tirto.id - Defisit di tubuh BPJS Kesehatan tak kunjung teratasi. Angkanya malah naik terus. Laporan Tirto mencatat pada tahun pertama angka defisit hanya Rp3,3 triliun; meningkat pada 2015 menjadi Rp5,7 triliun; dan naik lagi tahun berikutnya menjadi Rp9,7 triliun. Bahkan, Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris memprediksi perusahaannya akan mengalami defisit anggaran hingga Rp 16,5 triliun pada tahun 2019.
Pada 18 September 2018, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Aturan ini dibuat untuk menghindari penyakit menahun yang bersarang sejak tahun 2014 yakni defisit dana BPJS.
Dalam Pasal 52 di Perpres itu, pemerintah mengatur 21 butir pelayanan yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan (PDF). Beberapa di antaranya adalah pelayanan kesehatan terhadap penyakit akibat kecelakaan kerja (butir c), pelayanan kesehatan akibat kecelakaan lalu lintas (d), pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat (o), pelayanan kesehatan akibat tindak kejahatan (r), maupun pelayanan yang sudah ditanggung program lain (u).
Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf menjelaskan aturan yang ada di Perpres 82 tahun 2018 itu hanya sebagai penegasan terhadap tanggung jawab pembiayaan oleh instansi-instansi pemerintah. Iqbal pun mencontohkan tentang pertanggungan korban tindak pidana penganiayaan, terorisme, dan korban kejahatan lainnya.
“Sebenarnya bukan berarti BPJS Kesehatan menanggung hal-hal yang dimaksud, tapi dia diakomodir dengan ketentuan-ketentuan lain, seperti tindak pidana penganiayaan, dulu di Perkapolrinya ada, bahwa kekerasan dan yang lain masuk dalam pembiayaan disana,” katanya.
Iqbal juga menjelaskan pembiayaan penyakit akibat wabah yang ditanggung oleh anggaran Kementerian Kesehatan.
Melalui Perpres tersebut, Iqbal menyampaikan bahwa instansinya tak melarang penggunaan dua asuransi bagi pasien menggunakan konsep coordination of benefit.
“Kalau kerjasama ada MOU tersendiri antara BPJS Kesehatan dengan asuransinya, misalnya kelas 1 ditanggung, selisihnya itu ditanggungkan ke asuransi kesehatan komersial. Bukan berarti dobel, jadi orang itu menikmati layanan standar, terus dia dapat benefit tambahan,” ungkap Iqbal.
Perpres itu juga menegaskan bahwa BPJS Kesehatan tak menanggung biaya akibat kecelakaan kerja, sebab pada kasus tersebut biaya pertanggungan dibebankan pada BPJS Ketenagakerjaan untuk swasta dan Taspen untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Untuk korban kecelakaan lalu lintas, biaya yang keluar menjadi tanggung jawab dari Jasa Raharja, “pasien itu kalau di jalan kan naik sepeda motor sudah dijamin Jasa Raharja sebenarnya. Cuma faktualnya karena nggak ada kejelasan harus ditanggung oleh program JKN,” tutur Iqbal.
Tak hanya itu, di Pasal 16 perundangan itu juga mengatur tentang bayi baru lahir dari peserta jaminan kesehatan wajib didaftarkan kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 hari sejak dilahirkan. Hanya saja, hingga saat ini regulasi pemerintah belum mengatur sanksi jika ada peserta yang melanggar ketentuan itu seperti yang diatur dalam PP 86 tahun 2013 (PDF).
“Memang PP 86 itu terbit 2013, tapi mendekati akhir tidak semua kooperatif, jadi tidak satu suara. Kalau dalam waktu dekat tentu kalau yang berwenang aja belum menyiapkan regulasi, tentu tidak akan dikenakan sanksi itu,” ujar Iqbal.
Perpres Bukan Solusi
Melihat aturan-aturan yang tercantum dalam Perpres 82 tahun 2018, bekas Direktur Utama Jamsostek Hotbonar Sinaga mengungkapkan bahwa regulasi tersebut justru menyulitkan peserta. “Itu tujuannya sih baik, cuma bikin susah orang,” tuturnya.
Bonar berpendapat seharusnya dalam perpres itu pemerintah mengecualikan kewajiban medis yang tidak diperlukan, misalnya operasi caesar yang dilakukan atas dasar estetika. “Kalau misalnya bisa dilakukan operasi normal, harusnya tidak dibayar oleh BPJS,” sambung Bonar.
Bonar pun menyampaikan bahwa dirinya pesimistis BPJS akan terbebas dari defisit anggaran di tahun 2019. Menurutnya, hal yang harus diperhatikan pemerintah untuk mengurangi kemungkinan itu adalah meningkatkan anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Pada Pasal 29 Pepres 82 tahun 2018, tertulis iuran bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah yaitu sebesar Rp23.000,00 per orang per bulan.
“Kalau menurut saya itu harusnya dinaikkan, karena itu salah satu kunci untuk bisa memperbaiki defisit BPJS, karena seluruh perhitungan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) 2 tahun lalu bukan Rp 23.000 tapi Rp 36.000 per kepala per bulan,” katanya.
Jika pendapatan premi tak banyak, asuransi biasanya akan melakukan kenaikan premi. Namun, melihat kondisi ekonomi Indonesia, Bonar tak menyarankan hal itu dilakukan karena akan memberatkan masyarakat. Menurutnya, salah satu alternatif yang paling memungkinkan saat ini adalah mengorbankan APBD dan APBN.
“Jadi satu-satunya cara ya menaikkan pendapatan iuran. Cuma, jangan dinaikkan iurannya karena memberatkan rakyat termasuk pengusaha. Satu-satunya cara itu adalah dengan mengorbankan dari APBN atau APBD dinaikkan iuran PBI-nya,” tandasnya.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani