tirto.id - Bendera merah putih, poster bertuliskan “Jangan Bangga jadi Pelindung Koruptor”, “Usut #KPUGate,” dibawa segerombolan bocah lelaki. Saya meminta mereka berpose. Cekatan mereka atur jarak.
“Kalau di Arab, pencuri dipotong tangannya. Di Cina, pencuri dipenggal kepalanya. Di Indonesia, koruptor dipotong masa tahanannya. Betul tidak?” Massa membenarkan pernyataan itu sebagai jawaban. Saya dengarkan pernyataan itu sembari menjepret para bocah.
Meski berbicara menggunakan mikrofon, nada bicara si orator tak merendah. Bahkan meninggi, seolah jadi bahan bakar massa agar setuju dengan pernyataannya.
Massa rela menyeka peluh di wajah dengan ujung bajunya. Tak sedikit yang mengernyitkan dahi ketika menghadap barat. Minuman pedagang pun laku diborong.
Panas tak menghentikan mereka berkerumun. Azan Asar dikumandangkan oleh muazin dari atas mobil komando kelir putih. Saat itulah masa tenang setelah dua jam tak henti berpidato: menuntut perkara korupsi di Indonesia dirampungkan.
Ratusan massa itu gabungan dari Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, dan Persaudaraan Alumni 212. Mereka berkerumun di sekitar Patung Kuda, hingga seperempat Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Aksi itu rencananya digulirkan hingga depan Istana Negara, tapi aparat memblokade massa menggunakan kawat berduri, di depan gedung Sapta Pesona. Mereka tertahan di situ.
“Kalau ada Habib Rizieq, ini pasti diterabas sampai sana [depan Istana], dia tidak mau di sini," ucap Susi, seorang demonstran asal Tanah Abang saat ditemui reporter Tirto di sela-sela aksi.
Aksi oleh ormas Islam gabungan itu menuntut pengusutan kasus korupsi yang mandek, lantaran melibatkan lingkaran pusat kekuasaan. Beberapa kasus itu, antara lain: Jiwasraya, Asabri, dan suap yang melibatkan eks Caleg DPR RI dari PDIP Harun Masiku kepada eks Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan.
Ketika ditanya ihwal korupsi Jiwasraya seperti tepatkah penyitaan aset, pembekuan manajemen investasi, suspensi saham Hanson oleh Kejaksaan Agung, Susi hanya “nyengir.”
“Ini, kan, baru mau dibongkar,” kata dia. Apakah dia mengikuti kasusnya dan paham duduk perkaranya? Susi menegaskan “tidak tahu.”
Susi datang bersama suaminya. Ia pun tak paham perihal nasib para pembeli repurchase agreement nasabah Hanson dalam Jiwasraya. “Tidak paham,” kata pria itu sembari mengganyang ketoprak di trotoar Monas.
Namun, lanjut dia, semestinya negeri ini tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. “Itu masalah dari zaman dahulu,” kata dia menambahkan.
Massa bernyanyi, "Rumah Sakit antre akibat korupsi, maksiat merajalela akibat korupsi, rakyat diadu domba akibat korupsi. Ayo, kita bangkit basmi korupsi." Lagu itu kerap mereka dendangkan.
Tak semua massa berdiri dan berbaris di sekitar orator. Sebagian bahkan duduk 50 meter dari mobil komando, ada pula yang merebahkan diri di taman Monas.
Ketidaktahuan 'daging' tuntutan juga diakui oleh Salman, seorang anggota Laskar Pembela Islam. Ia tak paham soal aset finansial Jiwasraya anjlok, apalah sebaiknya di-bail out atau di-holding.
“Saya tak paham,” ujar dia singkat.
Sementara itu, Sekjen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama Edy Mulyadi menyatakan Jiwasraya jangan di-bail out.
"Tidak boleh bail out, tidak boleh. Uang dirampok, kok masyarakat yang harus menanggungnya," ujar dia di lokasi.
Untuk penyitaan aset Jiwasraya dan serba-serbinya, Edy hanya menegaskan semua perlu dipelajari. "Perlu pembahasan lebih teliti.”
Dia meminta agar masyarakat tidak berlagak blo'on dan pelon. "Memang karena ini menyangkut tangan-tangan kekuasaan. Jadi kacau balau," imbuh Edy. Untuk aksi lanjutan, ia mengaku akan dievaluasi terlebih dahulu.
Sekitar pukul 16.25 WIB, massa masih bertahan. Orator tak henti berteriak agar tuntutan mereka yang dinilai bukan hoaks itu dapat ditindaklanjuti pemerintah. 'Para pemburu koruptor', begitu ia melabeli massa, menanyakan jika Islam berkuasa, apakah keadilan akan tegak?
"Kalau PDIP berkuasa, sekjennya korupsi, bukannya dipecat, tapi dilindungi. Apa itu betul?" kata dia.
Lelaki itu membandingkan ketika Susilo Bambang Yudhoyono jadi presiden dan kadernya dari Partai Demokrat, yaitu Anas Urbaningrum korupsi. Pimpinan partai menyerahkan kasus itu agar diusut. "Maka bubarkan PDIP!" kata dia.
Ia juga menyoroti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ihwal bayaran sekolah menggunakan GoPay. Menurut dia, itu adalah kejahatan intelektual karena tidak semua orang menggunakan aplikasi dompet digital tersebut.
Pengemudi ojek online jadi imbas aksi hari ini. Sembilan pengemudi berdiri di depan gerbang gedung Indosat. Tanpa nge-bid, mereka menawarkan jasa antar ke pegawai yang hendak meninggalkan gedung.
"Kami gunakan GrabNow, akses jalan sulit kalau demonstrasi. Ada jalan yang ditutup, muternya pun jauh," ucap seorang pengemudi berlogat Madura.
Memang dua ruas jalan menuju Medan Merdeka Barat ditutup oleh kepolisian. Pengemudi harus cari jalan alternatif bila ingin bepergian ke kawasan tersebut.
Mobil water cannon polisi disiagakan di balik jejeran kawat berduri. Anggota Brimob dan Sabhara Polda Metro Jaya berjaga. Rute TransJakarta pun dialihkan.
“Polisi adalah bapak-bapak yang kami hormati, mereka pelindung rakyat. Hormati dan hargai tugasnya. Juga TNI," ucap orator itu.
Dia berpendapat anggota aparat dua instansi itu jadi korban kasus korupsi Asabri yang merugikan negara hingga Rp10 miliar.
Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212 Slamet Ma'arif baru angkat mikrofon sekira pukul 16.41. Ia mempertanyakan korupsi zaman ini lebih dahsyat dari era Orde Baru yang berkorupsi 'di bawah meja'.
"Kalau mereka yang korupsi di lembaga negara, artinya ada yang salah. Yang beri jabatan ke pejabat BUMN, itu yang harus bertanggung jawab," ucap Ma'arif.
Dia menegaskan pihaknya sepakat melawan korupsi dan hari ini sebagai titik awal mereka memperjuangkan pemberantasan korupsi.
Seruan Slamet serupa dengan seorang orator sebelumnya. Orator itu ialah Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, yang lebih spesifik menuntut minta Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mundur dari posisinya.
"Supaya Anda sadar bahwa di samping kasus penistaan agama, sebetulnya Ahok itu punya sekitar 6-10 kasus korupsi lagi," kata Marwan tanpa menyebutkan detail perkara.
Marwan menduga Ahok tak terjerat karena 'disembunyikan' oleh pejabat KPK era Agus Rahardjo dkk.
"Mereka ini adalah pelindung koruptor, jangan sok suci membela. Untuk kasus konglomerat mereka melindungi konglomerat, termasuk melindungi Ahok," kata Marwan.
Massa belum beranjak, tak semuanya fokus dengan ocehan si orator. Tapi Slamet kembali ajak massa berantas rasuah untuk yakinkan gerakan hari ini adalah bukti mereka peka terhadap isu korupsi.
"Revolusi, revolusi, revolusi! Takbir! Siap lawan korupsi?" kata Slamet.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz