tirto.id - Sejak beroperasi resmi pada Januari 2014, BPJS Kesehatan tak pernah lepas dari defisit keuangan. Bak penyakit tahunan, kondisinya terus berulang dan, sayangnya, bertambah parah.
Berdasarkan catatan Tirto, angkanya terus membengkak dari tahun ke tahun. Di tahun pertama, BPJS Kesehatan defisit Rp3,3 triliun dan pada 2015 angkanya menjadi Rp5,7 triliun. Tahun berikutnya, defisit itu kembali merangkak naik menjadi Rp9,7 triliun dan terus melesat hingga mencapai Rp16,5 triliun pada 2018.
Pemerintah memang tidak diam dan terus menggodok berbagai aturan untuk membenahi masalah ini, mulai dari skema urun biaya, hingga pembatasan layanan kesehatan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Saran dari berbagai pihak pun terus mengalir. Namun, hingga saat ini, skema pembiayaan BPJS belum berubah. Angka iuran pun masih tetap sama.
Setelah empat kali mengalami perubahan jadwal, reporter Tirto Alfian Putra Abdi, Widia Primastika, Dea Chadiza dan Aditya Widia Putri akhirnya dapat bertemu dengan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris pada Senin (13/5) di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jalan Letjend Suprapto No. 14, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Dalam wawancara yang berlangsung sekitar satu jam ini, kami bertanya ihwal defisit di tubuh BPJS, beragam kritik terhadap aturan BPJS Kesehatan, juga hasil pertemuan Fahmi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Jumat (10/5).
Kemarin dengan Menkeu Sri Mulyani, hal apa saja yang dibahas?
Ya, biasa. Kita kan rapat koordinasi kan biasa, bukan sesuatu yang khusus. Menteri koordinator PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), menteri kesehatan, menteri keuangan, kepala staf kepresidenan, kita rutin bertemu. Kadang diperluas dengan lembaga lain, bisa menteri dalam negeri, dewan jaminan sosial nasional. Semua yang kita bahas masalah jaminan sosial ini secara komprehensif-lah. Karena program ini kan program negara, bukan program BPJS, jadi semua isu yang terkait dengan permasalahan-permasalahan jaminan kesehatan nasional itu kita bicarakan bersama. Jadi, intinya lebih membicarakan tentang apa yang akan dilakukan ke depan.
Jadi, apa yang dilakukan?
Ya, kan kemarin misalnya isu tentang defisit kan selalu mengemuka. Kalau kami gunakan istilah mismatch, bukan istilah defisit, karena memang ada ketimpangan, ada ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran, dan itu sudah kita hitung juga bersama di setiap awal tahun anggaran, karena bagaimana pun juga kan ada rencana kerja, ada anggaran tahunan yang disahkan biaya operasionalnya oleh menteri keuangan, menteri kesehatan, kemudian Ketua DJSN.
Ya, kita lihat, jumlah peserta sekian, iuran sekian, uang masuk sekian, dari jumlah peserta sekian itu yang menggunakan sekian, unit cost berapa, kan ketemu angka rata-ratanya. Nah, di situ kan tergambar mismatch. Kita di situ bersama memikirkan masalah tersebut. Intinya pemerintah berkomitmen jangan sampai pelayanan masyarakat ini terhambat, terkendala. Kira-kira seperti itu.
Apakah rencana kenaikan iuran jadi berjalan? Ada inflasi setiap tahun dan obat juga banyak diimpor dari luar negeri, otomatis tergerus nilai tukar dan sebagainya. Untuk kenaikan iuran, apakah rencana dari ibu Sri Mulyani akan terlaksana tahun ini?
Kalau kemarin kita belum bicara spesifik tentang kenaikan iuran. Memang beliau [Menkeu Sri Mulyani] pernah menyampaikan [soal kenaikan iuran]. Saya tidak dengar langsung, mohon dikonfirmasi. Setelah sidang kabinet, saya baca dari media, beliau akan menyesuaikan iuran penerima bantuan (PBI/Penerima Bantuan Iuran) dengan mendekati angka aktuaria yang dihitung tahun 2015. Nah, itu kan akan diberlakukan nanti tahun depan dari APBN 2020.
Nanti kalau PBI disesuaikan melalui hitung aktuaria, pasti PBI jangan lebih tinggi dari pekerja bukan penerima upah. Pekerja bukan penerima upah atau pekerja non-formal, sekarang kan iurannya Rp25.500. Penerima bantuan kan Rp23.000 kalau suatu saat penerima bantuannya lebih tinggi dari pekerja non-formal, ya pasti akan disesuaikan, karena pekerja bukan penerima upah kan iuran diskon juga nih, ya. Diskonnya banyak, kalau hitungan tahun 2015, harusnya kan Rp53.000, ini diputuskan Rp25.500, berarti diskonnya Rp27.500, ya lebih dari 50 persen sebetulnya. Kelas 2 kan juga diskon sebetulnya, harusnya Rp63.000, ditetapkan Rp51.000, diskonnya hampir sekitar Rp12.000. Hanya Kelas 1 yang sesuai hitungan pada tahun 2015.
Kalau hitungan ideal dari BPJS sendiri, angka di 2015 itu apakah ada formula khusus?
Untuk menjaga governance, BPJS enggak boleh menghitung, karena pasti minta gede. Dari sisi tata kelola kenegaraan kita, lembaga yang memiliki otoritas [untuk menghitung angka ideal] diatur undang-undang adalah DJSN, bahwa kita men-support data, memberikan historical pelayanan, berapa rata-rata, kita suplai.
Berapa rata-rata hitungan jika melihat data?
Kita belum putuskan karena nanti ada rapat khusus. Karena bisa jadi hitungan matematis itu memperhitungkan berbagai hal, karena hitungan itu fundament sesuai hitungan akademik aktuaria, tapi bukan segalanya. Bisa jadi nanti ada peran pemda, apakah pemerintah mau mensubsidi melihat daya beli masyarakat, kemampuan masyarakat ikut program, dll.
Bagaimana catatan keuangan empat bulan pertama tahun 2019 ini?
Empat bulan pertama ini mungkin enggak mendengar keluhan-keluhan rumah sakit, karena setiap tagihan yang ada kita selesaikan. Dari sisi cashflow bisa kita atasi, jadi ada mekanisme tertentu lah di internal pemerintah. Kalau ada masalah cashflow, [kita] mencari jalan untuk menutupi. Dari berbagai sumberlah, kita upayakan.
Sumbernya dari mana?
Uang pemerintahlah, masa uang teman-teman.
Jadi apa akar permasalahannya dari defisit ini?
Segmen [peserta] kita ini kan minimal ada tiga segmen, segmen pekerja formal, non-formal, dan penerima bantuan. Kalau formal kolektabilitas kita bagus, PBI pasti bagus [kolektabilitasnya]. Nah, non-formal dikatakan ada masalah.
[Jadi masalahnya] iuran yang belum sesuai, ditambah lagi di sektor formal itu juga ada masalah. Sebetulnya tidak sampai 50 persen yang menunggak, tapi tadi, bagaimana kita bisa 'memaksa' non-formal untuk membayar. Ini mesti ada enforcement, mesti ada sanksi [bagi penunggak iuran], dan itu [sudah] diatur undang-undang, diatur oleh aturan pemerintah. Tapi kita belum menjalankan, karena untuk menjalankan kita butuh [dukungan] masyarakat.
Satu-satunya jalan [untuk memaksa] begini, tidak bisa memperpanjang SIM, tidak bisa masuk universitas, tidak bisa masuk sekolah. Ini [untuk] yang mampu ya, apalagi kan banyak sekolahnya yang luar biasa, itu mahal sekali. Kemudian tidak bisa memperpanjang paspor, tidak bisa transaksi perbankan, ada PP-nya dan sudah lama [sejak] tahun 2013 peraturan pemerintah sanksi administratif ini, PP [nomor] 86 tahun 2013, tapi belum terlaksana karena eksekusinya bukan BPJS. [Eksekutornya] lembaga negara lain, perlu dikoordinasikan, karena lembaga lain pasti akan melihat, ini dampaknya apa nih kalau begini.
Apakah sistem pembayaran di muka di faskes (fasilitas kesehatan) tingkat pertama yang bikin rugi?
Saya enggak bisa menyatakan rugi atau untung ya, kan sistem ini banyak dikerjakan di berbagai negara dan ini efektif untuk upaya promotif preventif. Sebetulnya kontrak kita kan di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) itu, kami titipkan peserta ini, [setiap peserta] Rp5.000, tolong jaga kesehatannya. Kita bayarkan setiap tanggal 15, kalau di klinik [tercatat] 10.000 [orang], kami kasih Rp50.000.000, tapi tolong jaga, jangan sampai sakit. Kalau sakit, pakai uang ini. Nah, kalau dia kemudian dapat mencegah untuk tidak sakit, kliniknya akan ada surplus, jadi ada mekanisme insentif disinsentif dari sisi pembiayaan.
Dari sisi kualitas layanan, sistem ini yang terbaik untuk mendorong upaya promotif preventif, karena klinik akan mendorong upaya masyarakat untuk hidup sehat. Tapi kita tidak take it for granted, kita buat indikator kinerjanya, itu yang kita kenal dengan KBK, Kapitasi Berbasis Layanan.
Dalam tahap minimal, kalau ngasih uang itu, kalau di negara Jerman, misalnya, ada contact rate. Nah, kalau di Jerman itu setahun [pasien dan dokter] mesti ketemu empat kali, sakit enggak sakit mesti ketemu [untuk berkabar] bagaimana kondisi kesehatan, ada masalah enggak. Kalau enggak ketemu, minimal telepon.
Kita mulai introduksi tahun lalu, minimal sekali ketemu, atau sekali berkomunikasi atau sekali berkontak, karena dia (faskes tingkat pertama) mesti tahu ada interaksi. Nah, kita nanti menuju empat kali. Jumlah kapitasi dihitung ulang, dong, empat kali karena [berpengaruh terhadap] operasional. Yang kedua, indikator pelayanan non-spesialis mesti selesai di situ. Ada 144 diagnosis, itu enggak boleh dikirim ke rumah sakit, karena dia (faskes) berkontrak menyelesaikan itu. Kalau dikirim ke RS, kita dobel bayar.
Ada lagi namanya rujuk balik, yang sudah di rumah sakit, [penyakit] kronis stabil yang paling mengemuka, misalnya: diabetes, hipertensi, itu kan kalau sudah stabil bisa dikembalikan ke FKTP.
Tapi kan masalahnya klinik itu kan tidak buka 24 jam?
Kalau bukan emergency itu enggak bisa lagi, ada kasusnya, emergency atau bukan. Nah, klinik ini kita kan berkontrak, ada yang klinik 24 jam, ada puskesmas rawat inap 24 jam dan ada yang tidak. Kita akan berupaya untuk memberi sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat.
Kenapa tidak disamaratakan? Kan pasien yang datang harus ke faskes tingkat satu?
Ini bagian yang kita harus menyamakan [persepsi]. Memang agak berat menceritakan kondisi gawat darurat, karena ada gawat darurat medik dan ada yang sebetulnya enggak gawat darurat, tapi kan persepsi kita tentang sakit ini berbeda.
Konstruksi pertama dia datang, boleh ke rumah sakit, nanti rumah sakit akan melihat ini memang gawat darurat atau enggak. Tapi, saya setuju bahwa akses terhadap informasi pelayanan harusnya 24 jam. Itulah, saya mengembangkan kapitasi ini pendekatan dokter keluarga sebetulnya. Jadi, fasilitas kesehatan itu mengenal secara personal masing-masing peserta terdaftar.
Sebetulnya BPJS itu mencontoh sistem jaminan kesehatan dari negara mana?
Jadi, ada tiga konstruksi sistem. Pertama, sistem yang liberal. Ini kita enggak saling tolong menolong. Ada uang, bayar. Enggak ada uang, udah, mau mati ya mati. Yang sangat liberal ini, kita gambarkan Amerika. Tapi mereka mulai bergeser pendulumnya sejak Obama, agak sedikit sosialisme. Nah, itu yang pertama, dan ini sudah mulai banyak ditinggalkan karena dunia mengintroduksi universal health coverage. Lambat laun ini mulai berkurang.
Yang kedua, social solidarity concept. Ini nenek moyangnya [adalah model] Bismarck. Model ini mulainya di Jerman.
Satu lagi adalah tax-based system seperti di Inggris, National Health Service, Beveridge model. Jadi, kalau ada namanya income tax, di-ceiling, persen-persen untuk kesehatan enggak boleh diganggu. Nah, ini [dapat diterapkan] kalau tax ratio sudah bagus, kemudian kesadaran bayar pajak tinggi, pajak yang dipungut juga tinggi. Kalau ini di negara seperti Swedia, Norwegia, pajaknya minimal 45 persen dari penghasilan, tapi penerimaan pajak didelegasikan penuh untuk pelayanan publik.
Nah, kita mengambil konsep tengah, itu artinya gotong-royong dibangun dengan membayar iuran, yang tidak mampu disubsidi pemerintah, yang mampu bayar sendiri, dan banyak negara ini, kalau di Asia, yang duluan dari kita [seperti] Filipina, Korea Selatan, Jepang, Taiwan. Kalau Malaysia cenderung ikut model Inggris.
Tapi di Indonesia apakah mungkin ambil dari pajak? Atau diarahkan ke sana?
Sebetulnya negara kita ini kan ada sila kelima. Jadi, yang pertama dilihat itu filosofi negara, dasar negara. Di situ kan jelas bahwa rujukan kita itu adalah keadilan sosial. Nah, orang menerjemahkan keadilan ini sebagai solidaritas yang kemudian terbangun dari gotong-royong. Jadi, basis negara kita itu pilihannya.
Cara mengatasi defisit itu kan macam-macam. Jika Permenkes 2018 tidak bisa mengatasi, apakah ada strategi lain?
Sebetulnya kita mau terus atau enggak? Kalau mau, apa yang kita kerjakan, apa komitmennya, sehingga muncul empat opsi utama yang menjadi pegangan kita. Yang pertama, iuran disesuaikan. Mungkin tidak penuh, ya tidak sesuai hitungan tapi tidak terlalu rendah. Opsi kedua adalah cek manfaat yang diberikan. Undang-undang menyatakan program ini kebutuhan dasar kesehatan. Definisi pertama, apa kebutuhan dasar kesehatan? apakah semua masalah kesehatan? apakah semua yang dilahirkan dalam bentuk pelayanan rumah sakit harus di-purchase? Harus kita lihat tentang ini.
Ketiga, opsi tentang suntikan dana tambahan. Kalau iuran naiknya tidak penuh, kebutuhan dasar tidak bisa kita definisi ulang. Ada opsi tentang suntikan dana. Ada opsi tentang peran pemda. Artinya, BPJS jangan kontrak rumah sakit, tapi BPJS berkontrak dengan pemda. Kita kan sudah punya 5 tahun ini. Kalau Pemda bisa kelola, ada surplus untuk pemda. Kalau kemudian tidak bisa mengelola, ada tambahan biaya, Pemda bertanggung jawab.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara