tirto.id - Pada 1991, Anthonie Peter de Graaff datang ke Indonesia. Mantan tentara Belanda pada Batalion Infanteri 425 yang betugas di Indonesia antara awal 1949 hingga akhir 1950 ini datang untuk bernostalgia.
Ia bertemu dengan beberapa jenderal TNI, salah satunya Letnan Jenderal Dading Kalbuadi yang saat itu menjabat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan Keamanan. Dading yang lahir di Cilacap pada 14 April 1931 itu ikut mengenang kembali masa remajanya.
“Letnan Jenderal Dading memberikan cindramata perpisahan lain dari yang lain. Beliau membuat T-shirt dengan gambar peta Jawa Tengah pada bagian muka,” tulis de Graaff dalam Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI (1979:203).
Selain Dading, de Graaff juga menyebut Mayor Jenderal Chalimi Imam Santoso. Dulu, saat de Graaff dikirim ke Indonesia sebagai serdadu, dua jenderal ini adalah anggota pasukan Indonesia Merdeka Atau Mati (IMAM) yang beroperasi di sekitar bekas Keresidenan Banyumas.
Kala itu, seperti dicatat Iwa Sumarmo dalam Indonesia Merdeka atau Mati (1985: 161), Dading pernah terlibat dalam upaya penyusupan ke daerah pendudukan Belanda. Sementara Chalimi sempat jadi pemimpin regu di masa gerilya.
Setelah tahun 1950, bersama dengan Benny Moerdani, keduanya masuk Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) di Bandung. Setelah lulus, mereka dikenal sebagai perwira Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang terlibat dalam pelbagai operasi militer. Saat terjun dalam operasi penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958, pangkat mereka masih Letnan Dua.
Tertembak di Riau
Dalam Operasi Sadar di Riau sebagai salah satu upaya memadamkan PRRI, seperti dicatat Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis (2007:5-8), Dading dan Benny Moerdani terlibat dalam perebutan bandara. Saat itu, Dading membawa kamera untuk mendokumentasikan kondisi lapangan.
Misi perebutan bandara lewat terjun payung itu memang dipimpin oleh Benny. Ia yang sebelumnya tak pernah ikut latihan terjun, akhirnya diberi wing terjun oleh atasannya. Peristiwa pemberian wing itu diabadikan juga oleh Dading lewat kameranya.
Nasib Dading dalam operasi penumpasan PRRI tak selamanya gemilang. Sekali waktu dalam sebuah serangan yang dilancarkan musuh, ia tertembak.
“Dari sela-sela debu yang masih mengepul, nampak Dading Kalbuadi terkapar, darah berlepotan pada bagian lehernya. Pecahan peluru ternyata menyerempet leher Dading,” catat Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis (2007:66).
Karena terluka, ia mesti absen dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya dalam rangka penumpasan PRRI itu.
Sebelum Operasi Seroja di Timor Leste pada 1975, nama Dading tak begitu menonjol di kalangan perwira TNI. Meski demikian, kariernya terus menanjak sebagai kolonel infanteri.
Dalam buku Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) (1988:159) disebutkan, Dading pernah menjadi Perwira Penghubung RPKAD, Perwira Logistik RPKAD, Komandan Grup D RPKAD, dan Komandan Daerah V (Bien Hoa) dalam kontingen Indonesia Garuda V di Saigon, Vietnam.
Pada 1975, Dading menjabat sebagai Komandan Group II di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Sementara Benny Moerdani yang usianya lebih muda setahun dari Dading, sudah menjadi Asisten Intelijen Pangkopkamtib merangkap Kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat) dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Memimpin Operasi Flamboyan
Ketika Indonesia menyerang Timor Leste pada 1975, Dading dilibatkan sebagai pemimpin Operasi Flamboyan. Sebelum berangkat dalam misi sulit tersebut, ia terlebih dulu bertemu dengan Benny.
“Ini mungkin one way ticket,” kata Benny.
“Sudahlah Ben, tak apa-apa. Saya kerjakan... tapi tolong, titip keluarga saya, kalau nanti saya tidak kembali,” jawab Dading.
Dading beserta pasukannya kemudian datang ke Timor Leste dengan cara menyusup. Mereka tidak mengenakan seragam militer, melainkan celana jin dan kaos oblong. Sejumlah foto Dading saat di Timor Leste kerap terlihat tengah mengenakan topi koboi ketika memimpin pasukannya.
“Kopassandha dijuluki sebagai the blue jeans soldiers, karena mereka umumnya mengenakan celana blue jeans dan kaos oblong,” kata Hendro Subroto dalam Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur (1996:53).
Menurut Ken Conboy dalam Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service (2004:90), pangkalan tim Flamboyan tidak jauh dari pangkalan tim Komodo yang ikut terjun dalam operasi intelijen di Atambua. Salah satu bawahan Dading pada operasi tersebut adalah Yunus Yosfiah, yang kelak sempat menjadi Menteri Penerangan di awal masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
Operasi Flamboyan kemudian disusul dengan pendaratan pasukan besar yang dikenal dengan Operasi Seroja. Setelah itu, Dading menjadi orang penting di provinsi baru tersebut. Ia pernah menjadi Panglima Komando Daerah Pertahanan dan Keamanan Timor Timur.
Ketika Benny Moerdani menjadi Panglima ABRI, Dading pun ditarik ke Jakarta. Ia pernah menjadi Kepala Perbekalan ABRI, Asisten Logistik Mabes ABRI, dan Asisten Logistik Kasum ABRI. Selain itu, Dading juga pernah menjadi Kepala Staf Umum ABRI sebelum akhirnya menjadi Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan Keamanan.
Pada 10 Oktober 1999, tepat hari ini 21 tahun lalu, Dading mengembuskan napasnya yang terakhir. Ia wafat di Jakarta tak lama setelah mayoritas rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Republik Indonesia.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 10 Oktober 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Irfan Teguh