tirto.id - "Apa kabarmu? Cuaks!"
Pertanyaan yang disusul dengan jawaban dan tawa penonton itu dilontarkan Matthew Kiichi Heafy, gitaris dan vokalis utama band heavy metal Trivium. Heafy beberapa kali menyapa penonton Hammersonic 2023 hari kedua (19/3) dengan Bahasa Indonesia.
Heafy memang pandai menghibur penonton. "Cuaks", kata yang viral di media sosial negeri ini pun ia teriakkan, selain "Terima kasih" dan "Selamat malam". Dan tentu saja batik yang ia kenakan ketika membawakan "Rain" dari album Ascendancy sebagai lagu pembuka di panggung Empire, kembali membuat penonton bersorak.
Kejutan lain Heafy hadirkan. Ia melepas batik dan mengenakan jersey Timnas Indonesia warna merah dengan logo Garuda di dada kiri. Lagi, hal itu membuat penonton berteriak kegirangan.
Hammersonic merupakan ajang kedua Trivium di Indonesia. Februari 13 tahun silam band asal Florida ini pernah bermain di Tennis Indoor Senayan.
Di Hammersonic 2023, Heafy, bersama Corey Beaulieu, Alex Bent, dan Paolo Gregoletto membawakan 10 lagu. Selama satu jam mereka menghibur metalheads di Pantai Carnaval Ancol. Hits seperti "Amongst the Shadows & the Stones", "Strife", "The Sin and the Sentence", "Down From the Sky", dibawakan begitu apik, selaras dengan tata audio dan pancaran sinar lampu, serta kain latar belakang "Deadmen and Dragons".
Semua aspek itu diramu, bercampur dengan lirik yang dinyanyikan kencang-kencang oleh penonton. Hasilnya, membuat hasrat headbang tak terbendung, terutama "Pull Harder on The Strings of Your Martyr" –penggemar yang lebih tua disuguhi lagu yang sangat populer dari tahun 2005– membuat saya enggan berhenti mengikuti energi yang mereka berikan dalam lagu terakhir malam itu.
Pelayaran Nordik
Dua jam sebelum Trivium memanaskan atmosfer pengunjung, Amon Amarth turut berhasil membuat penonton memenuhi area sekitar panggung. Band asal Swedia ini dikenal sering membawa kultur mereka sebagai bangsa Nordik ke atas panggung.
Band yang melahirkan 12 album studio ini mendasarkan sebagian besar lirik lagunya pada mitologi Norse, era Viking, dan dunia pra-Kristen, yang secara tematis terdiri dari gaya heavy metal yang dikenal sebagai Viking metal.
Band death metal melodik ini lantas mengajak penonton "berlayar" dengan 15 lagu, termasuk "The Way of Vikings", "The Great Heathen Army".
Johan Hegg, si vokalis, meminta penonton duduk lalu memeragakan gerakan mendayung. Sontak "Put Your Back Into The Oar" menghantam, distorsi gitar makin memaksa peluh para "Viking" makin deras. Tangan dikayuh makin kencang. Ombak orang-orang berbaju hitam itu bergerak seirama. Mulai dari kepala hingga kaki, merestui geraman Hegg di pesisir utara Jakarta malam itu.
Suku Viking menggunakan banyak wadah minum yang berbeda, mulai dari kerucut primitif yang terbuat dari kulit kayu birch yang digulung, hingga gelas perak dan kaca. Sebagai bentuk salut kepada kehadiran metalheads di Hammersonic 2023, Hegg mengangkat tanduk berisi cairan (apa ya isinya?) dan meminumnya di panggung! Sorakan tak terbendung. Lantas "Raise Your Horns" dimainkan. Transisi manis dari adegan menuju musik.
Hegg, Olavi Mikkonen, Ted Lundström, Johan Söderberg, Jocke Wallgren, memang kerap menjadikan sebuah konser sebagai medan perang. Atraksi mereka di atas panggung membawa penonton merasa hidup dalam legenda Nordik. Atmosfer pelayaran berhasil mereka bawa ke Ancol: melancong jarak jauh melintasi Eropa Timur dan Atlantik Utara melalui rekaman ombak yang disetel beberapa kali sebagai peralihan suasana.
Kesepian dalam Keramaian
Hari pertama Hammersonic 2023, Sabtu, 18 Maret. Saya baru memarkirkan motor di lapangan sebelah kiri Bundaran Bende Ancol sekitar pukul 16.05. Parkiran tidak terlalu sesak meski motor-motor mengisi lahan di depan barisan mobil. Tak teratur, begitu kesan pertama saya.
Hari itu Arctic Monkeys, band rock asal Inggris, turut tampil di Ancol Beach City. "Bentrok," batin saya. Saya mulai membayangkan 8 jam kemudian masih ada antrean kendaraan yang berjuang keluar dari area parkir ini. Lantas saya berjalan sekira 150 meter menuju lokasi Hammersonic yang ternyata menggunakan lahan Jakarta International E-Prix Circuit.
Banyak penonton yang duduk di luar pintu pemeriksaan identitas dan barang. Mereka berkumpul, merokok, bergurau, hingga akhirnya saya mendengar tiga lelaki bersungut.
"Kalau lo udah keluar, gak bisa masuk lagi."
Ocehan para penggerutu itu saya konfirmasi kepada panitia yang mengecek kode bar kartu peliputan saya.
Pelarangan "Udah keluar gak boleh masuk" adalah salah satu cara menjaga ketertiban. Sardi, seorang penjaga berkaus kuning, berkata larangan itu tidak berlaku jika ada urgensi. Tapi untuk keadaan mendesak pun pengunjung harus memberikan alasan dan menyerahkan kartu identitas.
Menurut saya, pelarangan itu merepotkan pengunjung. Atau mungkin saja petugas pemeriksa enggan bangkit kembali untuk memeriksa pengunjung yang datang kembali. Ah, biarlah.
Tenda official merchandise berdiri sebagai penyambut para pengunjung. Ia berada tepat lurus dari area masuk Puluhan orang mengantre dan menyebutkan ukuran kaos atau kemeja yang akan mereka borong. Satu kaus Hammersonic warna hitam bergambar robot berkepala kambing, bisa ditebus Rp275 ribu; sedangkan kemeja hitam bordir dibanderol Rp350 ribu.
Berjalan ke arah kiri dari tenda pertama, pengunjung disuguhkan jejeran tenda penganan. Kentang goreng, sate lilit, ayam geprek, semur jengkol, bakwan jagung, bisa dibeli selama stok ada. Bir, minuman "sunah" para hammerhead –sebutan bagi penonton Hammersonic– juga mudah didapat selain kola dan air mineral. Di ujung jalan itu ada tenda medis dan keamanan.
Saya menengok ke kanan dari tenda jajanan, panggung Avalanche dan Beast kosong. Belum ada penampilan lagi sore itu. Banyak pengunjung selonjoran di rumput sembari berkisah atau bersender di dinding. Sekira 50 meter dari dua panggung itu, ada tenda yang dialihfungsikan sebagai musala dan ada area toilet portabel. Ada dua jenis toilet: khusus buang air kecil dan bilik.
Toilet khusus buang air itu mungkin ukuran 3x2 meter. Satu baris disekat tiga, jadi bisa tiga orang dalam barisan. Siapapun berpunggungan di dalam situ. Satu tenda itu bisa menampung enam orang. Tapi bilik portabel hanya bisa diisi satu orang dan cukup bersih. Seorang penjaga toilet akan mengecek fasilitas toilet secara berkala.
Ia bisa mendengarkan slap bass tanpa meninggalkan tempat jaganya lantaran panggung Hammer dan Sonic ada di balik tembok pembuangan hajat. Sekira pukul 18.30, The Working Class Company, Greyhoundz, dan DJ Sikh bergantian mengisi dua panggung itu. Saint Loco tampil sekira pukul 20.00, disusul Stereowall, Rocket Rockers, lalu Burgerkill. Penampilan terakhir hari itu dilakoni oleh Vio-lence, band thrash metal Amerika yang dibentuk pada tahun 1985.
Entah mengapa telinga saya agak sakit ketika mendengar suara yang keluar dari dua panggung itu; ketika Greyhoundz main, saya mulai merasakan ketidaknyamanan telinga dan itu berlanjut hingga beberapa penampil. Karena itu pula saya harus mundur hingga ke area rumput, sekira 20-30 meter dari bibir panggung, demi mendengarkan suara yang lebih halus dan tak tajam.
Saya menduga level high terlalu tinggi, tapi para arsitek suara tak berada di sisi penonton; atau memang itu adalah settingan standar (maksimal?) pagelaran tersebut? Bahkan rekan saya bertanya "Sound band-band sebelum Burgerkill jelek juga gak?"
Sabtu itu, penonton tidak membludak. Bahkan saya masih bisa berbagi meja dengan pengunjung lain saat petang hari. Malamnya, meski area depan panggung terisi penggemar, tapi masih ada cukup ruang untuk bergerak. Saya beberapa kali rebahan di aspal, orang lalu-lalang di sekitar saya tanpa kesulitan melihat tubuh saya yang tergeletak; meski penerangan secukupnya saja.
Menanti Sang Raja
Hari kedua, pukul 22.30. Para pengunjung tak sabar menunggu penampilan utama dari Slipknot. Band ini sudah ditunggu sejak tiga tahun lalu, di kala pengumuman line up Hammersonic 2020 menyebutkan band asal Iowa ini. Kita semua tahu apa yang terjadi setelah itu. Hammersonic ditunda, dan membuat banyak orang kelimpungan.
Kehadiran Slipknot memang menjadi daya tarik utama Hammersonic tahun ini. Suasana hari kedua jauh berbeda dengan hari pertama. Bahkan saya kesulitan mencari lahan parkir kosong, padahal saat itu masih sekitar pukul tiga sore.
Keramaian hari kedua wajar saja terjadi, sebab konser dimulai pukul 11. Hollykillers membuka acara, lalu dilanjutkan Vulvodinya, Stillbirth, Deadsquad, Jeruji, juga Muntah Kawat. Siang itu, terik menemani mereka yang menikmati band-band cadas itu. Sore giliran Story of the Year, Knosis, For Revenge, Batushka, Born of Osiris, yang naik panggung.
Panitia memberikan waktu 30 menit bagi band-band itu tampil. Namun lima band terakhir, Amon Amarth, Watain, Trivium, Black Flag, dan Slipknot, punya waktu dua kali lipat. Hanya Watain dan Black Flag yang tampil di panggung Hammer dan Sonic, tiga lainnya menguasai Empire.
Pada 22.40, Corey Taylor dan kompatriotnya mulai memasuki panggung. Maggots, sebutan penggemar Slipknot, berteriak. Doa mereka terkabul. Dada saya bergemuruh, saya yakin puluhan ribu orang fans Slipknot juga merasakan hal yang sama. Saya harus menanti 16 tahun sejak pertama kali saya berharap mereka tampil di Indonesia.
"Finally. Finally. Finally," kata Corey menyapa penonton. "After three fucking years waiting, Slipknot is in Jakarta!"
Slipknot tak kasih banyak waktu menunggu, mereka langsung tarik gas! Lagu seperti "Disasterpiece", "Wait and Bleed", "Sulfur", "Unsainted", mereka bawakan dengan prima. Tentu saja hit "Duality", "Psychosocial", "Dead Memories", "People = Shit" tak luput memanaskan hasrat penonton. Kurang lebih mereka membawakan 16 lagu dalam 90 menit.
Aksi panggung yang jadi karakteristik mereka pun ditunjukkan secara benderang: Clown dan Michael yang "heboh sendiri" lari ke sana sini, lompat ke atas perkusi; Sid yang berjalan membawa kepalanya; Jim dan Mick yang membiarkan rambutnya berantakan sembari menuntaskan shred.
Seiring dengan penampilan mereka yang energik dan tak terduga, biasanya Slipknot sering menggunakan pengaturan panggung yang rumit seperti menggunakan kembang api, area panggung yang ditinggikan, drum hidrolik, dan layar komputer. Setelah semua bercampur –teknologi dan personel– maka yang dihasilkan adalah penampilan yang luar biasa dari band asal Iowa ini.
Melihat wajah puas para penonton malam itu, tak mengherankan kalau bilang Slipknot berhasil memuaskan kerinduan dan rasa penasaran para Maggots.
Momen Penting Festival Musik
Anya, salah satu hammerhead asal Surabaya, mengaku hanya ke Jakarta untuk menonton Hammersonic 2023 hari kedua. "Aku menunggu Suicide Silence, Black Flag, dan Slipknot. Aku tahu Slipknot sejak aku sekolah dasar," ucap dia. Bahkan harga tiket Rp1,4 juta yang ia tebus nyaris empat tahun lalu, sepadan dengan acara musik ini.
Apalagi para pembeli tiket sebelum era pagebluk COVID-19 harus menunggu tiga tahun untuk menyaksikan band-band favorit mereka. Anya juga menilai kebersihan dam keamanan acara itu tergolong cukup.
"Aman cukup, bersih cukup. Dahulu, jujur, aku bayangkan venue Hammersonic bakal berlumpur, ternyata tidak. Tata panggung juga, oke. Carnaval Ancol cukup menampung segitu banyak orang."
Begitu juga dengan Malika, penggemar Black Flag asal Jakarta, turut bersuara.
"Konsernya ramah perempuan. Seenggaknya menurut pengalaman pribadi pas pisah dengan pacar karena nonton di stage yang berbeda. Toilet cewek cukup bersih, malah toilet cowok antre parah," kata dia.
Sayangnya, Malika menilai kurangnya tempat sampah menjadi hal yang harus diperhatikan oleh penyelenggara acara. Lantas Malika juga menyorot perihal kualitas suara panggung.
"Stage Empire paling kece, tapi semestinya semua stage bisa sekece itu output suaranya. Aku agak sedih pas nonton Black Flag."
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, yang turut hadir dalam hari kedua pun buka suara. Ia menyatakan Hammersonic 2023 adalah realisasi agenda musik yang ditunggu penggemar dan sebagai momen kemunculan kembali setelah berhenti karena pandemi.
"Kemenparekraf mendukung dan mengucapkan apresiasi kepada pihak Ravel (promotor Hammersonic). 70 ribu para pengunjung, penonton yang datang dalam dua hari festival dan ada 7 ribu (orang) berasal dari wisatawan mancanegara," kata Sandiaga. "Ini sekaligus merupakan kebangkitan pariwisata, bagi produk ekonomi kreatif (negeri ini)."
Ravel Junardy, CEO Ravel Entertainment, juga berterima kasih kepada para Hammerhead, 53 penampil, dan pihak terkait yang menyukseskan acara tersebut.
"Besar harapan Hammersonic Festival 2023 ini dapat memuaskan penantian para Hammerhead selama 3 tahun. Baik kurang maupun lebih yang terjadi selama acara, kami harap dapat menjadi pembelajaran dan penyemangat."
Editor: Nuran Wibisono