Menuju konten utama

Cara Minta Maaf Sekaligus Cuci Tangan Para Politikus

Bagaimana cara politikus meminta maaf ketika mereka terbukti melakukan kesalahan?

Cara Minta Maaf Sekaligus Cuci Tangan Para Politikus
Ilustrasi politikus meminta maaf. iStockphoto/GettyImages

tirto.id - Ada sebuah lelucon klasik mengenai watak pembohong yang menjadi stereotip para politikus.

Suatu hari, sebuah bus yang tengah mengangkut para politikus mengalami kecelakaan hingga terperosok ke dalam area persawahan. Mengetahui hal tersebut, si pemilik sawah pun segera bergegas mengecek keadaan. Tak lama berselang, ia menggali lubang besar dan memutuskan untuk mengubur seluruh politikus di dalam bus itu.

Beberapa hari setelahnya, aparat setempat yang melihat bangkai bus di area tersebut lalu mendatangi si pemilik sawah. Ia bertanya:

“Memangnya mereka semua (sudah pasti) tewas?”

“Yah, beberapa orang memang bilang masih hidup. Tapi, Anda tahu lah, politikus suka berbohong.”

Ada banyak guyonan satire yang menyentil kegemaran berbohong para politikus. Apa boleh bikin, selama ini mereka memang kadung dianggap lekat dengan watak tipu-tipu. Seorang satiris legendaris dari Amerika, H.L Mencken, pernah melontarkan sindiran yang genial terkait watak politikus ini:

“Jika seorang politikus menemukan seorang kanibal dalam konstituennya, ia akan menjanjikan (daging) misionaris untuk santapan mereka.”

Namun yang menyebalkan dari politikus bukan sekadar kebiasaan mereka yang gemar berbohong, melainkan juga dari bagaimana cara mereka meminta maaf usai terbongkarnya kebohongan tersebut. Ada beberapa contoh yang memperlihatkan bagaimana buruknya cara politikus dalam meminta maaf.

Salah satunya seperti yang pernah dilakukan oleh senator Amerika di negara bagian Louisiana, David Vitter. Usai terbongkarnya skandal Vitter dengan bintang porno Stormy Daniels, senator dari Partai Republik yang bertugas sepanjang periode 2005-2017 tersebut kemudian menyatakan maaf yang, bagi banyak orang, hanyalah basa-basi belaka.

“Saya menghaturkan permintaan maaf jika telah mengecewakan banyak pihak,” demikian ucap Vitter.

Baca juga:Stormy Daniels: Anunya Donald Trump Seperti Jamur Payung

Harry Shearer, seorang satiris Amerika dan juga penyiar radio, memiliki istilah tersendiri untuk menyindir perilaku para politikus yang kerap meminta maaf dengan cara pengandaian sebagaimana dilakukan Vitter. Ia menyebutnya: “Ifpology”.

Fauxpology dan Seni Meminta Maaf Ala Politikus

Meminta maaf adalah cara terbaik untuk mengembalikan keretakan sebuah relasi. Hal ini tentunya juga berlaku bagi politikus. Permohonan maaf yang jernih dapat meminimalisir efek kekecewaan para pemilihnya. Namun, pada kenyataannya, amat jarang politikus meminta maaf dengan sungguh-sungguh.

David Litt, dalam opininya di Daily Beast yang berjudul "Why Politicians Don’t Just Say, ‘Yes, I F*cked Up’", secara sarkastis menyebut ada beberapa alasan kenapa para politikus enggan meminta maaf. Alasan utamanya: karena mereka (akan) sering berbuat salah.

Seorang politikus (Litt menggunakan istilah “elected officials”) akan kerap berhadapan dengan situasi yang menekan mereka untuk mengambil keputusan sulit. Repotnya, keputusan yang telah mereka pilih itu memiliki peluang besar untuk ditafsirkan berbeda sesuai dengan situasi politik. Itu artinya, elektabilitas seorang politikus acap dipertaruhkan dalam tiap pengambilan keputusan.

Melalui logika tersebut, maka menjadi wajar bagi politikus jika mereka amat jarang meminta maaf, terlebih mengakui tiap kesalahan yang mereka perbuat, sekalipun itu memiliki risiko hukum tinggi. Sebaliknya, mereka justru lebih sibuk mencari cara agar publik melupakan kesalahan mereka atau menunjukkan bahwa kesalahan tersebut bukanlah akibat dari sikap yang mereka tempuh.

“Para politikus telah terbiasa melatih naluri mereka untuk menghindari rasa bersalah. Dalam sebuah lingkungan kerja dengan tekanan tinggi, Anda tentu tidak ingin berada di kubu yang terbukti berbuat salah, apalagi menjadi satu-satunya orang yang disalahkan,” tulis Litt.

Baca Juga:Para Pendusta Berkacamata Kuda

Pada prinsipnya, sebagaimana tertuang dalam riset "Cross Cultural Speech Acts Realization Project" yang dibuat Tel Aviv University, permintaan maaf (seorang politikus) sebaiknya dilakukan dengan efektif, padat, jelas, tanpa alasan, serta menunjukkan sikap untuk menerima konsekuensi atas perbuatannya. Hal ini amat penting dilakukan meski pengucapannya tidak mencakup semua kalangan.

Dalam esainya yang berjudul "What an Apology Must Do", Aaron Lazare, seorang profesor psikiatri di University of Massachusetts Medical School, menjelaskan bahwa permintaan maaf yang efektif harus mencakup setidaknya salah satu dari empat poin berikut ini:

  • Pengakuan yang valid atas suatu kesalahan, siapa pelakunya, siapa korbannya. Pelaku harus mengakuinya dengan jelas.
  • Penjelasan yang efektif, apakah kesalahan tersebut tidak disengaja atau memang dilakukan atas alasan personal. Pelaku wajib memastikan ia tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
  • Ekspresi penyesalan, rasa malu, dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kesalahannya telah mengakibatkan penderitaan bagi korban.
  • Memberikan ganti rugi, baik dalam kompensasi berupa barang atau secara simbolis yang menegaskan kesalahan pelaku.

Salah satu contoh permintaan maaf efektif yang konkret pernah dilakukan oleh mantan Ketua DPR Amerika periode 1995-1999, Newt Gingrich. Saat dituduh melakukan pelanggaran etika dan dihukum denda sebesar 300 ribu dolar, Gingrich segera meminta maaf dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Hal yang sama juga ditunjukkan Barack Obama usai terbukti bersalah karena menuduh Hillary Clinton mendapat kucuran dana dari grup pebisnis India-Amerika saat masa kampanyePilpres AS 2007 berlangsung. Kasus ini kemudian dikenal dengan sebutan: D-Punjab Memo.

“Kampanye kami membuat kesalahan. Meskipun saya tidak mengetahui isi memo tersebut sebelum didistribusikan, saya menganggap ini kesalahan dari keseluruhan kampanye. Saya bertanggung jawab atas kesalahan tersebut. Kami telah mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah kesalahan seperti ini terjadi lagi," kata Obama.

Sementara itu, jika ingin melihat watak politikus arogan yang amat jarang meminta maaf kendati begitu sering (dianggap) melakukan kesalahan, tiada orang yang tepat untuk dirujuk selain Donald Trump.

Infografik Tips minta maaf buat para politikus

Ada banyak sisi kontroversial Trump yang hadir lewat sikap maupun ucapan-ucapannya. Namun orang ini, mengutip istilah David Wolpe, seorang Rabbi dari Max Webb of Sinai Temple di Los Angeles yang menulis sebuah esai di TIME yang berjudul "The Power of Politicians Who Say 'I'm Sorry'", sepertinya memang “karakter yang sulit mengucapkan kata maaf”.

Di dalam esainya tersebut, Wolpe juga menduga bahwa dalam kehidupan politik sepertinya memang terdapat semacam budaya enggan meminta maaf dan mengakui kesalahan. “Epidemic of unapologetics”, demikian istilah yang digunakan Wolpe. Kalimat “Saya minta maaf jika ada yang tersinggung”, bagi Wolpe, sesungguhnya adalah cara lain untuk mengatakan, “Saya minta maaf karena Anda sangat sensitif”.

Ketika para politikus meminta maaf di muka publik, mereka akan berusaha mati-matian menjaga martabatnya dengan mengaburkan kesalahan yang telah diperbuat. Dengan kata lain, mereka hanya meminta maaf sekadarnya tapi menolak bertanggung jawab. Ada istilah menarik untuk menyebut hal itu: “Fauxpology”.

Mengatakan "saya minta maaf telah membuat Anda kesal” kepada seseorang yang tersinggung oleh sebuah pernyataan adalah bentuk dari “fauxpology”, atau istilah linguistiknya: “Non-apology apology”.

Permintaan maaf tersebut pada dasarnya tidak mengakui adanya kesalahan dan secara tersirat justru menunjukkan pihak yang tersinggunglah yang terlampau sensitif. Bentuk lain dari “fauxpology” adalah dengan tidak meminta maaf secara langsung kepada pihak yang dirugikan, melainkan ditujukan secara umum, seperti kalimat "kepada siapa pun yang telah tersinggung".

Baca Juga:Asal-Usul Isu Dugaan Penganiayaan Ratna Sarumpaet

Dalam dunia politik Amerika, ada sebuah frase yang lazim digunakan para pejabat di Washington saban mengucapkan permintaan maaf: “Mistakes Were Made”. Frase ini kurang lebih dapat diartikan sebagai suatu sikap retoris dalam mengakui kesalahan, namun di saat bersamaan tidak bersedia bertanggung jawab atau menunjukkan siapa pelaku yang bersalah.

Oleh John M. Broder dalam esainya di New York Times, frase tersebut disindir sebagai "classic Washington linguistic construct". Sementara William Safire, salah seorang penulis kenamaan Amerika, menyebut bahwa frase itu merupakan “cara seorang pejabat mengakui kesalahan sambil menghindar untuk bertanggung jawab terhadap kesalahannya.”

Sepertinya dunia politik Indonesia juga cukup identik dengan kebiasaan tersebut. Terutama ketika belum lama ini segerombolan politikus berapi-api membela seorang aktris yang dianggap telah dikeroyok. Kemudian, ketika kabar pengeroyokan itu bohong belaka, mereka berkata: kebaikan kami adalah kelemahan kami. Sebuah upaya meminta maaf sembari tak mau mengaku salah.

Baca juga artikel terkait POLITIKUS atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Politik
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono