tirto.id - “Saya mengatakan kedua negara membuat kerusakan sebanyak mungkin,” kata Imanuel Shahaf, salah satu pengusaha juga Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia Israel ketika saya sodorkan berita larangan visa turis bagi warga Indonesia menjadi perhatian sepekan kemarin. Ia menyindir, Indonesia dan Israel sama-sama membuat hubungan kedua negara semakin runcing dan berdampak bagi perekonomian Palestina.
“Hal ini tentu saja memperburuk situasi yang mempengaruhi situasi perekonomian Palestina,” Shahaf menambahkan.
Sepekan kemarin, kabar larangan pelancong Indonesia memasuki wilayah Israel menjadi sorotan setelah media setempat melaporkan rencana itu mulai berlaku pada 9 Juni 2018. Dalam salinan surat yang diperoleh Tirto, disebutkan bahwa kebijakan itu berlaku bagi kelompok atau perorangan yang dikeluarkan oleh Departemen Kontrol Perbatasan di Otoritas Penduduk dan Imigrasi Israel. Larangan itu tertuang dalam surat keputusan bertanggal 29 Mei 2018 yang ditandatangani Kepala Departemen Kontrol Perbatasan Michel Yosfon.
Keputusan itu keluar atas arahan Kementerian Luar Negeri Israel dan merupakan balasan atas kebijakan serupa yang dikeluarkan oleh Indonesia. Namun, meski dalam surat itu tertulis dalam batas waktu yang belum ditentukan, akan tetapi satu rombongan pelancong asal Indonesia yang akan masuk ke Israel akan tetap diizinkan masuk.
"Larangan ini berlaku bagi pemegang paspor Indonesia datang sendirian atau berkelompok." tulis Yosfon.
Menurut Shahaf, kebijakan itu merespons tindakan serupa yang diambil oleh Indonesia setelah aksi demonstrasi menolak pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem pada 14 Mei yang memakan ratusan korban jiwa warga Palestina.
“Saya cukup yakin, pemerintah Israel tidak membuat perhitungan. Mereka hanya menanggapi dalam bentuk yang sama apa yang telah dilakukan Indonesia,” kata Shahaf.
Awal Mula Larangan Visa
Sebelum isu ini muncul, pada awal Mei lalu, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan untuk pelancong asal Israel yang ingin berdarmawisata ke Indonesia. Kabar ini berlaku mulai awal 1 Mei 2018 sebagaimana dikutip oleh media-media di Indonesia, setelah surat kabar sayap kiri Israel, Haarezt merilis laporan mereka pada 3 Mei 2018.
Indonesia membuat kesepakatan tak tertulis untuk memberikan visa kepada pelancong dari Israel. Warga negara Israel bisa memperoleh visa turis dari Indonesia di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di setiap negara dengan biaya jauh lebih murah sebelum kebijakan ini dikeluarkan, yakni 135 dolar. Sebelum kebijakan ini dikeluarkan imigrasi, orang-orang Israel yang berkunjung Indonesia harus mengeluarkan kocek yang lumayan besar, yakni sekitar 750 hingga 800 dolar.
Visa itu diperoleh dengan mengajukan aplikasi calling visa dengan tujuan bisnis dan diperoleh dalam waktu yang lama karena harus melalui penyelidikan Badan Intelijen Negara. Pemegang paspor Israel dapat memasuki Indonesia untuk urusan bisnis dan tinggal paling lama 7 hari, tanpa memperoleh perpanjangan waktu.
Namun kabar pemberian visa ini kemudian dibantah Agung Sampurno, Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Kemenkumham. Melalui rilis yang ia berikan kepada media, dia mengatakan kabar itu adalah bohong. Namun, ketika kabar ini kami konfirmasi kepada Kementerian Luar Negeri, pemberian visa ini menjadi kewenangan Ditjen Imigrasi.
“Kebijakan pemberian izin masuk Indonesia ada di [Ditjen] Imigrasi,” kata Arrmanatha Nasir, Juru Bicara Kemenlu kepada Tirto melalui pesan WhatsApp, Kamis pekan lalu. Ia pun menolak memberikan penjelasan lebih lanjut. “Kebijakan pemberian izin masuk Indonesia ada di [Ditjen] Imigrasi.”
Pihak Israel enggan mengomentari isu sensitif ini. “Tidak, saya tidak berkomentar masalah ini,” ujar Emmanuel Nahshon, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Israel kepada Tirto.
Sebelum masalah ini muncul, hubungan Indonesia dan Israel sebenarnya sudah lama terjalin. Tirto pernah menurunkan seri laporan mengenai hubungan dagang Indonesia-Israel setelah surat larangan dagang dicabut era Presiden Abrurrahman Wahid. Sejak larangan dagang itu dicabut, para pengusaha Israel dan Indonesia saling bertukar komoditi unggulan kedua negara. Indonesia mengekspor komoditas seperti furnitur, bahan makanan, sementara Israel mengekspor barang-barang berteknologi tinggi.
Larangan Turis Indonesia Rugikan Palestina
Kabar kebijakan balasan terhadap pelancong asal Indonesia sejatinya tak membawa dampak bagi Israel meski dukungan dari parlemen (DPR) menyebut pelarangan itu merupakan konsekuensi terhadap kemerdekaan Palestina. Namun, bagi para biro perjalanan ziarah Holy Land Tours, kebijakan balasan Israel itu malah membuat rumit dan mengganggu perekonomian Palestina. Sebabnya, selama ini, kunjungan wisata WNI tak memberi dampak bagi Israel melainkan menguntungkan Palestina, Mesir, dan Yordania.
Cecilia Ariesta Patty, direktur agensi perjalanan Agindo Tours biasa membawa rombongan WNI berziarah ke Israel membenarkan kabar itu. Kebanyakan peziarah Indonesia, kata dia, melakukan perjalanan wisata ke Israel tak langsung mendarat di Bandara Internasional Ben Guiron, Tel Aviv, Israel. Rute wisata biasanya dimulai melalui perbatasan Mesir atau Yordan dan kemudian masuk ke Israel.
Ia pun mengatakan, meski tujuannya adalah ke Israel, akan tetapi pelancong asal Indonesia biasanya menghabiskan waktu di kota-kota Palestina seperti Betlehem, Jericho dan Hebron. “Hampir 80 persen WNI menginap di wilayah Palestina,” kata Cecilia saat berbincang dengan Tirto melalui sambungan telepon. Ia pun mengatakan, kebijakan balasan dari Israel atas sikap serupa dilakukan Indonesia berdampak pada bisnis Holy Land Tours yang ada di Indonesia.
“Pemilik toko oleh-oleh, penginapan itu semua itu orang arab Palestina. Banyak Travel Indonesia yang bekerjasama dengan travel Arab Palestina,” kata Cecilia.
Lisa dari agensi Ekklesia Tours juga menyediakan paket perjalanan ziarah Holy Land Tours berkata, kebanyakan WNI berkunjung ke Israel memang menghabiskan waktu di wilayah Palestina. Para WNI biasanya bakal menginap termasuk membeli oleh-oleh dari orang-orang Palestina yang ada di Betlehem. “Hampir semua Holy Land Tour bekerjasama dengan travel arab Palestina, jarang sekali yang bekerjasama dengan Israel,” ujar Lisa melalui sambungan telepon.
Ia pun menyesali kebijakan balasan dari Israel kepada Indonesia yang berdampak pada rombongan yang ia bawa pada bulan Juni ini ke Israel. Dari tiga kloter rombongan, hanya satu rombongan yang bisa masuk ke Israel, sebelum kebijakan itu resmi berlaku pada 9 Juni 2018.
Pelancong asal Indonesia memang menguntungkan bagi negara-negara muslim yang berbatasan dengan Israel seperti Palestina, Yordan dan Mesir. Maskapai-maskapai penerbangan seperti Etihad, Qatar Airways, Emirates, Saudi Airline, Turkish Air juga mencicipi keuntungan dari kedatangan pelancong Indonesia tersebut.
Sementara dalam laporan dirilis Jerusalem Post, rata-rata turis Indonesia menghabiskan uang 310 dolar saban hari selama mereka berwisata ke Israel dan singgah di Betlehem, wilayah Palestina. Biaya itu belum termasuk tiket pesawat dan penginapan. Mayoritas dari uang itu mengendap di bisnis-bisnis wisata Arab Palestina.
Taysir Jaradat, Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Palestina menyikapi langkah yang dilakukan Israel terhadap larangan pelancong asal Indonesia. Ia pun mendorong, kebijakan ini agar dikembalikan seperti semula. "Kami juga akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah ini dan mengembalikan seperti semula," kata Taysir seperti dikutip dari Antara.
Kekhawatiran Taysir atas kebijakan balasan Israel kepada Indonesia memang bukan tanpa alasan. Selain mengganggu perekonomian warga Palestina yang memiliki berbagai usaha di Betlehem, larangan itu akan mengurangi pemasukan tambahan yang biasa di dapat dari WNI saat mereka berziarah dan menginap di wilayah Palestina. "Kami sebetulnya sangat senang saat melihat para turis Indonesia masuk ke tanah suci Palestina dan berziarah di Al Quds (Yerusalem). Pada dasarnya peraturan yang ada itu adalah tidak benar dan kami tidak menerima itu," ia menegaskan.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti