tirto.id - Kick off program makan bergizi gratis (MBG) Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah dimulai pada Senin (6/1/2024). MBG diselenggarakan di 190 titik yang tersebar di 26 provinsi. Secara bertahap, program ini nantinya akan dilaksanakan di seluruh provinsi Indonesia.
Tapi menariknya, dari semua pelaksanaan program MBG tersebut, tidak semuanya dibiayai oleh negara. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, contohnya hingga saat ini masih dibiayai menggunakan dana pribadi Prabowo Subianto. Padahal pemerintah telah menganggarkan Rp71 triliun untuk pelaksanaan program tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program bergizi tersebut tetap berjalan meskipun dana pemerintah yang telah disiapkan belum dicairkan untuk mendukung operasionalnya. Tindakan ini, menurut Peneliti Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhamad Saleh, berpotensi melanggar sejumlah ketentuan hukum.
Dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara:
Seluruh pengeluaran negara harus dikelola dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003: pengelolaan keuangan negara harus memenuhi prinsip tertib, transparan, dan bertanggung jawab.
Sementara dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan b UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan jelas disebutkan bahwa pejabat pemerintah wajib bertindak sesuai kewenangan dan mematuhi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
"Penggunaan dana pribadi oleh pejabat negara untuk membiayai program makan bergizi gratis merupakan penyimpangan serius terhadap prinsip dasar pengelolaan keuangan negara," kata Saleh kepada Tirto, Selasa (7/1/2025).
Dia mengatakan, dalam perspektif hukum, tindakan ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 yang mengatur bahwa semua penerimaan dan pengeluaran negara harus dikelola dalam mekanisme resmi APBN. Ketentuan ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menjadi dasar akuntabilitas publik terhadap penggunaan keuangan negara.
Pengelolaan keuangan negara yang baik, kata Saleh, menuntut transparansi, efisiensi, dan tanggung jawab sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Keuangan Negara. Maka, ketika seorang pejabat menggunakan dana pribadi untuk membiayai program negara, transparansi pengelolaan menjadi kabur, karena pengeluaran tersebut tidak dapat diaudit secara resmi.
"Hal ini membuka ruang bagi potensi penyalahgunaan wewenang dan mengaburkan garis tegas antara kepentingan pribadi dan publik," jelas dia.
Dari sudut pandang tata kelola pemerintahan, lanjut dia, penggunaan dana pribadi oleh pejabat dapat menciptakan preseden buruk. Tindakan ini mengabaikan mekanisme formal yang telah diatur dan mengirimkan sinyal bahwa pelanggaran terhadap aturan administratif dapat ditoleransi demi alasan pragmatis.
Padahal, dalam konteks negara hukum, setiap keputusan dan tindakan pejabat harus tunduk pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014.
"Pelanggaran terhadap asas ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik tetapi juga merusak legitimasi institusi pemerintahan itu sendiri," katanya.
Di sisi lain, penggunaan dana pribadi untuk program negara juga berpotensi menciptakan konflik kepentingan, terutama ketika dana tersebut digunakan untuk membangun citra politik atau kepentingan lain di luar tujuan program. Dalam sistem tata kelola yang mengedepankan integritas, tindakan seperti ini seharusnya dihindari karena melemahkan prinsip checks and balance dalam pengelolaan keuangan negara.
"Tindakan menggunakan dana pribadi untuk membiayai program pemerintah mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memastikan alokasi anggaran yang tepat waktu dan sesuai kebutuhan," kata dia.
Saleh mengatakan, jika memang terdapat hambatan administratif dalam penggunaan anggaran resmi, pemerintah harus mencari solusi legal seperti revisi anggaran atau percepatan birokrasi, bukan dengan mengandalkan dana pribadi pejabat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa keuangan negara dikelola secara legal, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
"Pejabat negara harus mematuhi peraturan yang ada dalam pengelolaan keuangan negara. Pemerintah dan publik perlu bersama-sama memastikan bahwa semua program negara dibiayai sesuai mekanisme APBN/APBD untuk menjaga akuntabilitas, transparansi, dan integritas tata kelola," pungkas dia.
Tak Paham Tata Kelola Pemerintahan
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, melihat penggunaan dana pribadi dalam program MBG ini menjadi bukti jika Pemerintahan Prabowo Subianto tidak memahami tata kelola pemerintahan yang baik. Karena dengan penggunaan dana pribadi, seharusnya bisa dipastikan pada 2024-2025 terjadi temuan terkait dengan penggunaan dan pelaksanaan angaran negara.
"Jika nanti tidak ada temuan dan dianggap wajar waka negara ini telah dijalankan secara pribadi dan tidak mengacu pada konstitusi serta birokrasi yang benar, situasi ini sebenarnya buruk, bukan sebaliknya," jelas Dedi kepada Tirto, Selasa (7/1/2025).
Dedi mengatakan, padahal jika Prabowo miliki cukup uang, dan tidak ingin membebani negara, maka seharusnya ia menyerahkan uang pribadi secara sukarela pada negara lebih dulu. Baru kemudian ia menggunakan uang itu untuk kegiatannya, sehingga tidak lagi disebut menggunakan uang pribadi.
Penggunaan dana pribadi untuk kegiatan negara, bukan kali pertama. Prabowo sebelumnya juga sempat menggunakan uang pribadinya saat Retreat Kabinet Merah Putih yang berlangsung di Akademi Militer atau Akmil Magelang, Jawa Tengah pada Oktober tahun lalu. Kegiatan semi militer itu murni menggunakan dana pribadi milik Prabowo.
Prabowo juga pernah membagikan uang tunai senilai Rp100 bagi warga yang tinggal di hunian tetap (huntap) tahap III di Desa Babakan Karet, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Uang tersebut diberikan lewat tangan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait atau Ara.
Ara juga diketahui pernah menggunakan dana pribadinya untuk memperluas rumah Nenek Hasna yang berukuran 2x3 dan dihuni 13 orang. Saat itu ia membeli rumah tetangga Nenek Hasna Rp250 juta menggunakan dana pribadi serta merenovasi rumah Nenek Hasna agar lebih layak huni.
"Ini juga menandakan jika pemerintahan Prabowo tidak berjalan birokratis, artinya sistem tidak digunakan. Jika cara semacam ini diteruskan dampaknya bisa meluas, penegakan hukum bisa tidak berjalan, Prabowo akan sewenang, anggota kabinet utamanya pengelola keuangan negara juga akan kesulitan untuk dinilai," kata Dedi.
Jangan sampai, kata Dedi, cara-cara dilakukan oleh pejabat negara yang tidak tertib ini dijadikan contoh bagi pejabat lain. Sebab jika akhirnya itu dilakukan seluruh pejabat negara, tata kelola negara bisa rusak, korupsi semakin punya celah jauh lebih lebar di kemudian hari.
"Tindakan Presiden bisa saja dianggap melanggar konstitusi, dan sanksinya tidak ringan, bisa menjadi pintu masuk pemakzulan," tegas Dedi.
Upaya Branding Politik?
Sementara itu, Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat secara kebiasaan politik, apa yang dilakukan berulang kali oleh Prabowo ini tidak umum. Sebab ini tidak ditemukan di era Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ataupun Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi) dulu.
"Kita tidak menjumpai berita adanya program atau kegiatan pemerintahan yang dibiayai oleh kantong pribadi presiden," jelas dia kepada Tirto, Selasa (7/1/2025).
Oleh karenanya, dia menduga penyampaian berulang soal sumber dana dari kantong pribadi Prabowo sepertinya merupakan upaya branding politik. Seolah sedang dicitrakan kalau Prabowo adalah sosok yang dermawan dan royal.
"Dalam konteks sebagai ketua umum partai ataupun sebagai individu, upaya branding seperti itu sangat tepat, namun beda ceritanya dalam konteks sebagai presiden yang merupakan kepala pemerintahan," ujarnya.
Meski begitu, Musfi sendiri heran, kenapa ada upaya untuk mem-branding Prabowo dengan citra-citra individual seperti itu. Sebagai kepala pemerintahan, seharusnya branding yang ditampilkan adalah keunggulan dan efektivitas program-program kerja Prabowo sebagai Presiden. Karena dengan upaya branding yang berulang kali menyebut kegiatan dari uang pribadi Prabowo ini justru dapat memberikan citra negatif.
"Akan ada pihak yang mempertanyakan, apakah keuangan negara begitu minus sehingga Prabowo menggunakan uang pribadinya. Persepsi ini kan harus dihindari," imbuh dia.
Terkait penggunaan dana pribadi Prabowo di program MBG, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengkonfirmasi hal itu. Ia mengaku bahwa masih ada beberapa titik pelaksanaan program Makan MBG yang masih menggunakan dana pribadi dari Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, hal itu terjadi karena masih ada daerah-daerah yang memiliki sisa anggaran tahun lalu saat program ini diujicobakan seperti contohnya kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
"Yang di Kendari memang itu dia masih punya sisa anggaran uji coba dari yang diberikan oleh Pak Prabowo sebelumnya. Jadi mereka masih menggunakan dana yang itu," kata Hasan Nasbi seperti dikutip Antara.
Meski begitu, Hasan memastikan setelah sisa anggaran tersebut habis nantinya pelaksanaan program MBG di daerah-daerah tersebut akan konsisten menggunakan dana dari APBN. Anggaran yang dimaksud mengacu pada anggaran Badan Gizi Nasional (BGN) sebesar Rp71 triliun untuk pelaksanaan program MBG di 2025.
"Ya, setelah itu nanti mereka akan menggunakan yang dari APBN yang dari BGN," kata Hasan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang