Menuju konten utama
Periksa Data

Menilik Data Perempuan Korban Pembunuhan di Indonesia

Asia menjadi wilayah dengan kasus femisida terbesar di dunia. Dari sekitar 45 ribu kasus pada tahun 2021, 17.800 di antaranya terjadi di wilayah Asia.

Menilik Data Perempuan Korban Pembunuhan di Indonesia
Header Periksa Data - Data dan Angka Kasus Femisida di Indonesia dan Dunia. tirto.id/Fuad

tirto.id - Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi penyintas kekerasan.

Kasus penganiayaan yang berujung ke pembunuhan oleh Gregorius Ronald Tannur kepada pacarnya, Dini Sera Afrianti, membuat kasus femisida di Indonesia kembali menjadi perhatian.

Ronald, 31 tahun, dilaporkan sempat terlibat perselisihan dengan Dini yang berujung pada penyiksaan fisik terhadap korban, termasuk dengan cara menyeret dan melindas dengan mobil, yang terjadi pada Selasa (3/10/2023).

Peristiwa ini kemudian berujung dengan kematian Dini pada Rabu (4/10/2023) dini hari. Diperkirakan kalau Dini meninggal dunia saat dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Ronald, yang merupakan anak salah seorang anggota DPR RI dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Edward Tannur, per 12 Oktober 2023 telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Ronald dijerat dengan Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 ayat 1 KUHP. Ancaman hukuman berdasar dua dakwaan tersebut maksimal selama 12 tahun penjara.

Aksi penyiksaan yang berujung kematian korban oleh Ronald ini masuk kategori femisida. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dalam laporan Lenyap dalam Senyap (2022) mendeskripsikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Aksi ini didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa, dan kepuasan sadistik.

Kasus yang menimpa Dini ini membuka selubung banyaknya kasus penganiayaan ekstrem terhadap perempuan oleh orang dekat mereka. Pada tahun 2023 saja sudah terdapat beberapa kasus femisida yang juga sempat dirangkum Tirto.

Namun sayangnya, menurut Komnas Perempuan, Indonesia belum memiliki pemilahan data pembunuhan berdasarkan statistik femisida. Bahkan Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime, UNODC) baru membangun laporan klasifikasi femisida pada tahun 2022.

"Femisida belum dikenal secara umum dan karena itu belum ada mekanisme upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan untuk korban dan keluarganya," terang Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat dalam siaran persnya, Selasa (10/10/2023).

Lebih lanjut dia menuturkan bahwa terkait asingnya istilah femisida, Komnas Perempuan menyusun indikator potensi femisida dalam relasi intim. Hal ini mencakup beberapa hal, di antaranya peningkatan ragam kekerasan, intensitas kekerasan fisik, peningkatan muatan kekerasan fisik dan psikis berupa ancaman pembunuhan, adanya penelantaran ekonomi, dan tidak adanya lingkungan yang mendukung untuk melindungi korban.

Kebanyakan di Rumah dan Pelaku Lebih Tua

Dalam upaya menelusuri kasus yang ada di Indonesia, Komnas Perempuan juga berupaya melakukan pemantauan lewat analisis dari putusan kasus kematian yang terjadi pada perempuan antara tahun 2015-2022 dari direktori Mahkaham Agung (MA). Hasil pemantauan ini yang terangkum dalam laporan berjudul "Lenyap dalam Senyap: Korban Femisida & Keluarga Berhak Atas Keadilan" yang terbit pada November 2022 lalu.

Alpanya penggunaan diksi femisida dalam direktori putusan MA, membuat identifikasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan kata kunci yang mendekati definisi femisida itu sendiri. Beberapa kata kunci yang digunakan ini antara lain, "pembunuhan terhadap istri", "penganiayaan terhadap istri", dan "korban adalah istri".

Dari proses penyaringan kasus dari direktori MA, didapatkan 100 kasus kematian terhadap istri. Dari jumlah tersebut tersaring lagi dan didapat 15 kasus yang dapat dikategorikan kasus femisida pasangan intim yang berujung perempuan meninggal.

Catatan penting lainnya dari analisis putusan MA tersebut adalah sebanyak 60 persen kasus pembunuhan kepada perempuan terjadi di dalam rumah.

"Rumah yang dikonstruksikan sebagai tempat paling aman justru menjadi tempat yang paling berisiko karena pelaku pembunuhan adalah pasangan korban," begitu bunyi kutipan dalam laporan.

Selain menggunakan dari direktori MA, Komnas Perempuan juga melakukan pemantauan media daring terkait kasus pembunuhan perempuan. Dalam laporan periode yang mereka petakan kurang lebih selama satu tahun, antara Juni 2021-Juni 2022.

Hasilnya ditemukan 307 kasus. Hasil pengerucutan ke kasus femisida oleh pasangan intim baik itu suami maupun mantan pasangan, menghasilkan 84 kasus.

Ada beberapa kesimpulan yang ditarik dari data ini. Terkait lokasi, senada dengan analisis kasus dari direktori MA, kebanyakan terjadi di wilayah ranah privat seperti rumah ketimbang ranah publik di luar rumah. Hal ini mengidikasikan femisida adalah ancaman nyata bagi perempuan yang dapat dilakukan di rumah oleh orang terdekat sekalipun.

Sementara terkait umur, Komnas Perempuan mencatat, dalam rumah tangga patriarkis, perbedaan usia yang jauh menambah lapisan kerentanan perempuan terhadap kekerasan dalam hal ini femisida oleh pasangan intim. Hal ini terlihat dari 73 kasus, 57 di antaranya melibatkan pelaku yang berusia lebih tua dibanding dengan korban.

Kemudian, terkait cara pembunuhan. Dalam kasus femisida yang dianalisis Komnas Perempuan, cara paling banyak dilakukan oleh pelaku (pasangan laki-laki korban) adalah dengan menusukkan benda tajam, diikuti dengan pemukulan.

"Femisida merupakan tindak kekerasan ekstrem berlapis dan bukan tunggal," begitu salah satu simpulan laporan.

Disebut juga bahwa dari 84 kasus yang dianalisis, 14 di antaranya menggunakan lebih dari satu cara atau kekerasan dalam upaya membunuh korban.

Terakhir, terkait motif, terdapat setidaknya 16 motif yang umum ditemukan dari kasus femisida yang dilakukan pasangan intim. Mulai dari yang paling umum seperti cemburu, ketersinggungan maskulinitas, permintaan korban untuk berpisah, faktor ekonomi, samai dengan kasus khusus seperti stres hutang, mengincar harta korban, dan korban menikah siri ditemukan dalam kasus-kasus femisida yang ada di Indonesia.

Melihat kasus-kasus yang ada, Komnas Perempuan secara khusus menyebut perempuan yang berada dalam hubungan berisiko tinggi harus dilindungi dari kontak dengan mantan pasangannya setelah (atau akan) berpisah. Hal ini dianggap sebagai salah satu upaya pencegahan femisida.

Timbul juga preseden adanya eskalasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi kasus pembunuhan terhadap perempuan. Hal ini menjadi tanda bahaya yang perlu menjadi perhatian, sebab berdasar data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), yang dikutip Polri, antara 1 Januari 2022-11 Oktober 2022 ditemukan 19.150 pengaduan kasus KDRT.

Dari jumlah tersebut, sekitar 91,64 persennya menempatkan perempuan sebagai korban.

Kasus Femisida Paling Banyak Ada di Asia

Sementara seperti yang disebut sebelumnya, pada tahun 2022 UNODC, bagian dari PBB yang mengurus masalah kejahatan dan narkoba, secara khusus menerbitkan laporan terkait praktik femisida di dunia.

Dalam laporan berjudul, "Gender-related killings of women and girls (femicide/feminicide)", salah satu kesimpulan utama yang disajikan adalah besarnya angka femisida. Pada tahun 2021 saja ada sekitar 45 ribu kasus pembunuhan perempuan atau anak perempuan oleh pasangan atau anggota keluarganya. Ini berarti, secara rata-rata lebih dari lima orang perempuan dibunuh tiap satu jam oleh orang terdekat mereka.

"Ini berarti sekitar 56 persen dari perkiraan total 81.000 kasus pembunuhan dengan korban perempuan, yang tercatat pada tahun 2021, pelakunya adalah seseorang dari keluarga mereka sendiri," bunyi salah satu pesan pembuka laporan. Dibandingkan dengan kasus pada laki-laki, persentasenya hanya sekitar 11 persen, pembunuhan dilakukan oleh orang terdekatnya.

Laporan ini juga memetakan besaran jumlah kasus femisida di berbagai belahan dunia. Asia menjadi yang paling besar dengan 17.800 kasus, diikuti kemudian oleh Afrika dengan 17.200 kasus, Amerika (Utara dan Selatan) 7.500 kasus, Eropa 2.500 kasus, dan Oseania 300 kasus.

Meski angka di Asia paling besar, jika dilakukan penyesuaian terhadap ukuran populasi tiap wilayah, disebutkan kalau perempuan di Afrika punya risiko femisida yang paling besar. Tingkat femisida di sana mencapai 2,5 per 100.000 populasi perempuan. Angkanya lebih tinggi dibanding dengan Amerika (1,4), Asia (1,2), Oseania (0,8), dan Eropa (0,6).

Lebih jauh, UNODC juga menyebut adanya kendala yang serupa dengan Komnas Perempuan yakni soal pengumpulan data. Mereka menyebut dari sekitar 81 ribu kasus pembunuhan pada perempuan, sekitar 40 persennya tidak terdapat informasi yang bisa memberi konteks untuk diidentifikasi sebagai femisida.

"Data mengenai pembunuhan terkait gender yang dilakukan di ruang publik sangat langka, sehingga sulit memberi masukan bagi kebijakan pencegahan pembunuhan semacam ini," bunyi salah satu kesimpulan dari laporan tersebut.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Periksa data
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty