Menuju konten utama

Dagangan Mati akibat Proyek MRT Jakarta

Sekitar 210 tempat usaha mati suri dan bahkan tutup di sepanjang Jalan Raya Fatmawati akibat konstruksi angkutan cepat terpadu Jakarta Indonesia.

Dagangan Mati akibat Proyek MRT Jakarta
Proyek pembangunan depo Mass Rapid Transit (MRT) di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Konstruksi layang buat jalur angkutan cepat terpadu alis mass rapid transit (MRT) membentang di sepanjang Jalan Raya Fatmawati hingga Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan. Setelahnya, tepat di Jalan Jenderal Sudirman hingga menuju arah Bundaran Hotel Indonesia, imbas pengerjaan proyek bawah tanah untuk jalur cepat tersebut bikin aspal jalan bergeronjal. Ditambah penyempitan jalan karena dipagari pembatas proyek, laju kendaraan di salah satu ruas nadi utama kawasan bisnis Indonesia itu kian semrawut.

Empat tahun sejak proyek itu berjalan, kemacetan sudah jadi langganan para pelaju. Sebagaimana sebuah grafik: jalan sepanjang proyek MRT itu bisa lumpuh total saat puncak jam-jam sibuk. Imbas lainnya, omzet para pemilik usaha di jalan-jalan itu menurun.

Mahesh Lalmalani salah satunya. Toko gorden Serba Indah di Jalan Raya Fatmawati miliknya kini hampir nol pembeli. Tokonya, tepat di lokasi pembangunan Stasiun MRT Haji Nawi, nyaris tutup dan hanya menjajakan sisa dagangan.

Ia sempat menyewakan lahan kecil di depan toko kepada penjual soto. Namun, lantaran kosong pembeli, si penjual soto itu pun angkat kaki.

“Sekarang saja saya sewakan Rp300 ribu tidak ada yang mau,” ujar Mahesh kepada reporter Tirto, Rabu pekan lalu.

Belakangan ada satu problem lagi: pengerjaan proyek MRT bikin penyempitan lahan pinggir jalan, sehingga nyaris memapras habis tempat parkir di depan tokonya. Selain itu, sepanjang jalan proyek MRT selalu macet parah. Bahkan pada awal tahun ini, jalan itu ditutup demi mengejar target.

“Sekarang saja lahan parkir sudah tidak ada,” ujar Mahesh.

Pengerjaan MRT di sepanjang Jalan Raya Fatmawati ini nyaris persis menggambarkan semua proyek infrastruktur transportasi di ibu kota: jalan raya menyempit dan berkelak-kelok dibatasi pagar, kondisi aspal bergelombang, dan kemacetan akut tak terhindarkan saat jam-jam aktivitas sibuk warga kota.

Baca juga:

Sepanjang tiga hari pada pekan lalu, saat menyusuri jalan yang terimbas proyek MRT di Jalan Raya Fatmawati, sebanyak 210 toko tutup. Paling mencolok di lokasi pembangunan stasiun MRT. Hampir semua toko di titik itu tidak beroperasi lagi. Penyebabnya, sejak ada penyempitan jalan yang hanya bisa dilintasi satu mobil, lahan parkir di depan toko itu hilang.

Pusat-pusat perbelanjaan di jalan itu pun terkena imbas yang sama. Tiga pusat perbelanjaan—ITC Fatmawati, Lotte Mart (di pertigaan Jalan Cipete Raya) dan Plaza Mebel—sepi pengunjung. Bahkan saking sepinya, seperti terjadi di Plaza Mebel, beberapa penyewa ruko memutuskan angkat kaki dan memindahkan usaha mereka.

“Mulai sepi ketika proyek pembangunan tiang pancang dilakukan,” ujar Sudrajat, pengelola kompleks Pertokoan Plaza Mebel kepada reporter Tirto. Ia berkata bahwa omset penjualan mebel turun hingga 50 persen.

“Dulu, sebelum ada proyek, masih normal-normal saja. Bahkan ada satu toko di Plaza Mebel yang buka tapi barangnya tidak laku,” ujar Sudrajat.

Meski bikin usaha skala kecil dan menengah ini mati suri, sejauh ini belum ada solusi yang ditawarkan baik oleh Pemerintah Kota Jakarta Selatan maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Warga Terdampak Menolak Sejak Rencana MRT Dicanangkan

Wienarsih Waloeyo, pemilik tanah yang aset propertinya terkena ganti rugi lahan—atau kerap disebut “pembebasan lahan”—demi pembangunan Stasiun MRT Cipete, mengatakan warga sekitar protes untuk menyuarakan penolakan sejak rencana MRT didengar pada 2011.

Warga mendatangi Kantor Walikota Jakarta Selatan, bilangan Kebayoran Baru, dan mendesak pemkot agar mengikuti saran mereka: proyek MRT dibangun tidak dengan konstruksi layang seperti yang berjalan saat ini.

“Saya memimpikan proyek dibangun dengan tertata rapi dan tidak semrawut seperti ini,” ujar Wienarsih kepada reporter Tirto di kediamannya, Jumat pekan lalu.

Alasannya, pembangunan jalan bawah tanah bagi MRT bisa mengurangi dampak besar atas ruang hidup tata kota dan warga sekitar di atasnya. Ia mengklaim bahkan sempat mengutarakan unek-uneknya ini kepada Joko Widodo menjelang pencalonan gubernur DKI Jakarta pada 2012.

Sesuai konsep awal, pembangunan MRT tahap satu, yang digaungkan pada era Gubernur Sutiyoso (1997-2007), mengadopsi rencana konstruksi bawah tanah. Di masa Bang Yos, proyek ini disebut subway sebelum dikenal MRT seperti sekarang.

Nama proyek MRT mencuat lagi ketika Fauzi Bowo menjabat gubernur (2007-2012). Setahun setelah Foke menjabat, PT Mass Rapid Transit Jakarta, perusahaan yang akan mengelola proyek infrastruktur transportasi itu, resmi didirikan. Di bawah pemerintahan Foke, proyek ini resmi dicanangkan, dan Jokowi mengeksekusinya pada Oktober 2013.

Baca juga:

Infografik HL Indepth MRT

Menjelang pengerjaan proyek, ada tarik-ulur pembangunan MRT yang berlangsung alot termasuk proses negosiasi dengan warga terdampak. Apalagi, ketika proyek MRT dijadikan materi janji kampanye oleh Jokowi dan pasangannya, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, dan janji itu ditagih untuk dikerjakan, pembahasan krusial mengenai analisis dampak lingkungan dianggap tidak relevan.

Muaranya, sejak proyek MRT Jakarta disebut-sebut bakal dijalankan, sejumlah warga terdampak berkata tidak pernah menerima sosialisasi—sebuah bagian terpenting dari proses hak warga memberi persetujuan tanpa paksaan berbasis informasi awal yang mereka terima.

Terlebih misalnya di Jalan Raya Fatmawati, salah satu pusat niaga Jakarta Selatan, semestinya harus dihitung benar dampak proyek terhadap bisnis warga.

Mahesh Lalmalani, pemilik toko gorden, berkata tak pernah menerima sosialisasi sejak proyek ini digembar-gemborkan. Ia menyayangkan proyek ambisius ini—yang dibiayai oleh pemerintah pusat dan Pemprov Jakarta serta didukung oleh dana pinjaman melalui Japan International Cooperation Agency—justru berdampak pada usahanya.

Mahesh kini masih berperkara dengan Pemprov Jakarta setelah gugatan atas nilai tanahnya menang di pengadilan tetapi ditahan oleh Pemprov Jakarta dengan melayangkan proses kasasi di Mahkamah Agung.

Baca juga: Tersandera Kompensasi Lahan, Proyek MRT Jalan Terus

Protes Warga, Pemangku Proyek MRT: “Itu Hanya Soal Harga”

Klaim warga bahwa tak ada sosialisasi sejak awal proyek, disebut “tak memiliki dasar” oleh Yusmada Ismail, Kepala Dinas Bina Marga Pemprov DKI Jakarta.

“Sudah klasik,” ia berkata pada Jumat pekan lalu. “Pembangunan MRT, kan, sudah lama, tidak setahun-dua tahun. Dan soal pembebasan lahan, semua sudah ada pembayaran.”

Saefullah, Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta, enggan berkomentar panjang mengenai dampak MRT. Ia juga irit bicara meski ada kendala dalam ganti rugi lahan proyek pada tahap satu sekarang ini.

“Tidak mungkin terganggu. Ini, kan, proyek strategis nasional. Siapa sih yang mau menghalang-halangi?” ujarnya, Selasa pekan lalu.

Hal sama diutarakan William P. Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta. Sejauh ini, meski ada gugatan dari pemilik lahan, proyek ini tetap ditargetkan rampung pada Maret 2019.

Ia menyebut problem lahan pada proyek MRT lantaran warga emoh menyepakati nilai kompensasi yang ditentukan pemerintah.

“Itu hanya soal harga,” ujar William melalui sambungan telepon, Jumat pekan lalu.

Baca juga artikel terkait PROYEK MRT atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam