Menuju konten utama

Cepat atau Lambat, Es di Kutub Akan Meleleh

Meskipun kesepakatan dan target dalam Paris Agreement berhasil dicapai, es di kutub diprediksi akan tetap meleleh abad ini.

Cepat atau Lambat, Es di Kutub Akan Meleleh
Anak-anak bermain di batu es di pantai di Nuuk, Greenland, Minggu (5/6). Antara foto/reuters/alister doyle

tirto.id - Desember tahun lalu, American Geophysical union bertemu di San Fransisco, Amerika Serikat. Dalam pertemuan itu, diungkapkan fakta bahwa ada potensi pengurangan beruang kutub secara besar-besaran selama tiga generasi berikutnya.

Es di Laut Arktik, habitat utama beruang kutub, terus mencair dari tahun ke tahun. Jika situasi ini tak bisa dihentikan, maka beruang kutub akan kehilangan rumahnya. Penurunan populasi pun menjadi niscaya.

Seperti tanah bagi manusia, es bagi beruang kutub adalah pusat kehidupan. Ia menjadi tempat mereka kawin, beranak-pinak, juga berburu mangsa. Kristin Laidre, ahli ekologi mamalia kelautan di Pusat Penelitian Kutub Universitas Washington mengatakan saat ini jumlah beruang kutub tercatat 26 ribu ekor. Jika es terus mencair dengan pola yang sama seperti beberapa tahun belakangan, maka populasi beruang kutub diprediksi hanya 8.600 ekor saja dalam 35 hingga 40 tahun lagi.

Mencairnya es di kutub tentu tak hanya berdampak bagi para beruang kutub. Pulau-pulau kecil akan tenggelam, di beberapa wilayah akan terlalu panas, dan di beberapa kawasan akan terlalu dingin.

Oktober tahun lalu, Nature Climate Change Journal mempublikasikan sebuah studi yang menyebutkan cuaca dingin yang ekstrem terjadi di beberapa bagian dunia akibat pengaruh dari pemanasan di Kutub Utara.

Selama 137 tahun terakhir, tahun 2016 lalu adalah tahun ketika suhu bumi mencapai titik terpanasnya. Kesimpulan ini termaktub dalam data dan analisis National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Suhu rata-rata global di seluruh tanah dan permukaan laut pada 2016 adalah 0,94°C. Ia melebihi rekor kehangantan tahun sebelumnya, 0,04°C. Suhu global pada tahun 2016 sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi El Nino yang kuat pada awal tahun.

Tahun lalu, Leonardo Dicaprio membuat film dokumenter berjudul Before the Flood. Ia bisa ditonton gratis pada akun National Geographic di Youtube. Selama tiga tahun, Leo berkeliling ke berbagai negara untuk melihat langsung dampak pemanasan global. Ia ke India, Indonesia, hingga negara-negara kepulauan di Pasifik. Ia mewawancarai ilmuwan, aktivis, pengusaha, hingga Obama.

Salah satu tempat yang didatangi Leo adalah Greenland. Di sana, ia bertemu Jason Box, seorang profesor di Geological Survey of Denmark. “Kalau iklim tetap pada suhu saat ini dan beberapa tahun terakhir, maka di akhir dekade, Greenland akan lenyap,” ujar Jason kepada Leo.

Pada 22 April 2016, kesepakatan Paris akhirnya ditandatangani pemimpin-pemimpin dari 200 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kesepakatan itu menargetkan menahan laju temperatur global hingga di bawah 2°C dari angka sebelum masa Revolusi Industri. Target ini dianggap penting untuk mengurangi risiko dari perubahan iklim.

Tanpa upaya untuk mencegah pemanasan global, es di Arktik diperkirakan akan mencair di satu musim panas, pertengahan abad ini. Tetapi apakah membatasi pemanasan hingga 1,5°C atau 2°C akan mencegah Arktik mencair?

Infografik Bumi Meleleh

Ternyata, kalaupun target Kesepakatan Paris berhasil dicapai, masih ada kemungkinan es di kutub akan mencair. Pada 6 Maret lalu, James Screen dan Daniel Williamson dari Exeter University menuliskan hal tersebut dalam sebuah artikel di Nature Climate Change Journal.

“Target 2°C kemungkinan tidak cukup untuk mencegah es di Arktik mencair,” tulis kedua peneliti dalam laporannya. Dengan target hanya 2°C, kedua ilmuwan memprediksi ada 39 persen kemungkinan es di Samudera Arktik akan menghilang di musim panas pertengahan abad ini.

1,5°C atau 2°C tentu hanyalah target. Ia bisa tercapai, bisa juga tidak. Melihat tren yang ada, James dan Daniel memperkirakan suhu bumi akan meningkat 3°C. Dengan begitu, mereka memprediksi tingkat probabilitas hilangnya es di Arktik mencapai 73 persen.

Kedua ilmuwan menggunakan statistik Bayesian dalam menghitung probabilitasnya. Statistik Bayesian atau teorema Bayes adalah sebuah teorema dengan dua penafsiran berbeda. Dalam penafsiran Bayes, teorema ini menyatakan seberapa jauh derajat kepercayaan subjektif harus berubah secara rasional ketika ada petunjuk baru. Jadi, besarnya tingkat probabilitas akan berubah seiring adanya informasi atau petunjuk baru.

“Dalam kurang dari 40 tahun terakhir, kita telah kehilangan hampir setengah lapisan es,” ujar Tor Eldevik kepada The Guardian. Tor adalah profesor di Bjerknes Centre for Climate Research di University of Bergen di Norwegia. Ia tak terlibat dalam studi yang ditulis James dan Daniel.

Melihat tren saat ini, Tor memprediksi es di Arktik akan lenyap dalam 40 tahun ke depan. Jika itu benar terjadi, beruang kutub juga akan lenyap. Pulau-pulau kecil akan tenggelam.

Baca juga artikel terkait PEMANASAN GLOBAL atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Humaniora
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani