tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh bangga atas capaian dan keberhasilannya dalam menekan angka pengangguran di Tanah Air dalam periode pertamanya (2014-2019). Selama hampir lima tahun pertama berkuasa, data di atas kertas yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terjadinya pola penurunan meskipun sebenarnya tidak terlalu signifikan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 [PDF], Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla saat itu memasang target angka pengangguran di akhir periode pertama turun ke level 4 - 5 persen. Harus dilihat secara objektif, target di RPJMN itu setidaknya mendekati sasaran target yang mana saat periode pertama Jokowi berakhir, pengangguran berada di level 5,23 persen.
Dalam satu tahun pertama Jokowi-JK tingkat pengangguran Terbuka (TPT) sempat naik dari 5,81 persen di Februari 2015 menjadi 6,18 persen di Agustus 2015 atau sekitar 7,56 juta orang. Namun, setelahnya tren pengangguran menurun di tahun-tahun berikutnya. Pada 2016 TPT tercatat sebesar 5,16 persen, 2017 5,5 persen, 2018, 5,3 persen, dan 2019 5,23 persen.
Kendati turun, perlu digarisbawahi juga bahwa TPT diwariskan oleh presiden sebelumnya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu sebesar 5,94 persen pada Agustus 2014. Jokowi-JK sendiri dilantik periode pertama pada 20 Oktober 2014. Maka tingkat pengangguran di episode pertama Jokowi bisa dibilang sebenarnya relatif konstan atau berada pada kisaran rata-rata 5 persen.
Pada periode keduanya (2019-2024), Jokowi yang menggandeng Ma'ruf Amin berhasil mencapai titik keberhasilan menurunkan angka pengangguran menjadi 4,82 persen di Februari 2024. Namun perlu dilihat juga dalam perjalanannya angka pengangguran di periode kedua ini terbilang tidak mudah karena mengalami gejolak pandemi COVID-19.
Menurut data BPS, angka TPT terbesar dalam kurun waktu lima tahun terakhir tercatat pada Agustus 2020, bertepatan dengan awal masa pandemi COVID-19. Pada saat itu, jumlah TPT menyentuh angka 7,07 persen dari total angkatan kerja. Angka ini naik sekitar 1,79 persen poin dari tahun sebelumnya.
Pada 2020, BPS juga mencatat bahwa terdapat 29,12 juta orang (14,28 persen) penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19. Dari total 29,12 juta orang tersebut, tercatat ada yang pengangguran karena COVID-19 (2,56 juta orang), Bukan Angkatan Kerja karena COVID-19 (0,76 juta orang), tidak bekerja karena COVID-19 (1,77 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 (24,03 juta orang).
Meski lonjakan mencapai 7,07 persen di 2020, setahun berikutnya atau pada 2021 Jokowi-Ma'ruf berhasil menekan angka pengangguran menjadi 6,49 persen. Pola penurunan tersus terjadi pada 2022 sebesar 5,86, 2203 5,32 persen, dan hingga per Februari 2024 sudah di level 4,82 persen. Kendati lagi-lagi lompatan penurunannya tidak signifikan.
Hanya Capaian Semu
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat tingkat pengangguran selama dua episode kepemimpinan Jokowi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Pada periode pertama misalnya, pemerintah Jokowi menargetkan tingkat pengangguran di akhir periode kepemimpinan di 2019 berada di kisaran angka 5 persen. Namun, dalam kenyataannya realisasi angka pengangguran itu masih berada di atas 5 persen.
Kondisi yang relatif mirip juga terjadi di periode kedua. Di mana target pengangguran yang ditargetkan lebih rendah yakni 3,6 - 4,3 persen, tampaknya juga belum mampu dipenuhi. Sehingga penurunan-penurunan data di atas kertas di atas terbilang menjadi capaian semu di samping banyak persoalan dan pekerjaan rumah dalam menurunkan pengangguran.
“Memang pekerjaan rumah penurunan tingkat pengangguran relatif masih menjadi tantangan terutama dalam konteks mencapai target yang dicanangkan sebelumnya,” kata Yusuf kepada Tirto, Jumat (9/8/2024).
Yusuf melanjutkan, jika mengeluarkan faktor pandemi COVID-19, pekerjaan rumah selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi masih berada pada upaya memperbesar serapan angkatan kerja yang setiap tahun itu mengalami pertambahan. Kondisi angkatan kerja yang mengalami penambahan ini, tidak pernah diikuti dengan bertambahnya lapangan kerja yang tersedia, terutama yang bisa atau sesuai karakteristik angkatan kerja secara umum.
"Misalnya kita tahu bahwa angkatan kerja kita saat ini didominasi oleh mereka yang lulus dengan pendidikan SMA ke bawah sayangnya tidak banyak kemudian lapangan kerja yang tercipta di sana," jelas Yusuf.
Tentu jika melihat dari karakteristik saat ini industri manufaktur merupakan salah satu sektor lapangan usaha yang sebenarnya relatif cocok dengan kondisi angkatan kerja yang dimaksud di atas. Hanya saja kinerja dari induksi manufaktur dalam 10 tahun terakhir ini kondisinya tidak begitu baik, di mana pertumbuhan relatif mengalami perlambatan tiap tahunnya.
"Kemudian kalau kita perhatikan realisasi investasi untuk industri ini terutama untuk beberapa subsektor industri ini juga tidak begitu menggembirakan kabarnya," jelas dia.
Alih-alih diharapkan untuk bisa menyerap angkatan kerja, nyatanya penurunan kinerja dan daya saing dari industri manufaktur justru memperbesar angka pengangguran. Karena pada gilirannya ini berdampak pada pemutusan hubungan kerja.
Data Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat total pekerja yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada kurun waktu Januari hingga Juni 2024 mencapai 32.064 pekerja. Pemutusan kerja paling banyak tercatat di DKI Jakarta dengan jumlah 7.469 pekerja. Diikuti Banten dengan total 6.135 pekerja, Jawa Barat sebanyak 5.155 pekerja, Jawa Tengah dengan 4.275 pekerja, dan sisanya tersebar di daerah lainnya.
"Setidaknya dalam satu tahun terakhir ini relatif masif dilakukan dan saya kira aalah satu alasan kemudian kenapa PHK terjadi karena kondisi makro ekonomi yang tidak kemudian bisa memberikan efek yang sama untuk setiap sektor industri dan masalah daya saing dari sektor industri itu sendiri," jelas dia.
Di saat bersamaan, lanjut Yusuf, harus paham bahwa angkatan kerja yang didominasi oleh lulusan usia muda atau seringkali juga disebut dengan bonus demografi masih terjadi setidaknya dalam beberapa periode tahun mendatang. Apabila dengan asumsi karakteristik angkatan kerja masih sama, maka industri manufaktur mampu menjadi salah satu solusi dalam upaya penyerapan angkatan kerja menjadi masalah di 10 tahun kepemimpinan Jokowi.
Pengangguran Usia Muda Masih Tinggi
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pengangguran memang masih jadi pekerjaan rumah utama karena tidak sekedar melihat tingkat pengangguran terbuka, tapi pengangguran usia muda yang masih tinggi. Karena dibanding negara asean lain tingkat pengangguran usia muda Indonesia sebesar 13,9 persen pada 2023, sementara Vietnam 6,2 persen dan Thailand 5,3 persen.
"Masalah pengangguran usia muda ada kaitannya dengan deindustrialisasi prematur di mana industri makin kecil porsinya terhadap PDB," jelas dia kepada Tirto, Sabtu (10/8/2024).
Beberapa persoalan di atas terjadi karena banyak pabrik PHK massal di industri padat karya sementara investasi baru misalnya hilirisasi nikel bersifat padat modal. Faktor lain adalah sektor pertanian makin tidak menarik bagi anak muda karena harga jual produk pertanian yang tidak berbanding dengan biaya produksi.
"Masalah lain adalah masih terdapat miss match antara keahlian lulusan sekolah vokasi dengan lapangan kerja yang tersedia. Akhirnya tingkat pengangguran lulusan sekolah vokasi masih cukup tinggi secara persentase," katanya.
Era jokowi juga ditandai dengan pengembangan digitalisasi yang tidak terarah. Sehingga makin besar sektor informal dengan upah yang tidak pasti serta minimnya jaminan sosial dari platform.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang