi Parpol

Infografik tunggal Pilpres dan Koalisi Parpol

Seminggu setelah pemungutan suara, Wakil Ketua Umum Waketum PAN Bara Hasibuan menyatakan bahwa PAN membuka peluang merapat ke Jokowi-Ma'ruf.

Masih terlalu dini untuk menganggap pernyataan tersebut sebagai sikap partai. Sewaktu masa kampanye, Bara Hasibuan tidak menutupi bahwa dirinya mendukung Jokowi. Dia termasuk dalam salah satu faksi yang tidak ingin PAN menjadi "partai agama".

Di luar itu, politikus PAN lain yang dekat dengan Aksi Bela Islam 212 seperti Eggi Sudjana dan Amien Rais getol mengorganisasi unjuk rasa "people power" dan membangun narasi bahwa Pemilu 2019 diwarnai kecurangan. Unjuk rasa dengan isu serupa juga dilancarkan Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, dan Persaudaraan Alumni 212.

Sementara Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan tampak bersikap moderat. Pekan ini dia mengatakan agar menyukseskan program siapapun presiden terpilih. Bila keberatan terhadap hasil Pemilu 2019, pihak tersebut di harap menempuh jalur hukum. Anggota fraksi PAN—dan Demokrat—sendiri bungkam saat PKS dan Gerindra mengajukan pembentukan panitia khusus (pansus) penyelenggaraan Pemilu 2019 di Rapat Paripurna DPR.

Presiden PKS Sohibul Iman menyatakan pansus itu dibentuk terkait banyaknya temuan kecurangan pemilu dan kematian lebih dari 554 petugas pemilu. Narasi kecurangan itu juga bergulir dalam Ijtima Ulama III. Ijtima yang pernah mengusulkan agar Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Juffri sebagai cawapres Prabowo ini menuntut Bawaslu dan KPU diskualifikasi Jokowi-Ma'ruf.

Meski demikian, manuver lain juga muncul dari dalam PKS. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan pihaknya tak lagi mempropagandakan #2019GantiPresiden. Pernyataan ini kemudian sebut politikus Gerindra Andre Rosiade mematahkan semangat relawan Prabowo-Sandiaga.

Demokrat, PKS, dan PAN memang mendapat suara yang relatif kecil. Namun, tindak-tanduknya menunjukkan koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga semakin ke sini semakin tampak tak kompak. Padahal saat ini Prabowo amat butuh kekompakan dari partai-partai ini untuk membangun klaim kemenangannya.

Nampaknya hanya tinggal tunggu waktu sebelum tiga partai ini mengeluarkan kartu trufnya dan membuat koalisi 02 benar-benar pecah.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf