tirto.id - Laju inflasi merupakan kondisi yang perlu diperhatikan suatu negara. Umumnya, laju inflasi dihitung untuk berbagai kepentingan, salah satunya membuat kebijakan moneter.
Menghitung inflasi biasanya dilakukan secara rutin, bulanan dan tahunan. Cara menghitung laju inflasi bulanan dan tahunan sama-sama melibatkan data indeks harga konsumen (IHK) masa lalu dan masa sekarang.
Tujuannya tentu untuk menemukan adanya kenaikan atau penurunan inflasi suatu negara dari tahun ke tahun. Baik cara menghitung laju inflasi tahunan maupun bulanan sama, yaitu menggunakan rumus inflasi.
Bedanya, cara menghitung tingkat inflasi bulanan menggunakan data-data IHK yang dihimpun dalam waktu satu bulan. Sedangkan, laju inflasi tahunan menggunakan data IHK yang dihimpun selama satu tahun.
Cara Menghitung Laju Inflasi
Menurut Basuki Darsono dalam Ekonomi (2013), laju inflasi adalah kenaikan atau penurunan inflasi dari periode ke periode atau dari tahun ke tahun. Inflasi sendiri merupakan sebuah kondisi ketika tingkat harga secara umum cenderung naik.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, cara menghitung laju inflasi dilakukan dengan melibatkan data IHK. Menghitung inflasi denganmenggunakan IHK mulai dilakukan para ekonom sejak berkembangnya teori ekspektasi rasional (rational expectation).
Teori ini banyak digunakan dalam ekonomi makro untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi terbaik yang tersedia di pasar. Rumus laju inflasi dengan pendekatan IHK sendiri dinyatakan dalam formula berikut:
Laju inflasi = [(IHK periode II-IHK periode lalu)/IHK periode lalu] x 100%
Contoh cara menghitung tingkat inflasi bulanan bisa melalui gambaran berikut:
Indeks harga-harga di Indonesia pada bulan Juni 2023 adalah 115 persen dan inflasi pada bulan Juli 2023 adalah 110 persen. Maka berapakah laju inflasi di Indonesia selama satu bulan terakhir?
- Laju inflasi = [(115 - 110) / 110] x 100%
- Laju inflasi = ( 5 / 110) x 100%
- Laju inflasi = 4,54%
Indeks harga-harga di Indonesia selama 2022 adalah 66 persen. Sementara itu, pada tahun 2021 indeks harga-harga adalah 57 persen. Berapakah laju inflasi di Indonesia selama satu tahun terakhir?
- Laju inflasi = [(66 - 57) / 57] x 100%
- Laju inflasi = ( 9 / 57) x 100%
- Laju inflasi = 15,78%
Apa Saja Contoh dari Inflasi?
Kondisi inflasi adalah hal yang umum dialami setiap negara seiring berjalannya waktu. Indonesia diketahui juga sudah beberapa kali mengalami inflasi sejak Kemerdekaan.
Berikut ini contoh-contoh inflasi yang pernah terjadi di Indonesia:
1. Inflasi pada awal masa Kemerdekaan
Indonesia tercatat pernah mengalami inflasi pada awal masa Kemerdekaan. Hal ini terjadi usai kebutuhan masyarakat meningkat hingga 100 persen setelah Kemerdekaan.Menurut Nelly Ervina, dkk., dalam Variabel Makroekonomi yang Memengaruhi Pergerakan IHSG di Masa Pandemi COVID-19 (2023) kondisi ini terjadi karena uang yang beredar di masyarakat tidak terkendali.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pengaruh kolonial Belanda dan Jepang masih tersisa. Akibatnya, saat itu ada tiga jenis mata uang yang beredar di Indonesia.
Ketiganya adalah uang kertas De Javasche Bank peninggalan Belanda, uang kertas dan logam pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang buatan Jepang, Dai Nippon Emisi 1943. Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, saat itu belum punya mata uang sendiri.
Kondisi ini menyebabkan Pemerintah RI terpaksa belum bisa menyebut bahwa mata uang Jepang dan Belanda tak lagi berlaku.
Tak hanya faktor mata uang yang beredar di masyarakat, inflasi di awal masa Kemerdekaan terjadi karena kondisi keamanan negara.
Beberapa tahun setelah Kemerdekaan, Indonesia masih dihadapkan dengan serangkaian agresi militer yang mengganggu roda perekonomian negara.
2. Inflasi pada masa Orde Lama
Indonesia kembali dihadapkan dengan inflasi jelang berakhirnya masa Orde Lama. Dikutip dari Indonesiabaik.id, inflasi pada masa Orde Lama diidentifikasi sebagai hiperinflasi.Kondisi ini menyebabkan uang rupiah Indonesia jatuh di mata dolar AS. Awalnya, 1 dolar AS adalah Rp11,4. Namun, setelah terjadi inflasi, nilai 1 dolar AS meningkat empat kali lipat menjadi Rp45.
Inflasi pada masa Orde Lama dipicu oleh kondisi politik ekonomi yang tidak stabil. Hal ini membuat kepercayaan para pemegang uang terus menurun.
Akibatnya jumlah uang yang beredar di masyarakat semakin banyak diiringi dengan kenaikan harga-harga. Kenaikan nilai tukar dolar yang semakin tidak terkendali menyebabkan Pemerintah RI mulai membuat beberapa kebijakan.
Beberapa kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi salah satunya adalah kebijakan Gunting Syafruddin atau sanering.
Kebijakan yang dicetuskan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara itu dilakukan dengan memotong nilai uang dengan cara memotong fisik uang kertas menjadi dua bagian.
Selain kebijakan sanering, Pemerintah RI juga melakukan devaluasi, redenominasi, serta membekukan giro dan deposito untuk mencegah pencairan.
3. Inflasi pada masa Reformasi
Indonesia juga sempat mengalami inflasi tinggi pada masa reformasi 1998. Berdasarkan catatan dari Bank Indonesia (BI) laju inflasi pada September 1998 mencapai 74,47 persen.Bagi negara yang baru merdeka seperti Indonesia kondisi tersebut sangat membebani ekonomi negara. Penyebab krisis moneter 1998 dipicu oleh rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Hal ini kemudian menyebabkan harga-harga aset tergerus, utang bisnis meningkat tajam, dan bank sulit kekurangan uang untuk melikuidasi dana.
Pada masa ini banyak bisnis yang bangkrut sehingga perekonomian Indonesia menjadi terganggu. Angka pengangguran tinggi dan daya beli masyarakat menurun. Akibatnya terjadi sebuah peristiwa yang kini dikenal sebagai krisis 1998.
3. Inflasi pada masa Pandemi COVID-19
Contoh inflasi lainnya juga terjadi baru-baru ini. Pada 2020 Indonesia dan berbagai negara di dunia terdampak Pandemi COVID-19.
Kondisi ini menyebabkan Indonesia mengalami tingkat inflasi sebesar 5,8 persen. Hal ini dipicu oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menanggulangi penyebaran COVID-19 yang semakin tidak terkendali.
Masih menurut Ervina, dkk., kebijakan tersebut menyebabkan lockdown di berbagai sektor industri, khususnya sektor makanan, minuman, dan tembakau.
Tak hanya itu, sektor perawatan pribadi dan jasa kesehatan juga meningkat tajam seiring dengan menurunnya kondisi kesehatan di masyarakat.
Editor: Dhita Koesno