tirto.id - Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir gegar setelah mengetahui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memutus kerja sama dengan beberapa rumah sakit. Pasalnya, itu berarti layanan untuk dia dan pasien lain pun akan terhenti.
"Kebijakan ini membuat pasien cuci darah kalang kabut. Kesehatan dan keselamatan mereka terancam karena layanan hemodialisa (metode pencucian darah dengan membuang cairan berlebih dan zat-zat yang berbahaya bagi tubuh untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak) dengan menggunakan layanan JKN [Jaminan Kesehatan Nasional] akan terhenti," ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (2/5/2019).
Hal serupa diungkapkan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar. Ia mengatakan apabila rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan semakin berkurang, hal tersebut akan merugikan pasien JKN.
"Antrean pelayanan akan semakin panjang, lebih susah mendapat kamar perawatan," ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (3/5/2019).
Putusnya kerja sama BPJS Kesehatan dengan sejumlah rumah sakit ditengarai proses akreditasi yang silang sengkarut. Ada rumah sakit yang sudah habis masa akreditasinya dan ada juga rumah sakit yang masa akreditasinya mencapai tenggat, yakni Juni 2019.
Berkenaan dengan itu, Timboel menyarankan agar Kementerian Kesehatan memberikan diskresi kepada rumah sakit tersebut untuk tetap bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sampai masa akreditasinya diperpanjang.
"Ini penting agar pasien hemodialisa tetap dilayani di rumah sakit tersebut tanpa harus mencari lagi rumah sakit yang bisa menampung mereka," ujarnya.
Namun dengan catatan, diskresi tersebut diberi tenggat agar pihak rumah sakit lekas mengurusi akreditasinya ke Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
"Demikian juga bila di suatu daerah hanya ada satu rumah sakit dan rumah sakit tersebut tidak kerja sama lagi karena akreditasi, maka sebaiknya rumah sakit itu tetap dipertahankan dengan perjanjian kerja sama [PKS] khusus," ujarnya.
Ia juga mengimbau kepada rumah sakit untuk proaktif mengurus akreditasinya masing-masing, baik yang perlu diperpanjang atau yang akan habis.
"KARS juga harus kerja ekstra untuk mendukung proses akreditasi hingga Juni ini," kata dia.
KARS Tak Bisa Tekan RS
Ketua Eksekutif Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), Sutoto, mengatakan memang lembaganya diberikan mandat untuk melakukan akreditasi terhadap rumah sakit yang ada di Indonesia. Namun ia mengatakan KARS hanya bisa mensosialisasikan akreditasi, bukan menekan rumah sakit untuk melakukan hal tersebut.
"Akreditasi itu kewajiban rumah sakit. Mereka yang harusnya kirim email ke kami. Mereka yang harusnya inisitif bukan KARS," ujar Sutoto kepada reporter Tirto.
Merujuk data yang dihimpun KARS per 5 Mei 2019 pukul 16.49 WIB. Terdapat 2.101 rumah sakit yang sudah terdaftar akreditasi, 81 rumah sakit yang sudah habis masa berlaku akreditasinya, dan 716 rumah sakit yang belum terakreditasi.
"Akreditasi itu sebenarnya kewajiban rumah sakit berdasarkan UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit. Itu ada pasalnya bahwa rumah sakit wajib diakreditasi setiap tiga tahun sekali oleh lembaga independen," ujarnya.
Menurut Sutoto, akreditasi sebenarnya tidak ada hubungannya dengan BPJS Kesehatan. Sebab, ada atau tidak adanya BPJS, akreditasi harus diberlakukan ke rumah sakit.
Hanya saja Sutoto memaklumi jika BPJS Kesehatan tidak mau melakukan kerja sama dengan rumah sakit yang belum memperpanjang atau membuat akreditasi. Sebab menurutnya, akreditasi memang diperuntukkan sebagai kendali mutu rumah sakit, sehingga mereka tidak bisa sembarangan bertindak.
"Misalnya RS melakukan hemodialisa, itu ada standarnya. Bagaimana prosedurnya? Bagaimana standar infusnya, alatnya, reuse-nya? Kalau itu tidak dipatuhi dan alatnya dipakai berkali-kali supaya murah, pasien bukan sembuh malah akan tertular HIV atau hepatitis," jelas Sutoto.
Menjaga Kualitas Pelayanan
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan BPJS Kesehatan, Budi Mohammad Arief, mengatakan lembaganya tidak bisa kerja sama dengan rumah sakit yang tidak terakreditasi. Ia beralasan hal itu untuk menjaga kualitas pelayanan BPJS.
"Kami percaya akreditasi meningkatkan kualitas rumah sakit, kalau tidak akreditasi tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak bisa kerja sama," kata Budi kepada reporter Tirto.
Budi mengatakan hampir setiap bulan selalu ada rumah sakit yang habis masa akreditasinya. Ia mengklaim telah memberikan surat kepada pihak rumah sakit melalui kantor cabang, untuk diinformasikan kembali kepada masyarakat.
"Nanti diinfokan bulan Juni, misalnya, rumah sakit X akan habis akreditasinya. Kemudian kami berikan solusi pilihan, kalau rumah sakit ini berhenti kerja samanya dengan BPJS Kesehatan maka masyarakat bisa mendatangi rumah sakit sekitarnya," ujarnya.
Namun jika kondisinya di satu wilayah tertentu hanya ada satu rumah sakit, lalu rumah sakit tersebut habis masa akreditasinya atau sedang dalam proses perpanjangan, BPJS Kesehatan akan tetap memberikan kesempatan pelayanan.
"Batas waktunya nanti, kalau RS itu masuk kelas A yang belum akreditasi, batas waktunya 30 Juni. Kami akan sampaikan kepada Kemenkes diskresi untuk rumah sakit tersebut agar tetap memberikan pelayanan," ujarnya.
Namun jika rumah sakit tersebut bukan tergolong kelas A dan masa akreditasnya sudah habis, maka dilihat terlebih dahulu kapan masa habisnya.
"Kalau habisnya bulan Desember, tidak ada masalah. Kalau sekarang masih berlaku, RS masih punya waktu untuk reakreditasi," jelasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan