Menuju konten utama

Dari Munir Hingga Ormas: Cerita di Balik Poster Politik Anti-Tank

Poster-poster Anti-Tank dianggap tajam secara visual maupun perkataan.

Dari Munir Hingga Ormas: Cerita di Balik Poster Politik Anti-Tank
Poster anti-tank project di sudut kota Yogyakarta. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - Catatan: Narasumber dalam artikel ini, Andrew Lumban Gaol, merupakan terduga pelaku kekerasan seksual. Artikel ini bisa dihapus kapan saja dari Tirto.id berdasarkan keinginan korban, yang juga sesuai dengan Pedoman Pemberitaan Media Siber poin 5.a dari Dewan Pers yang menyatakan pencabutan berita dapat dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman traumatik korban.

Bagi siapa pun korban kekerasan seksual yang membutuhkan bantuan dapat menghubungi Komisi Nasional Perlindungan Perempuan di 0213903963 dan lembaga-lembaga mitra Komnas Perempuan, dapat dilihat di tautan berikut.

==========

Di sebuah tembok usang dengan cat yang sudah memudar, tertempel kertas bergambarkan muka Munir—aktivis HAM—dalam balutan warna hitam putih. Nampak dari kejauhan, poster itu masih menyisakan aura kebesaran yang membuat bulu kuduk merinding sekaligus memunculkan pertanyaan; siapa dalang di balik pembunuhannya.

Potret Munir tersebut dibuat oleh Anti-Tank, seniman visual dari Yogyakarta. Anti-Tank merupakan entitas lain dari Andrew Lumban Gaol. Bagi publik Kota Gudeg, keberadaan Anti-Tank sudah tak asing lagi.

Pemilihan nama Anti-Tank sendiri awalnya dipakai Andrew untuk sebuah band punk ketika dirinya tinggal di Pematang Siantar. “Waktu itu, medio 2003, saya ingin band saya punya nama keren seperti Anti-Flag. Bayangan saya kala itu ada keinginan untuk menonjolkan ideologi anti-militerisme, anti-fasis dan rasisme, anti-globalisasi, dan sederet "anti" lainnya yang selama ini bertebaran di kultur punk,” jelas Andrew kepada Tirto.

Setelah nama diperoleh, Andrew menyodorkannya kepada rekan-rekan satu band. Hasilnya; nama Anti-Tank ditolak. “Teman-teman kebingungan dengan penjelasan saya yang dirasa tidak menarik. Bagi mereka, nama semacam “keparat,” “tengkorak,” sampai “jeruji” lebih sangar. Akhirnya mereka memilih nama “Brantakan!”—yang lebih punk,” timpalnya. Berangkat dari penolakan itu, Andrew memutuskan untuk mengundurkan diri.

Baca juga:Risiko dan Nasib Buruk Pembangunan Hotel di Yogyakarta

Tak lama setelahnya, Andrew menjadikan Anti-Tank nama pena untuk setiap selebaran gelap, puisi agitatif, atau penanda zine, komik, poster kolase, hingga poster gigs fotokopian. Pada 2008, Andrew semakin serius dengan nama Anti-Tank, yang dibuktikannya melalui kampanye "Menolak Lupa"—berkaitan dengan pembunuhan Munir—di Yogyakarta.

Ketertarikan Andrew pada dunia gambar telah muncul sejak kecil. Andrew mengaku lebih tertarik pada pelajaran kesenian dan bahasa Indonesia semasa mengenyam pendidikan dasar.

“Adalah buku-buku puisi [koleksi] ibu saya yang membuat ketertarikan itu lahir. Terkadang ada ilustrasi di tiap halaman serta sampul bukunya juga berkesan. Rata-rata sampul itu beraksen stensil, minim warna, dan tipografi yang eksploratif,” paparnya. “Ini yang jadi modal estetika saya sekaligus menjadi inspirasi visual.”

Seiring waktu, referensi Andrew bertambah, dari sampul buku puisi ke karikatur yang dimuat majalah Tempo. “Ketika SMP, saya menemukan buku dan kliping Tempo kiriman paman dari Jakarta. Untuk bukunya sendiri berjudul Dosa Soeharto, Kejahatan Soeharto, dan sebagainya,” terang Andrew.

Baca juga:Musim Konflik Agraria yang Tak Pernah Berakhir

Dengan bacaan-bacaan itu, Andrew pun melihat pelbagai karikatur yang menggambarkan Soeharto sebagai penjahat HAM, koruptor, serta patron nepotisme Cendana. Bagi Andrew, hal tersebut adalah pengalaman visual yang menghentak. “Saya sampai tak nyenyak tidur dalam beberapa malam karena saya berusaha (dengan sembunyi-sembunyi) mencontoh ilustrasi di buku itu,” akunya.

Dari Militer, Ormas, sampai Konflik Agraria

Inspirasi Anti-Tank berasal banyak hal. Mulai dari poster-poster protes mahasiswa Paris 1968 yang hingga kini masih menjadi rujukan tetap, desain poster konstruktivisme Uni Soviet, cukilan Swoon, sarkasme Banksy, kolase Gee Vaucher, poster Shepard Fairey, Barbara Kruger, sampai kekuatan lirik Herry Sutresna (Ucok Homicide).

Soal proses kreatif, Andrew menjelaskan bahwa tindakan pertama yang dilakukan kala membuat karya adalah membayangkan ilustrasi umumnya, seperti apa visual dan kesan yang ingin disajikan. Setelah terpenuhi, Andrew pun membuat banyak sketsa.

“Pada dasarnya ilustrasi lebih menolong dibanding teks. Pemilihan ilustrasi harus memenuhi unsur terpenting; tegas. Di sinilah peran sketsa kasar diperlukan,” papar Andrew.

Infografik ANTI TANK

Sketsa-sketsa itu lantas dikumpulkan dan dikerucutkan lagi sebelum diambil bagian-bagian terpenting dengan cara dipotong, dibuang, ditempel, serta disusun hingga memperoleh porsi ideal. “Persis seperti proses kolase,” tambahnya.

Baca juga:Perppu Ormas Kian Mendiskriminalisasi Minoritas Agama dan Papua

Karya-karya Anti-Tank memuat kritik-kritik terhadap kondisi dalam negeri. Misalnya, poster “Motoritarian Militerisme” yang mengkritik militer. Andrew menjelaskan, “Militer berusaha melenyapkan dosa-dosanya dari publik, menciptakan musuh rekaan, dan mencitrakan dirinya secara suci dengan membuat intrik politik sehingga membuat kita sibuk kelahi sebab termakan isu basi etnis.”

Selain itu, poster “Ketuhanan Yang Maha Ormas” berupaya memperolok sikap bebal organisasi-organisasi keagamaan tertentu yang sering memancing kebencian dan kekerasan. “Sentimen anti-asing selalu dikaitkan dengan Cina, komunis, liberal, semakin absurd. Agama kini mencapai titik paling memalukan ketika digunakan sebegitu serampangan untuk menuduh pihak lain sebagai antek ini dan itu,” ungkapnya.

Ada juga poster menyindir pembangunan di Kota Yogyakarta yang kian berorientasi pada pemodal besar dalam “Yogya Kian Istimewa Hotelnya!”. Menurut Andre, Yogya sudah seperti kota besar lainnya yang "menjadikan warganya sebagai topeng monyet pariwisata untuk menarik turisme."

Sedangkan melalui poster “Daulat Tani Tanpa Penggusuran,” Anti-Tank ingin menekankan bahwa musuh petani bukan lagi tentara, bos proyek, maupun Jokowi melainkan label keistimewaan daerah yang mencaplok lahan pertanian warga atas nama Kraton Yogyakarta. Andrew mengakui, “Ini seperti melawan diri sendiri sebab budaya feodal masih bercokol kuat di nalar warga.”

Poster-poster Anti-Tank menempel di dinding-dinding Kota Yogyakarta. Banyak yang mengaitkan tindakan semacam itu sebagai vandalisme. Namun Andrew tak ambil pusing. ”Di waktu bersamaan sistem yang melanggengkan perusakan lingkungan secara masif dibiarkan begitu saja dan itu tidak dianggap sebagai vandalisme," ujarnya.

Menurut Andrew, beberapa kali poster Anti-Tank dirusak, dihapus, dan diturunkan orang-orang berseragam. Meski demikian, Andrew menegaskan bahwa hal itu justru menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres dan berusaha ditutup-tutupi.

“Respons tersebut justru memancing aksi lebih banyak dari orang-orang untuk melakukan sesuatu. Seperti uban, bila satu dicabut maka lainnya akan bermunculan. Tersemainya perlawanan-perlawanan di banyak titik juga menunjukkan hal serupa,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait FASISME atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf