Menuju konten utama

Setan Gundul: Cara Demokrat Tinggalkan Prabowo dan Loloskan AHY

Cuitan Andi Arief soal "Setan gundul" semakin mengindikasikan kalau Demokrat tak betah berkoalisi dengan Prabowo. Mereka pun sudah bilang kalau koalisi itu memang tak permanen.

Setan Gundul: Cara Demokrat Tinggalkan Prabowo dan Loloskan AHY
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono didampingi putranya Agus Harimurti Yudhoyono menerima kunjungan bakal calon Presiden Prabowo Subianto di kediamannya di Kuningan, Jakarta, Rabu (12/9/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Kiprah Partai Demokrat dalam Koalisi Adil dan Makmur yang mengusung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai paslon dalam Pilpres 2019 kembali menjadi sorotan. Berkali-kali partai yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu bermanuver politik yang mengindikasikan mereka tak akan selamanya berada di kelompok tersebut.

Demokrat bahkan telah menunjukkan gelagat itu sebelum hari pencoblosan Pemilu 2019, Rabu, 17 April. Misalnya, jarangnya SBY atau pun petinggi-petinggi Partai Demokrat lain tampil mengkampanyekan Prabowo-Sandiaga, padahal SBY sendiri meminta menjadi Juru Kampanye Prabowo-Sandiaga.

SBY bahkan membikin surat yang isinya kritik terhadap kampanye akbar paslon 02 di Gelora Bung Karno, 7 April lalu. Ketika itu SBY bilang kampanye ini tak inklusif. SBY melihat ada kecenderungan kampanye ini hanya untuk golongan tertentu.

Saat debat terakhir, Sabtu 13 April 2019, sejumlah pengurus Partai Demokrat memilih walkout dari arena debat. Penyebabnya lantaran saat itu Prabowo menyalahkan "presiden-presiden sebelum Jokowi" dalam membangun ekonomi.

Meski tak menyebut nama SBY yang merupakan Presiden RI ke-6, Demokrat tetap tersinggung atas ucapan Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Gelagat Demokrat tak akan bertahan di koalisi semakin terlihat saat putra sulung SBY yang menjabat Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, menemui Presiden Jokowi di Istana Negara, Kamis, 2 Mei lalu. Meski begitu pertemuan ini bagi elite Demokrat hanya silaturahim biasa.

Besoknya, giliran Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto yang menjenguk istri SBY, Ani Yudhoyono, di National University Hospital Singapura. Pertemuan ini membuat Prabowo membatalkan jadwalnya yang juga ingin menjenguk di hari yang sama.

Gelagat terbaru Demokrat adalah ketika Wasekjen Andi Arief menyebut ada "setan gundul" dalam koalisi Prabowo-Sandiaga. Frase ini diucapkan Andi melalui akun Twitternya, Senin (7/5/2019) kemarin.

Andi bilang ada Setan Gundul yang membisiki Prabowo kalau dia menang di pilpres dengan total suara mencapai 62 persen.

"Dalam koalisi adil makmur ada Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, Berkarya, dan rakyat. Dalam perjalanannya muncul elemen setan gundul yang tidak rasional, mendominasi, dan cilakanya Pak Prabowo mensubordinasikan dirinya. Setan Gundul ini yang memasok kesesatan menang 62 persen," ucap Andi.

Ucapan Andi ini disesalkan Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade. Andre mengaku telah menelepon Andi dan memintanya hadir melihat proses penghitungan real count yang dilakukan tim IT BPN.

"Saya sudah telepon Andi Arief supaya datang ke BPN, lihat war room BPN, supaya tahu kita sudah lakukan real count sampai 70 persen lebih, di mana Prabowo masih unggul versi C1 kita," jelas Andre kepada reporter Tirto, Selasa (7/5/2019).

Untuk menjaga kesolidan, Andre pun berharap ke depannya semua pihak yang tergabung dalam Koalisi Adil Makmur tak menyampaikan pendapat atau kritik lewat media sosial, melainkan lewat sarana internal.

"Tidak perlu bicara di media mainstream atau media sosial," ucapnya.

Memang Mau Keluar

Apa benar Demokrat akan keluar, atau minimal telah memikirkan itu? Jawabannya: ya, setidaknya begitu menurut beberapa fungsionaris partai.

Ketua Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean misalnya, bilang kerja sama partainya dengan Koalisi Adil Makmur bakal berakhir hingga adanya penetapan pemenang Pilpres 2019 ini.

Bila Prabowo-Sandiaga dinyatakan menang, maka partainya punya kewajiban untuk mengawal pemerintah baru. Sebaliknya jika Prabowo-Sandiaga dinyatakan kalah.

"Kalau Pak Prabowo menang, Partai Demokrat punya kewajiban moril dalam politik mengawal pemerintahan. Tapi kalau Pak Jokowi yang diputuskan menang, maka kerja sama koalisi berakhir," kata Ferdinand saat ditemui di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (6/5/2019) kemarin.

Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon juga menyampaikan hal serupa, tepatnya, pernyataan bahwa partainya akan kembali menjadi partai yang bebas menentukan arah politik ketika KPU telah menetapkan pemenang pilpres.

Selama belum ada hasil yang sah, kata Jansen, Demokrat menjamin kalau mereka solid bersama koalisi.

"Bukan hanya di koalisi Pak Prabowo, di TKN juga akan bebas kembali partai-partai itu. Mereka bebas tentukan arah dan kebijakan politiknya," ucap Jansen.

Berbagai manuver politik yang dilakukan Partai Demokrat ini, menurut Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo, adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk menyongsong Pemilu 2024.

"Walaupun jatuh suaranya, ya, yang penting mereka lolos 2019. Selanjutnya mereka akan berusaha di 2024. Kalau saya orang partai saya mikirin 2024, ngapain mikirin 2019? Kan, sudah selesai," kata Kunto kepada reporter Tirto.

Poin penting yang akan Partai Demokrat jual pada 2024 adalah sosok AHY yang saat ini dianggap sebagai putera mahkota.

Kata Kunto, Demokrat rela meninggalkan barisan Prabowo-Sandiaga agar AHY mendapatkan posisi strategis di pemerintahan Jokowi periode berikutnya. Posisi di pemerintahan Jokowi inilah yang diharapkan Demokrat bisa mempertahankan bahkan menaikkan popularitas AHY demi melaju di Pemilu 2024.

"Mau enggak mau Demokrat merapat ke Jokowi supaya dapat jatah, entah apa pun posisinya, yang penting bisa dapat sorotan media," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino