tirto.id - “Ekstremisme dan terorisme sayap kanan adalah bahaya terbesar untuk demokrasi di Jerman saat ini.”
Kalimat tersebut dilontarkan oleh Thomas Haldenwang, kepala Verfassungsschutz (BfV), biro intelijen domestik Jerman, sekitar awal 2020 lalu. Haldenwang prihatin karena lembaganya baru saja menemukan data tentang 32 ribu ekstremis sayap kanan paling radikal di dalam negeri—12 ribu di antaranya berpotensi melakukan kekerasan. Ia kian khawatir karena jumlahnya meningkat dari tiga tahun sebelumnya, 24 ribu.
BfV tak hanya mendata, tapi juga mengupayakan agar potensi bahaya tidak menjadi kenyataan. Karena itu mereka mengumumkan akan mengawasi Flügel, faksi paling kanan di Alternative für Deutschland (AfD), partai populis antiimigran yang meraup suara terbanyak ketiga dalam pemilu 2017. Flügel kemudian dibubarkan pada tahun yang sama.
Flügel dipimpin oleh Björn Höcke. Sebagaimana organisasinya, dia juga pribadi yang kontroversial. Misalnya saja terkait Nazi. Dia pernah mengatakan tugu peringatan Holocaust di Berlin, yang dibuat untuk mengenang kebrutalan Hitler dan kawan-kawan, adalah “monumen memalukan.”
Figur kontroversial Flügel bukan hanya Höcke. Ada, misalnya, orang bernama Andreas Kalbitz. Dia merupakan ketua partai di negara bagian Brandenburg yang di masa muda mengabdi sebagai tentara pasukan payung. Kalbitz mengundurkan diri setelah ketahuan pernah jadi anggota Heimattreue Deutsche Jugend, organisasi neo-Nazi yang sekarang dinyatakan terlarang dan disebut-sebut reinkarnasi dari program paramiliter pemuda era Perang Dunia II, Hitler-Jugend.
Orang bermasalah berikutnya adalah Stefan Räpple, dewan perwakilan dari negara bagian Baden-Württemberg. Jika Kalbitz mengundurkan diri, maka Räpple dipecat partai menjelang akhir 2020. Beberapa bulan sebelumnya, Räpple termasuk dalam rombongan demonstran yang menyeruduk gedung parlemen di Berlin, Reichstag, untuk memprotes kebijakan pemerintah selama pandemi Covid-19. Hari itu Räpple dilaporkan menyebut pemerintahan Jerman “kediktatoran partai” dan dalam video Youtube menuding negaranya “despotik” dilengkapi kata makian “bangsat”. Räpple pun dituntut ke pengadilan, salah satunya karena dianggap sudah mengajak publik melengserkan pemerintah.
BfV menyadari bahwa banyak sekali orang-orang bermasalah seperti di atas dalam tubuh AfD. Karena itu, pertengahan tahun ini, BfV mengatakan kian intensif mengatasi gerak-gerik politikus AfD, termasuk menyadap telepon mereka.
Pengawasan resmi dapat dilakukan karena pengadilan di Köln memutuskan AfD terindikasi punya agenda antikonstitusional yang mengancam demokrasi. AfD kemudian dikategorikan sebagai “entitas mencurigakan”. Sayap pemudanya, Junge Alternative, dipandang sudah memupuk ekstremisme dan pandangan xenofobia.
BfV merayakan putusan pengadilan di atas sebagai “hari baik untuk demokrasi.” Disebut begitu karena selama ini AfD dipandang sudah membela rasisme, antiminoritas, dan menghina sistem sosial yang eksis.
Setelah Nazi, BfV belum pernah melakukan pengawasan sedemikian rupa terhadap suatu partai. Dengan kata lain, AfD jadi yang pertama setelah Perang Dunia II.
Dengan mengetahui konteks ini, siapa pun tidak bakal merasa heran jika figur AfD juga terdapat dalam daftar 25 esktremis sayap kanan yang awal Desember kemarin ditangkap polisi karena diduga bersekongkol melancarkan kudeta “serangan bersenjata” terhadap pemerintah.
Salah satu yang terlibat dalam rencana kudeta tersebut adalah Birgit Malsack-Winkemann. Dia memanfaatkan ilmu astrologi untuk menentukan hari eksekusi yang paling baik, lapor BBC.
Di samping pernah jadi mewakili AfD di parlemen Bundestag pada 2017-2021, Malsack-Winkemann juga menjabat posisi yang mapan di lembaga negara, yaitu hakim di ibu kota Berlin. Dilansir dari Exberliner, ia kerap menyampaikan pidato rasialis. Dia juga sering menyebarluaskan teori konspirasi QAnon di Telegram. Profesionalitasnya sebagai hakim pernah dipertanyakan, tapi kelak pengadilan mengizinkannya tetap berpraktik.
Apabila kudeta berhasil dan negara baru Jerman didirikan, Malsack-Winkemann dijanjikan menjadi menteri hukum. Namun rencana tinggal rencana. Dia ditangkap dalam penyergapan yang melibatkan 3.000 polisi dan berlangsung di 150 titik di Jerman, Austria, sampai Italia.
Gerakan Reichsbürger
Percobaan mengganti pemerintahan yang sah ini terinspirasi oleh Reichsbürger (berarti 'Warga Negara Reich'/'Kekaisaran Jerman'). Reichsbürger adalah gerakan yang menolak pemerintahan modern Jerman pasca-Perang Dunia II sebagai republik federal dan menyerukan kembalinya sistem monarki Reich sebagaimana pernah berlangsung pada 1871 sampai 1918.
Gerakan Reichsbürger telah dirancang sejak November tahun lalu. Kendati demikian, gerak-gerik pengikutnya sudah dimonitor oleh otoritas sejak 2016.
Kudeta dipimpin oleh Heinrich XIII alias Pangeran Reuss. Heinrich XIII tidak pernah sungkan menyampaikan pandangannya terkait Reichsbürger bahkan di forum internasional, misalnya dalam pertemuan bisnis digital World Web Forum di Swiss tiga tahun lalu.
Motif Heinrich XIII menjadi aktor intelektual kudeta tidak bisa dilepaskan dari pandangan tentang dirinya yang merupakan keturunan ningrat. Keluarganya mulai menetap di Jerman tengah, Thuringia, pada abad ke-12. Menurut lansia kepala tujuh ini, kerajaannya selama seribu tahun “direbut” setelah Perang Dunia I. Dengan kata lain dia merasa berhak memerintah.
Sejak menyerah dalam perang, dia bilang Jerman “tidak pernah berdaulat lagi” melainkan sekadar “struktur administratif [buatan] Sekutu.”
Dia juga mengatakan bahwa perang-perang yang meletus selama abad ke-20 digerakkan oleh keluarga Yahudi kaya raya, Rothschild, serta organisasi persaudaraan kuno Freemasonry. Keluarga besar Reuss kelak menyebut Heinrich XIII tak lebih dari “orang tua kebingungan” yang sudah lama menjauh dari sanak saudara dan terjerumus dalam jejaring dunia konspirasi.
Meski tampak konyol, toh dia punya banyak pengikut. Biro intelijen domestik BfV memperkirakan terdapat 23 ribu orang dalam jaringan Reichsbürger—seribu di antaranya masuk dalam kategori ekstremis kanan jauh. Rata-rata pengikutnya berjenis kelamin laki-laki dan berusia 50-an tahun.
Menurut catatan The Local, sejak tahun 1980-an, gerakan Reichsbürger semakin terlihat jelas wujudnya sebagai koalisi atas neo-Nazi, pecinta senjata, dan penganut konspirasi yang nonstop mempertanyakan legitimasi pemerintahan Jerman modern dan menganggapnya sebagai negara boneka untuk memenuhi kepentingan strategis Amerika Serikat. Mereka suka menolak bayar pajak, nekat menerbitkan paspor dan surat izin mengendara sendiri, mencetak bendera dan kaos untuk kepentingan iklan, bahkan menjual majalah propaganda sampai ke supermarket.
Aktivitas Reichsbürger semakin menguat selama pandemi Covid-19. Pengikutnya—dan sejumlah politisi AfD—menjadi bagian dari aksi protes anti-lockdown dan antivaksin bernamaQuerdenken.
Kepemilikan senjata para pengikut Reichsbürger maupun simpatisannya menjadi perhatian khusus otoritas Jerman beberapa tahun terakhir. Pada 2018, kementerian dalam negeri menyebut terdapat seribu lebih pengikut Reichsbürger yang punya lisensi senjata. Sampai waktu itu, pemerintah sudah mencabut 450 izin kepemilikan untuk mencegah korban jiwa berjatuhan.
Dua tahun sebelumnya, seorang Reichsbürger menembak mati polisi ketika aparat hendak menyita 30 lebih persenjataan ilegal miliknya. Empat tahun kemudian, ekstremis yang diduga terpengaruh konspirasi Reichsbürger juga menembak mati sembilan orang berlatar imigran di Hanau, dekat Frankfurt.
Pengikut Reichsbürger juga meliputi tentara—dari angkatan bersenjata nasional Bundeswehr maupun NVA (Tentara Rakyat Nasional dari Jerman Timur). Dalam plot kudeta kemarin, pensiunan kolonel Bundeswehr, Maximilian Eder, terlibat di dalamnya. Figur yang menyebut diri sebagai “Jenderal Eder” ini pada dekade 1990-an ikut mendirikan pasukan elite Kommando Spezialkräfte atau KSK (mirip Kopassus di Indonesia) dan sempat memimpin misi NATO di Kosovo.
Selain Eder, masih ada figur berseragam lain yang akan menangani “sayap militer” di negara Jerman baru nanti. Namanya Rüdiger von Pescatore, mantan letnan kolonel dan komandan batalion pasukan terjun payung yang kelak ikut memimpin unit KSK. Dia dipecat dengan tidak hormat dari militer karena ketahuan menjual senjata bekas milik otoritas Jerman Timur secara ilegal.
Dikutip dari BBC, tugas Von Pescatore dalam kudeta adalah membawa masuk tokoh-tokoh Reichsbürger ke dalam gedung parlemen, memborgol tangan para anggota dewan yang sedang bekerja, dan menjaga agar aksi mereka semua tetap aman dari jangkauan polisi.
Figur lain berlatar militer yang ditangkap dalam percobaan kudeta adalah Peter Wörner, mantan tentara elite KSK yang beralih profesi jadi mentor seni pertahanan hidup, serta sersan yang bahkan masih aktif di KSK, Andreas Meyer.
Ekstremis yang berlatar polisi, Michael Fritsch, juga ditangkap. Fritsch, yang dijanjikan posisi kepala polisi di negara baru Reichsbürger, dua tahun silam dipecat dari satuan di Hannover karena bergabung dalam gerakan penyangkal Covid-19. Kelak ia mendaftar jadi kandidat untuk partai anti-lockdown Die Basis.
Di samping mereka yang pernah terikat dengan lembaga negara, ekstremis lain yang ditangkap termasuk selebritas koki asal Munich, Frank Heppner. Dilansir dari The Guardian, peran Heppner dalam rencana kudeta cukup banyak: merekrut anggota baru, mengumpulkan persenjataan, mempersiapkan jaringan komunikasi. Apabila kudeta berhasil, Heppner dipercaya untuk menjalankan kantin khusus bagi para tentara “Pasukan Jerman Baru” sekaligus menjadi juru masak pribadi sang raja kelak, Heinrich XII.
(Bersambung...)
Editor: Rio Apinino