Menuju konten utama

Tersandera Kompensasi Lahan, Proyek MRT Jakarta Jalan Terus

Demi mempercepat target proyek mass rapid transit, Pemprov DKI Jakarta memaksa para pemilik lahan setuju dengan mekanisme konsinyasi.

Tersandera Kompensasi Lahan, Proyek MRT Jakarta Jalan Terus
Pekerja menata bantalan rel kereta untuk jalur depo Mass Rapid Transit (MRT) di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Raut wajah Wienarsih Waloeyo tampak kecewa meski ia bersemangat mengisahkan pernah duduk semeja dengan Joko Widodo. Saat itu Jokowi masih menjabat Walikota Solo dan Wienarsih beberapa kali menemui kader PDI Perjuangan itu di satu restoran di daerah Jawa Tengah tersebut, medio 2012.

Kepada Jokowi, yang saat itu berniat mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta, Wienarsih menitip pesan mengenai pembangunan angkutan cepat terpadu atau mass rapid transit (MRT).

“Saya berpesan, kalau nanti mau membangun, buat yang bagus sekalian dan kuat untuk seratus tahun,” ujarnya kepada reporter Tirto di kediamannya, kawasan Cilandak, Jumat pekan lalu.

Kini Wienarsih meluapkan kejengkelan atas proyek yang direalisasikan oleh Jokowi pada akhir 2013 saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Wienarsih justru harus bolak-balik ke pengadilan demi menuntut keadilan kompensasi tanah. Sebidang tanah seluas 72 meter persegi dari total 1.100 meter persegi yang ia miliki di Jalan Raya Fatmawati, dengan keanehan yang bikin ia geram setengah mati, justru diklaim milik Dinas Bina Marga.

Tanah itu, menurut klaim pemprov, telah diserahkan kepada pemerintah sejak 1990. Sontak Wienarsih meradang dan menyebutnya sebagai “penyerobotan tanah”. Ia mencoba meluruskan ihwal kepemilikan tanah yang dibelinya sejak 1980. Seraya menunjukkan bukti-bukti surat kepemilikan, Wienarsih berkali-kali menegaskan tanah itu masih jadi hak propertinya sebagaimana dikuatkan lewat sertifikat yang ia pegang.

“Lihat fotonya. Apakah ada saluran air dan jalan seperti yang dibilang itu?” ujar Wienarsih, kini 72 tahun, seraya menunjukkan foto sebidang tanah yang jadi objek gugatan dengan Pemprov Jakarta.

“Saya punya sertifikat hak milik. Satu seluas 660 meter persegi dan satu lagi 340 meter persegi,” tambahnya.

Dalam foto itu, di atas tanah tersebut semula berdiri gerai penjualan mobil bekas. Ia menyewakan tanah itu selama 20 tahun kepada pemilik gerai dan kini tanah ini disewakan kepada restoran cepat saji McDonald's.

Sudah tiga tahun restoran itu berdiri di tanah seluas 1.000 meter persegi milik Wienarsih. Namun, pada 28 September lalu, lokasi usaha McDonald's itu terusik lantaran terkena eksekusi “pembebasan lahan” oleh Pemkot Jakarta Selatan demi pembangunan tiang pancang Stasiun MRT di Cipete Utara.

Mendengar itu, Wienarsih pasang badan buat mencegah eksekusi tersebut ketika jalan menuju restoran ditutup oleh petugas Pemkot Jaksel.

Dikuatkan oleh langkah hukum dan masih berlanjut lewat proses kasasi di Mahkamah Agung, Wienarsih mendorong pagar yang dipasang petugas. Ia pun bersitegang dengan Tri Kurniadi, Walikota Jakarta Selatan, yang memimpin eksekusi “pembebasan” tanah tersebut.

“Bagaimana orang mau usaha kalau begini?” ujar Wienarsih.

Meski Wienarsih memegang bukti-bukti atas hak kepemilikan lahan tersebut, versi berbeda diajukan oleh Pemprov Jakarta.

Yusmada Faizal, Kepala Dinas Bina Marga Pemprov DKI Jakarta Selatan, mengatakan tanah yang diklaim Wienarsih itu “sudah diserahkan kepada pemerintah sejak puluhan tahun lalu.” Tanah itu, katanya, bagian dari jalan dan saluran air sesuai peta inventaris Dinas Bina Marga. Ia menganggap ganti rugi atas tanah seluas 72 meter itu “tanpa dasar.”

“Sedangkan itu sudah jadi aspal, dan itu tidak pantas untuk dibayar,” ujar Yusmada kepada reporter Tirto, Jumat pekan lalu.

Awal Gugatan Kompensasi Lahan

Wienarsih Waloeyo menuturkan, ia bersama lima pemilik lahan lain yang terkena proyek MRT sejak 2016 melayangkan gugatan perdata atas nilai kompensasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Muasalnya, mereka tidak menyepakati biaya ganti rugi lahan yang ditawarkan pemprov. Harganya, kata Wienarsih, jauh lebih murah dibanding perhitungan konsultan swasta, yang mereka sewa jasanya buat menaksir secara akurat. Alasan lain, pemprov menyalahi undang-undang karena mengabaikan landasan hukum baru buat menaksir kompensasi lahan itu.

Nilai kompensasi hanya menaksir tanah tetapi tanpa menghitung nilai ekonomi bangunan sebagai tempat usaha. Mereka mengajukan nilai ganti rugi properti Rp150 juta/meter persegi. Mereka menang di PN Jaksel tetapi majelis hakim hanya mengabulkan nilai gugatan Rp60 juta/meter persegi.

Enggan mematuhi putusan hakim, Pemprov DKI Jakarta mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan prosesnya masih belum rampung.

“Ini, kan, aneh. Masih ada persoalan hukum, kok mau dieksekusi? Kita sudah mengikuti prosedur buat meminta keadilan,” ujar Wienarih.

Upaya mencari keadilan sebetulnya sudah dilakukan oleh Wienarsih sejak dua tahun sebelum proyek MRT resmi berjalan. Pada 2011, ia bersama para pemilik usaha di Jalan Raya Fatmawati berupaya membuka mediasi mengenai kompensasi lahan, termasuk konsep pembangunan MRT. Namun, upaya ini menemui jalan buntu.

Wienarsih tidak anti pembangunan MRT. Pokok soalnya: ia menyayangkan bahwa pengerjaan proyek itu justru memakai desain konstruksi layang sehingga menimbulkan banyak kerugian, dari kemacetan hingga memaksa bisnis mati suri dan bahkan tutup.

“Kalau proyek konstruksi MRT itu di bawah tanah, kita tidak kena,” kata Wienarsih.

Baca juga: Dagangan Mati akibat Proyek MRT

Infografik HL Indepth MRT

Saat proses ganti rugi lahan, sejumlah pemilik properti menolak menyepakati nilai kompensasi yang “tidak sesuai” dengan taksiran riil. Beberapa warga bahkan tetap bertahan dan meminta nilai ganti rugi melebihi harga yang ditetapkan Pelayanan Perizinan Terpadu.

Salah satunya adalah Mahesh Lalmalani, pemilik tanah dan toko gorden yang terkena dampak pembangunan Stasiun MRT di Haji Nawi. Bersama Wienarsih, Mahesh menggugat Pemprov DKI Jakarta soal nilai kompensasi lahan tersebut.

“Kami keberatan dengan penilaian yang digunakan oleh pemprov. Mereka menilai dengan Perppu yang berbeda,” ujar Mahesh, Rabu pekan lalu.

Menurut Mahesh, kantor jasa penilai publik yang digandeng Pemprov Jakarta buat menaksir harga kompensasi tanah proyek MRT tidak memakai Peraturan Presiden 71/2012, dan karena itu nilai ekonomi tanah pemilik lahan tidak disertakan dalam perhitungan.

Setelah Wienarsih dan Mahesh serta empat pemilik lahan lain menang di pengadilan, pemprov ambil jalan pintas dengan langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

“Aneh bin ajaib, harusnya, kan, banding dulu,” ujar Mahesh.

Menyikapi gugatan perdata warga, TP Purba, Kepala Bagian Hukum Kota Administrasi Jakarta Selatan, berkata bahwa Pemprov DKI akan membayar biaya ganti rugi jika memang sudah diputuskan oleh pengadilan.

Ia mengatakan, saat ini untuk mempercepat pembangunan proyek MRT, Pemprov DKI akhirnya mengambil jalur konsinyasi. “Masalah perkara belakangan. Kalau pengadilan memutus untuk dibayar, ya kita bayar,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Penguasaan Paksa Tanah Warga

Namun, jalur konsinyasi itulah problem utama baru bagi warga penggugat.

Putusan kasasi Mahkamah Agung belum beres, Mahesh Lalmalani dibuat terkaget-kaget. Pada 13 Juli 2017, setelah memenangkan gugatan di PN Jakarta Selatan, Mahesh menerima kiriman surat pemberitahuan soal “pemutusan hubungan hukum” oleh Badan Pertanahan Nasional.

Sebidang tanah miliknya di Jalan Rumah Sakit Fatmawati Nomor 53 dianggap tak berlaku sesuai sertifikat yang ia miliki. Tanah itu diambil paksa oleh negara dan dipergunakan untuk pembangunan Stasiun MRT di Haji Nawi dengan dalih “demi kepentingan umum.”

“Itu kata lainnya apa? Nyuri atau rampok?” kata Mahesh, meluapkan kesal.

“Ini aneh. Mereka yang mengajukan gugatan, mereka yang mengeksekusi.”

Hal sama dialami Wienarsih Waloeyo. Bahkan sebelum putusan PN Jakarta Selatan, ia telah menerima surat yang sama pada 7 April 2017. Tanah yang kini ditempati restoran McDonald's itu diambil paksa oleh negara untuk lokasi tiang pancang Stasiun MRT di Cipete Utara.

Dampaknya, bukan malah menunggu putusan kasasi di MA, Wienarsih dipaksa menghadiri sidang konsinyasi di PN Jakarta Selatan.

Memanglah, sejak tersandera ganti rugi lahan, Pemprov Jakarta mengupayakan pengambilan lahan melalui jalur konsinyasi. Alasan ini berbasis undang-undang tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Pemerintah bisa memaksa pemilik lahan menjual tanahnya dan menerima pembayaran melalui pengadilan.

Dalam proyek MRT Jakarta, ada 24 bidang tanah di ruas jalan Sisingamangaraja-Lebak Bulus yang hak propertinya dikompensasikan dengan jalur konsinyasi pada tahun ini.

Upaya ini dilakukan Pemprov Jakarta demi membereskan dan menggeber proyek MRT sesuai target. Awalnya, proyek bernilai triliunan yang didanai oleh pemerintah Jepang ini ditargetkan rampung pada 2017. Namun, karena sejumlah kendala termasuk soal lahan tersebut, ia mundur menjelang Asian Games 2018. Proyek ini direncanakan selesai pada Maret 2019.

Itu ditegaskan oleh William P. Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta. Ia menilai bahwa perkara kompensasi lahan, yang dihadapi oleh warga seperti Wienarsih Waloeyo dan Mahesh Lalmalani, bukanlah sebuah “kendala.”

“Ya kalau dieksekusi pasti ada yang tidak puas,” ujarnya. “Tetapi negara, kan, tetap melakukan kewajibannya.”

Baca juga artikel terkait PROYEK MRT atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam