Menuju konten utama

Jejak Yahudi di Kota Syariat Islam Banda Aceh

Jauh sebelum Perang Aceh pada abad 19, orang-orang Yahudi pernah tinggal di kawasan Kesultanan Aceh Darussalam. Tercatat dalam sejumlah kesaksian sejarah serta beberapa nisan di Kerkhof Peucot, Banda Aceh.

Jejak Yahudi di Kota Syariat Islam Banda Aceh
Gerbang kompleks makam Kerkhof Peucut, Banda Aceh. FOTO/Reja/tirto.id

tirto.id - Kompleks Kerkhof merupakan pemakaman militer tentara Belanda terbesar nomor dua setelah Tanah Abang. Terletak di Jalan Teuku Umar, Kampung Sukaramai atau dikenal Blower, Banda Aceh. Kompleks yang bersebelahan langsung dengan Museum Tsunami Aceh ini memiliki lahan seluas 3,5 hektare dengan 2.200 makam.

Saat memasuki areal kompleks, pengunjung disambut tembok tinggi melengkung. Pintu gerbang megah itu dibangun pada 1893 yang terbuat dari batu bata. Bagian atas pintu gerbang tertulis “Untuk sahabat kita yang gugur di medan perang” dalam tiga bahasa: Belanda, Arab Melayu, dan Jawa.

Pada dinding gerbang terdapat deretan nama serdadu maupun jenderal Belanda yang tewas di tangan pejuang Aceh, lengkap dengan tahun dan lokasi meninggal. Namun, tak semua dari Belanda. Sebagian nama yang tertera dari orang pribumi. Mereka diyakini sebagai prajurit Marsose alias tentara bayaran Belanda yang direkrut dari Manado, Ambon, Batak, Cina, dan Jawa untuk melawan Bangsa Atjeh.

Dua puluh meter memasuki pintu gerbang Kerkhof, tepatnya di tengah-tengah jalan setapak, terdapat sebuah prasasti putih bersepuh warna keemasan dan biru. Prasasti setinggi 1,5 meter itu adalah kediaman terakhir Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler, Panglima Angkatan Perang Belanda dalam Agresi Pertama yang mendarat di Pantai Ceuremen, 6 April 1873. Apa yang disebut pihak Belanda sebagai "Ekspedisi Pertama" itu gagal telak menguasai Istana Sultan.

Pasukan Köhler sempat merebut Masjid Raya Baiturrahman di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada 14 April, tetapi mereka terpukul mundur ketika Köhler tewas tertembak pada pertempuran tersebut.

Sebagaimana dicatat dalam Perang Kolonial Belanda di Aceh (Teuku Ibrahim Alfian, dkk, cet. 3: 1997), korban tewas di pihak Belanda pada Agresi Pertama itu: 45 orang (termasuk 8 perwira); dan 405 orang cedera (di antaranya 8 perwira). Pada 29 April, angkatan perang Belanda meninggalkan Aceh dalam kecamuk duka. Perang kolonial Belanda untuk menguasai Aceh akan terus berlanjut sampai 1910-an, betapapun perlawanan rakyat secara gerilya masih muncul di sana-sini hingga pendudukan Jepang pada 1942.

Köhler termasuk di antara keturunan Yahudi yang ikut peperangan Aceh. Di empat sisi nisan terdapat simbol Bintang Daud. Ada obor terbalik bersepuh warna emas dengan api seakan menyala, dan simbol salib templar serta ular melingkar dengan moncongnya menggigit ujung ekor. Dalam dunia simbol, itu dikenal Ouroboros. Bagi kaum Yahudi, ular dianggap hewan suci yang melambangkan kebijaksanaan, kecerdikan, dan pergerakan.

Makam Köhler tersebut dipugar ulang dengan menguburkan kembali tulang-belulangnya oleh pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada 19 Mei 1978.

Menurut Amri, penjaga dan pemelihara kompleks Kerkhof, saudara perempuan Köhler pada 2003 pernah mengunjungi makam tersebut. Amri, yang telah bekerja di sana selama 35 tahun, mengatakan bahwa makam Yahudi lain berada di sudut barat pemakaman.

Di lokasi yang ditunjuk Amri itu, di sebelah kanan makam Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, ada 23 makam, sembilan nisan di antaranya tertera simbol bintang Daud dan pahatan bahasa Ibrani. Identitas ke-14 makam lain sudah mengabur termakan usia.

Ke-23 nisan tersebut tampak tak terurus. Dedaunan dan ranting pohon kering menimbun nisan, sebagian tulisan memudar dan ada pula nisan yang rusak karena dampak tsunami Aceh tahun 2004. Dari sembilan nisan dengan identitas nama yang masih terpahat jelas, ada satu yang terkenal: Avram Meier Bolchover. Ia keturunan Yahudi kelahiran Rumania pada 1856. Di sampingnya, ada makam Deborah Bolchover, masih satu keluarga dengan Avram Meier.

"Tiga tahun lalu, seorang pria yang mengaku keluarga Balchover mendatangi makam Avram Meier Bolchover. Pria itu berasal dari Rusia dan pernah menetap di Inggris. Ia menangis terisak-isak sambil meratap makam eyang buyutnya. Ia tak menyangka makam buyutnya ada di sini," ujar Amri.

Amri lupa nama pria tersebut. Tapi selama di Banda Aceh, pria itu mendatangi makam eyang buyutnya selama empat hari berturut-turut. Dalam percakapan yang ia ingat, Amri mendapat pesan untuk menjaga dan merawat makam keluarganya.

Selain itu, di kalangan tentara Belanda maupun rakyat Aceh sendiri, Bolchover dikenal sebagai tuan tanah. Penyebutan namanya menjadi cikal bakal nama Kampung Blower di Banda Aceh, yang sekarang disebut Kampung Sukaramai.

"Bachlover berubah nama menjadi Blower. Orang Aceh itu selain kesulitan menyebut nama Balchover, punya historis dan benci dengan penjajah, makanya berubah nama menjadi Blower," kata Darma Santoso, yang pernah menjadi kepala Kampung Sukaramai, kepada saya, akhir Juni lalu.

Meski sebagian besar penduduk Banda Aceh mengenal Blower, tetapi dalam catatan administrasi pemerintah tertulis Kampung Sukaramai. Menurut pria yang sudah enam tahun menjabat kepala kampung, nama Blower tidak ada dalam peta; yang ada Sukaramai. Namun, karena orang dari dulu menyebut Blower, sampai sekarang nama itu menetap dalam ingatan masyarakat.

Rusdi Sufi, sejarawan dari Universitas Syiah Kuala, mengatakan bahwa Bolchover adalah seorang pedagang yang datang ke Aceh sebelum Perang Aceh. Catatan mengenai kuburan Yahudi terdokumentasikan dalam Buku Panduan Kuburan Militer Peutjut karangan G.A. Geerts tahun 2007. Ia menyebut bahwa Balchover ialah pedagang Yahudi dari Eropa Timur dan tinggal di sebuah tempat di pinggiran Kota Banda Aceh.

Balchover membeli sebidang tanah dan membuka usaha perumahan dan perkebunan kelapa, yang kemudian dikenal sebagai Kampung Blower. Kampung ini sekarang seluas 47 ha dengan 4.000 penduduk.

Selain Blower, ada tanah milik tuan tanah orang Yahudi di kawasan Dinas Sosial atau kantor pelayanan perbendaharaan negara Kota Banda Aceh. Sejak kemerdekaan, tanah itu beralih status menjadi aset milik negara.

Orang Yahudi lain yang dimakamkan di Kerkhof pada 1931 bernama Hermann Werebeitschik. Ia berasal dari Grodno, Belarusia. Dulunya Grodno memiliki populasi orang Yahudi sekitar 25 ribu pada 1795. Hrodna adalah nama lain untuk Grodno. Seluruh penduduk Yahudi tumbuh sekitar 50 ribu orang per tahun. Tapi sejak pendudukan Nazi, mereka dibasmi.

Kemudian ada makam anak kecil bernama Evelline Goldenberg dari Wina. Ia baru berumur 5 tahun ketika dimakamkan di Kerkhof. Evelline memiliki keluarga bernama Moritz Adolf Goldenberg, seorang pedagang kelahiran Jassy, Rumania. Sebelum invasi Nazi, Yahudi-Rumania memiliki populasi 800 ribu orang. Namun, setelah Perang Dunia Dua, hanya meninggalkan setengah populasi.

infografik HL Yahudi di Aceh

Yahudi di Kesultanan Aceh

Tanah Kerkhof sebelumnya milik Kesultanan Aceh Darussalam. Jauh sebelum Belanda menyerang Aceh pada 1873, tanah itu sudah ditempati makam anak Sultan Iskandar Muda.

Sebutan "Peutjut" atau "Peucut" atau "Pocut" merujuk nama panggilan kesayangan Meurah Pupok, putra mahkota Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Meurah Pupok meninggal setelah dihukum ayahnya sendiri karena melanggar syariat Islam di Kesultanan Aceh Darussalam saat itu. Adapun Kerkhof secara harfiah artinya gereja atau kuburan.

Teuku Cut Mahmud Aziz, dosen ilmu sosial dan politik serta peneliti jejak Yahudi di Aceh dari Universitas Al Muslim, Bireun, pernah melakukan kajian pustaka dan observasi pemakaman Yahudi. Ia mewawancarai informan di Aceh, Surabaya, Jakarta, Singapura, Semarang, Penang, dan Belanda, termasuk keturunan orang Yahudi yang pernah tinggal di Aceh dan kini menetap di London, Manchester, dan Hongkong.

Menurutnya, dalam diskusi Jejak Yahudi di Aceh, 20 Mei 2016, seorang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah bernama Abraham Nabarro pernah berkunjung ke Aceh pada 1689. Ia datang ke Aceh melalui Malaka. Pada abad 18, orang Yahudi bernama Isrealiet Abraham Geheeten juga bekerja sebagai linguis (ahli ilmu bahasa) pada Kesultanan Aceh Darussalam.

Hal itu dibenarkan oleh Rusdi Sufi, alumnus Universitas Leiden, Belanda. Ia mengungkapkan bahwa seorang Yahudi yang bekerja untuk Kesultanan Aceh Darussalam (era Sultan Alaiddin Riayah Syah Al-Mukammil, awal abad 17) menerjemahkan surat dari Ratu Elizabeth I. Surat dan hadiah dari Ratu Elizabeth dibawa oleh Sir James Lancaster. Ia membawa surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh) dengan seperangkat perhiasan bernilai tinggi.

"Ratu Elizabeth Inggris mengirim utusan Sir James Lancaster, lalu diterjemahkan oleh orang Yahudi. Namanya saya tidak tahu, tapi mereka menyebutnya orang Yahudi (dari Kesultanan)," kata Rusdi.

Leonard Chrysostomos Epafras dalam jurnal “Realitas Sejarah dan Dinamika Identitas Yahudi di Nusantara” menyebutkan pada abad 16 dan 17, sejumlah penerjemah berbangsa Yahudi melayani kepentingan perusahaan dagang Inggris (East India Company) dan Portugis.

Francois Pyrard, seorang kapten kapal Perancis, mengatakan bahwa penerjemah Yahudi mengetahui banyak bahasa, antara lain Arab dan India. Laporan hasil ekspedisi Sir James Lancaster menyebut orang Yahudi menggunakan bahasa Arab dengan sempurna.

Pada 1762, Kapten Thomas Forrest berkebangsaan Inggris bertemu dengan penerjemah Yahudi bernama Abraham di Istana Sultan Aceh. Penerjemah ini menceritakan kepadanya mengenai ketegangan antara Sultan Aceh dan kaum bangsawan.

Catatan lain kehadiran Yahudi melalui perdagangan dari India. Mereka adalah Yahudi dari Cochin (Kochi) atau Yahudi Malabar yang terlibat perdagangan antarnegeri sejak abad 18. Yahudi Cochin merupakan komunitas Yahudi yang sangat tua, jauh sebelum kedatangan orang Eropa di Asia. Mereka meyakini nenek moyangnya tiba di India sejak zaman Raja Sulaiman (Salomo).

Binyamin Mitudela, pelancong dari Yahudi-Spanyol, dan Marco Polo dari Italia melaporkan pernah berjumpa dengan mereka. Contoh paling terkemuka dari komunitas ini adalah Yechezkel Rahabi (1694-1771), yang aktivitas perdagangannya meliputi Yaman, Sri Lanka, India, dan Pulau Sumatera.

Dengan jejak makam maupun literatur terkait Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah, baik untuk Kesultanan Aceh, Portugis dan Inggris, maka tak heran ada orang Yahudi yang pernah bermukim sebelum terjadi perang rakyat Aceh melawan Belanda. Buktinya sembilan makam Yahudi di Kerkhof.

“Ini semua makam Yahudi. Kalau batu nisan seperti ini (bahasa Ibrani), sudah dipastikan ia seorang Yahudi,” kata Amri.

Baca juga artikel terkait YAHUDI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Humaniora
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam