tirto.id - The Federal Reserve Amerika Serikat (AS) kembali mengerek suku bunga acuan sebesar 75 basis poin. Kenaikkan ini merupakan terbesar kedua berturut-turut, karena peningkatan inflasi tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan.
"Inflasi tetap tinggi, mencerminkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan terkait pandemi, harga pangan dan energi yang lebih tinggi, dan tekanan harga yang lebih luas," tulis The Fed.
Kebijakan moneter ketat ini menandakan bank sentral AS sangat memperhatikan risiko inflasi. "Perang (di Ukraina) dan peristiwa terkait menciptakan tekanan tambahan pada inflasi dan membebani aktivitas ekonomi global," kata The Fed.
Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), badan pembuat kebijakan Fed, memutuskan untuk menaikkan kisaran target suku bunga dana federal menjadi 2,25 hingga 2,50 persen dan mengantisipasi bahwa kenaikan berkelanjutan dalam kisaran target akan sesuai.
Memperburuk Cadangan Devisa dan Rupiah
Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman mengatakan, normalisasi moneter kenaikan suku bunga bank sentral AS akan mempengaruhi sektor eksternal Indonesia. Khususnya pada arus pasar modal dalam negeri.
"Situasi tersebut telah meningkatkan risiko terhadap posisi cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar Rupiah," kata Faisal dalam kajiannya yang diterima di Jakarta, Jumat (29/7/2022).
Potensi tersebut, menurutnya tetap ada meski kinerja ekspor cukup baik di tengah harga komoditas yang tinggi. Di samping Indonesia memungkinkan juga untuk tetap menjalankan serangkaian surplus perdagangan yang besar.
Meski demikian, Faisal menuturkan Otoritas AS menegaskan kembali bahwa kenaikan berkelanjutan dalam kisaran target untuk suku bunga akan sesuai. Hal ini akan melanjutkan proses pengurangan ukuran neraca secara signifikan.
Indikator belanja dan produksi di Negeri Paman Sam baru-baru ini telah melunak dan inflasi tetap jauh di atas tujuan jangka panjang, yakni dua persen. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) berada di atas ekspektasi sebesar 9,1 persen pada Juni 2022, dengan perubahan pada inflasi inti sebesar 5,9 persen.
"Pertumbuhan belanja konsumen telah melambat secara signifikan, sebagian mencerminkan pendapatan riil yang dapat dibelanjakan dan kondisi keuangan yang lebih ketat. Investasi bisnis tetap juga terlihat menurun pada kuartal kedua," katanya.
Terlepas dari perkembangannya, pasar tenaga kerja tetap sangat ketat, dengan tingkat pengangguran mendekati level terendah 50 tahun, lowongan pekerjaan mendekati level tertinggi dalam sejarah, dan pertumbuhan upah meningkat.
Dengan demikian, dia memperkirakan langkah Fed selanjutnya akan bergantung pada data. Selama beberapa bulan mendatang, Bank Sentral AS akan mencari bukti kuat bahwa inflasi bergerak turun, konsisten dengan inflasi yang kembali ke level dua persen.
Buat Dana Asing Kabur dari RI
Direktur Center Of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan kenaikkan suku bunga The Fed sebesar 75 basis poin akan berdampak negatif di pasar utang dalam negeri. Hal itu karena saat ini investor mulai menahan diri dulu untuk masuk ke aset yang risikonya lebih tinggi.
Lebih lanjut, Bhima melihat AS masih memiliki ruang untuk naik empat kali lagi sampai akhir tahun. Kenaikan tersebut bakal memicu kaburnya investor di negara-negara berkembang.
"Kalau Fed naik agresif, dikhawatirkan dana dari negara berkembang semakin banyak ditarik pulang ke negara maju atau masuk ke dolar AS," kata Bhima kepada Tirto, Jumat (29/7/202).
BI Diminta Ikut Sesuaikan Suku Bunga
Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah mendorong agar Bank Indonesia menaikan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Agustus mendatang. Kenaikan itu penting untuk merespon kenaikan suku bunga The Federal Reserve Amerika Serikat (AS).
Piter menyebut suku bunga The Fed yang tinggi menyebabkan aliran modal asing global masuk ke surat berharga di AS, termasuk dari Indonesia. Keluarnya modal asing itu akan menyebabkan nilai tukar Rupiah otomatis melemah.
"Kondisi ini dapat dihindari apabila BI menaikkan suku bunga acuan mengikuti kenaikan suku bunga The Fed," ujarnya kepada Tirto, Jumat (29/7/2022).
Senada dengan Piter, Bhima menuturkan aliran modal keluar dan pelemahan Rupiah bisa diredam jika bank sentral Indonesia dapat merespon dengan menaikan suku bunganya sebesar 50 basis poin
"Kalau relatif lebih stabil. Bola ada ditangan BI, jadi tergantung arah kebijakan moneternya," ujarnya dihubungi terpisah.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan Bank Indonesia (BI) akan mengerek suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate Rate (BI7DRRR) sebanyak 100 basis poin atau 1 persen hingga akhir 2022. Perkiraan itu mempertimbangkan kondisi ekonomi global.
"Kemungkinan ada kenaikan BI rate sebesar 100 bps hingga akhir tahun," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, di Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Saat ini suku bunga acuan BI masih ditahan berada di level 3,5 persen. Jika proyeksi Sri Mulyani tersebut terbukti, suku bunga BI di tahun ini akan mencapai 4,5 persen.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin