tirto.id - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Herman Hery dilaporkan ke Polres Metro Jakarta Selatan atas dugaan penganiayaan terhadap Ronny Yuniarto Kosasih. Namun, untuk menjeratnya tidak mudah. Selain harus mencari saksi tindakan “premanisme”, polisi juga harus mendapat rekomendasi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, serta izin Presiden Joko Widodo.
Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Pol Indra Jafar mengaku pihaknya belum bisa memastikan identitas pelaku penyerang Ronny. Meski penyelidikan sudah berlangsung sejak awal cuti bersama Lebaran 2018, tetapi identitas penyerang tersebut masih belum bisa terkonfirmasi.
Indra beralasan hingga saat ini penyidik masih bekerja mencari saksi-saksi kejadian itu. Ia mengedepankan asas praduga tak bersalah dalam peristiwa itu dan tak mau hanya berdasarkan atas hasil investigasi korban yang mengatakan bahwa Herman Hery adalah penyerangannya. Apalagi, dalam laporan polisi pada Senin (11/6/2018) lalu, nama Herman tidak dicantumkan.
Apabila Herman sudah terkonfirmasi sebagai pelaku penyerangan, politikus PDI Perjuangan itu juga belum tentu bisa diperiksa oleh pihak kepolisian. Sebab dalam aturan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) Pasal 245 menyebutkan bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan oleh MKD terlebih dahulu sebelum ada pemberian izin dari presiden.
Izin itu harus dikeluarkan oleh presiden sebelum akhirnya seorang anggota dewan dapat diperiksa oleh pihak kepolisian terkait kasus apapun, kecuali terkena operasi tangkap tangan, korupsi, atau kasus pidana yang masa hukumannya mati atau seumur hidup.
Berdasarkan pasal tersebut, polisi tidak bisa memanggil Herman Hery untuk pemeriksaan meski yang bersangkutan sudah terbukti melakukan penganiayaan. Namun, Indra tak mau berspekulasi lebih jauh. Indra masih menunggu pemeriksaan korban pada Senin (25/6/2018) mendatang.
“Saya belum bisa menyimpulkan itu. Proses saja belum,” kata Indra, di Jakarta, Kamis (21/6/2018). “Kami lagi identifikasi yang sedang bertugas [dan menyaksikan peristiwa tersebut].”
Sementara Ketua MKD DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyebut sudah ada laporan yang masuk ke MKD soal penganiayaan dan dugaan pelanggaran etika dari Herman. Meski tidak menyebut nama pelapor, Dasco mengaku akan berkomunikasi dengan polisi untuk koordinasi kasus pidana ini.
“Laporan sudah masuk ke MKD dan tentunya laporan tersebut kami tindaklanjuti dan koordinasi dengan Polri apakah ada pelanggaran etikanya,” kata anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini kepada Tirto.
Selain itu, Dasco menjelaskan bahwa kasus pidana tersebut tetap harus diusut berdasar UU MD3. Polisi tidak bisa memanggil Herman bahkan untuk pemeriksaan sekalipun tanpa ada izin tertulis dari Presiden Jokowi, serta tanpa rekomendasi MKD.
“Presiden nanti akan minta pertimbangan MKD. Itu gunanya MKD berkoordinasi dengan kepolisian, untuk melihat sejauh mana pelanggaran tersebut,” kata Dasco. “Enggak bisa, itu kan keputusan dari Mahkamah Konstitusi, harus ada izin presiden.”
Tidak Ada Keinginan Damai
Ronny terluka di bagian kepala, hidung, tangan dan jarinnya. Setelah kejadian, ia masih sempat menyetir kendaraan hingga ke Polres Jakarta Selatan. Ronny kemudian divisum di Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP). Meski hasil visum baru keluar sekitar tanggal 24-25 Juni nanti, tapi ia merasakan tendangan dan pukulan dari Herman beserta ajudan yang merangkap sopir di tubuhnya.
“Saya yang kena tendang,” kata Ronny. “Jadi udah ditendangin, diinjak-injak saya.”
Akibat penganiayaan itu, luka paling parah adalah jari Ronny yang patah. Namun saat kejadian, ia tidak menyadari hal itu. Ia hanya merasakan dirinya dipukul dan tersungkur. Di wajahnya, Ronny merasakan tendangan dan injakan dari kedua pelaku tersebut. Ia merasakan pusing selama penganiayaan itu dan mengaku tidak fokus lagi.
Melihat kejadian tersebut, istri korban bernama Iris Ayuningtyas turun dari mobil dan berusaha melerai. Ia menghadap ke korban yang tersungkur dan punggungnya terbuka. Namun, Iris malah menjadi korban lain dari penganiayaan itu. Iris mengaku berusaha melindungi bagian kepala suaminya yang kena tendang, tapi ia malah ikut mendapat tendangan.
“Pada saat saya lindungi suami saya, itu orang udah lihat saya, udah nutupin suami saya, dia juga masih nendang. Jadi masih kena saya,” kata Iris.
Akibatnya, Iris menderita luka di bagian kaki kiri, kedua lengan, dan bagian rahangnya.
Yanuar, kuasa hukum dari Ronny, menegaskan kliennya tidak mau berdamai. Menurut dia, dampak penganiayaan ini terlalu besar. Selain luka pada Ronny dan istrinya, putra dan putri korban juga diduga mengalami trauma. “Kami sampai saat ini belum memikirkan untuk ke arah mediasi,” katanya.
Ia menambahkan “Perlakuan yang diperbuat apalagi oleh anggota dewan ini harus dipertanggungjawabkan. Apalagi dia dalam [duduk di] komisi strategis, yakni Komisi III. Dia harus diberi pelajaran untuk memberi peringatan bagi anggota dewan lainnya.”
Polisi Harus Teruskan Kasus Herman
Kuasa hukum Ronny lainnya, Febby Sugita mengaku sudah memperkirakan akan adanya usaha intervensi dari beberapa pihak lain, karena posisi Herman sebagai anggota Komisi III DPR dan dari partai yang sedang berkuasa saat ini. Namun, ia mengklaim sudah memiliki strategi sendiri dan tak akan menghentikan proses hukum.
Apalagi Febby juga mengetahui bahwa Herman bukanlah politikus yang tak punya kekuatan. Anggota DPR RI dari dapil NTT ini pernah mendamprat mantan Kasubdit Narkoba Polda NTT, AKBP Albert Neno pada 25 Desember 2015. Saat itu, Herman memprotes tindakan anak buah Albert yang menutup usaha miliknya yang juga menjual minuman keras. Herman bahkan menantang Albert menemuinya dengan membawa senjata. Namun, Herman saat itu mengelak dengan mengatakan bahwa stafnya lah yang menelpon Albert.
“Anggota DPR bisa saja ada intervensi sana-sini, saya juga curiga dia Komisi III yang kenal polisi dan TNI. Pasti ada kedekatan hubungan baik dengan institusi. Kami berharap polisi bisa memproses sampai akhir,” tegas Febby.
Seharusnya, menurut Febby, dengan adanya kasus ini, polisi bisa membuktikan profesionalitasnya dengan penindakan hukum tanpa membeda-bedakan. Meski adanya aturan UU MD3, Febby tetap merasa Polri perlu segera memeriksa Herman karena kasus penganiayaan merupakan pidana yang serius.
“Anggota DPR baru boleh diperiksa oleh polisi setelah mendapat izin dari presiden, berarti kita memberikan satu imunitas pada satu anggota dewan pada tindakan semena-mena yang notabene susah dijangkau oleh hukum. Di mana letak kesetaraan manusia di sini?” tuturnya. “Saya rasa enggak layak juga kalau nanti presiden melindungi ini karena akan jadi blunder.”
Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir, menilai polisi tidak perlu gentar. Menurutnya, tidak perlu ada izin presiden apabila anggota DPR berhadapan dengan hukum pidana. Hal itu masuk dalam ranah pribadi dan bukan ranah anggota dewan untuk menggunakan hak imunitas ataupun berlindung di balik UU MD3.
“Melanggar hukum, ya melanggar hukum. Masak dia bunuh orang, masa dia harus dipanggil dengan meminta izin dulu? Karena dia pribadi berhadapan dengan hukum karena dia melanggar hukum. Sesungguhnya tidak perlu izin presiden,” kata dia.
Masalahnya, apabila harus mendapat izin terlebih dahulu, Mudzakkir memperkirakan bisa terjadi diskriminasi antara anggota DPR yang berada dalam partai pendukung pemerintah dan sebaliknya. Padahal, status hukum seharusnya equality before the law.
“Kelompok-kelompok pendukung presiden enggak diizinin nanti, kelompok bukan kelompok presiden diizinkan. Ini gimana?” katanya. “Besok lagi ada anggota DPR yang ngeroyok orang terus enggak diizinkan diperiksa juga gimana nasibnya?”.
Menanggapi laporan tersebut, Herman Hery hanya menjawab singkat. “Cek yang benar dulu, cek ke polres dulu, jangan menuduh orang tanpa alat bukti, oke?” kata Herman saat dihubungi Tirto, pada Kamis malam (21/6/2018).
Sementara itu, Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengaku akan mempelajari kasus pemukulan yang diduga dilakukan Herman. “Nanti saya pelajari dulu masalahnya seperti apa karena saya baru dengar,” kata Basarah usai menghadiri kampanye akbar cagub dan cawagub Jatim, seperti dikutip Antara.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz