Menuju konten utama

2016 adalah Tahun Paling Panas Bagi Bumi

Suhu bumi pada 2016 adalah yang terpanas dalam 137 tahun terakhir. Bukti-bukti anomali iklim telah tampak jelas hampir di seluruh belahan bumi.

2016 adalah Tahun Paling Panas Bagi Bumi
Seorang wanita membawa ember air dan berjalan diatas tanah kering didekat danau Usmansagar, di Hyderabad, ibukota selatan India Andhra Pradesh. Foto/Reuters

tirto.id - Badai tropis Darby mendarat di Hawaii tahun lalu. Hembusan angin dengan kecepatan 80 km per jam menghantam pulau-pulau. Hawaii terbilang sangat jarang dihantam badai. Sejak 1949, Badai Darby tahun lalu itu adalah badai kelima.

Di Kanada, api menghancurkan sebagian besar Fort McMurray—wilayah pemukiman di Alberta, Kanada awal Mei tahun lalu. Api muncul dari hutan dekat pemukiman dan merembet ke perkotaan. Kebakaran itu adalah bencana alam paling mahal dalam sejarah Kanada.

Pada jarak sekitar 11.000 kilometer dari Kanada, tepatnya di Phalodi, India, suhu udara mencapai 51ºC. Itu adalah rekor suhu terpanas di India. Suhu panas ekstrem juga melanda Kuwait, tepatnya di Mitribah. Bahkan suhunya lebih panas dari Phalodi, yakni 54ºC. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mencatat itu sebagai suhu tertinggi di Asia.

Pada 22 Juli 2016, suhu di Basra, Irak mencapai 53,9ºC dan Delhoran, Iran mencapai 53ºC, sebuah rekor baru bagi dua negara itu. Di Korea Utara, bukan suhu panas yang dirasakan, tetapi curah hujan yang mencapai 320 mm dalam empat hari menyebabkan bencana banjir dan menelan 133 korban jiwa.

Semua bencana itu terjadi pada 2016, dan hanyalah beberapa pertanda dari anomali iklim yang terjadi pada tahun itu. Setidaknya ada 24 kejadian pada 2016 yang dicatatkan NOAA sebagai bukti bahwa iklim sedang mengalami perubahan akibat pemanasan global.

Selama 137 tahun terakhir, tahun lalu adalah tahun ketika suhu bumi mencapai titik terpanasnya. Kesimpulan ini termaktub dalam data dan analisis NOAA. Suhu rata-rata global di seluruh tanah dan permukaan laut pada 2016 adalah 0,94°C. Ia melebihi rekor kehangantan tahun sebelumnya, 0,04°C. Suhu global pada tahun 2016 sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi El Nino yang kuat pada awal tahun.

Awal tahun lalu, World Meteorogical Organization (WMO) menyebutkan curah hujan di banyak bagian dunia sangat dipengaruhi oleh El Niño. Curah hujan dari Juli 2015 sampai Juni 2016 jauh di bawah rata-rata. Ia biasanya menunjukkan sinyal kering selama El Niño, seperti Indonesia dan pulau-pulau di Pasifik Barat tropis.

Namun, curah hujan hanya sedikit di atas rata-rata di California dan Ekuador, padahal dua daerah ini biasanya mengalami kondisi yang sangat basah selama El Niño.

Konsentrasi atmosfer gas rumah kaca juga terus meningkat dan mencapai tingkat tertingginya. Es di Kutub Utara tetap pada tingkat yang sangat rendah dan Greenland pun meleleh cukup signifikan. Pemanasan global terus mempengaruhi es di laut dan darat. Permukaan Es Greenland mencair selama musim panas secara substansial di atas rata-rata.

El Niño yang cukup besar dampaknya terjadi di Samudera Pasifik selama bulan-bulan awal 2016 dan selesai pada pertengahan tahun. Selain berkontribusi meningkatkan suhu bumi secara global, kekeringan juga terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Afrika Selatan, Asia Tenggara, Amerika Selatan bagian utara, India, Ethiopia, Australia timur dan berbagai pulau di Pasifik Barat.

Infografik Tingkat Pemanasan Global

Secara keseluruhan, suhu tahunan global telah meningkat rata-rata 0,07°C per dekade sejak 1880 dan rata-rata 0,17°C per dekade sejak tahun 1970. Jika diurutkan tahun-tahun ketika suhu bumi paling panas, lima tahun pada abad ke-21 menjadi juaranya. Kelimanya adalah tahun 2010, 2013, 2014, 2015, dan 2016.

Ironisnya, sejumlah pemimpin di dunia menolak percaya pada perubahan iklim, pemanasan global, dan tetek bengeknya.

“Aku bukan orang yang percaya pada pemanasan global, aku tak percaya pada pemanasan global yang direkayasa manusia itu. Tahun 1920, media-media ramai memberitakan tentang pendinginan global, sekarang mereka bicara tentang pemanasan global. Aku tak percaya,” kata Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Kalimat itu diungkapkan Trump tahun lalu, sebelum ia menjadi calon presiden Amerika Serikat. Pernyataan serupa dengan struktur kalimat berbeda kembali diulangnya saat masa kampanye. Lalu ia terpilih menjadi presiden.

Trump tak sendirian. Tony Abbott, Perdana Menteri Australia juga menyanggah perubahan iklim. Dalam masa kampanyenya di akhir tahun 2013, salah satu hal yang dijanjikan Abbott adalah penghapusan pajak karbon. Janji itu ditepatinya ketika ia terpilih. Penghapusan pajak karbon dianggap Abbott sebagai pencapaian terbesarnya.

Presiden Republik Ceko Vaclav Klaus juga tergabung dalam barisan ini. Menurutnya, tak ada konsensus ilmiah tentang penyebab perubahan iklim. [Baca: Donald Trump dan Mereka yang tak Percaya Perubahan Iklim]

Baca juga artikel terkait PEMANASAN GLOBAL atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani