Menuju konten utama
Seri 78 Tahun Kemerdekaan

Napak Tilas Polemik SBY-Jokowi: Pengangguran, Utang, Nilai Tukar

Era kepemimpinan SBY penuh dengan tantangan pengangguran dan inflasi. Sementara itu Jokowi harus berjibaku menyelamatkan rupiah dan mendongkrak PDB.

Napak Tilas Polemik SBY-Jokowi: Pengangguran, Utang, Nilai Tukar
Header Header linimasa ekonomi Era SBY & Jokowi. tirto.id/Quita

tirto.id - Era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo kerap kali disandingkan karena keduanya merupakan Presiden Indonesia yang terpilih secara demokratis dengan skema pemilihan umum.

Terlebih lagi kedua presiden juga terpilih dua kali berturut-turut dan memiliki total masa jabatan 10 tahun. Meskipun demikian, performa dan transformasi ekonomi yang dicapai keduanya cukup berbeda. Tentu saja, beda zaman beda tantangannya.

SBY: Gagal Jaga Inflasi tapi Sukses di Devisa

Pada putaran kedua Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI 2004, Megawati Soekarnoputri kalah suara dari Susilo Bambang Yudhoyono yang tak lain mantan menterinya dulu. SBY – sapaan populer Susilo – merupakan presiden pertama yang terpilih melalui mekanisme pemilihan langsung.

Menurut Abdul Hakim dalam penelitian berjudul Perbandingan Perekonomian dari Masa Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (1945-2009) (2012), tingkat pengangguran dan distribusi pendapatan adalah satu di antara sisi kelemahan perekonomian RI pada periode pertama SBY menjabat presiden.

Isi penelitian itu terbukti selaras dengan data Statista. Pada periode pertama menjabat (2004-2009) tingkat pengangguran rerata lebih dari 7%, bahkan sempat menyentuh 8,06% tahun 2007. Namun, menjelang periode pemerintahan SBY berakhir, yakni pada 2009 level pengangguran berhasil menyentuh 6,11%.

Meski angkanya berbeda, Badan Pusat Statistik (BPS) juga menampilkan fakta serupa bahkan nilainya tercatat lebih tinggi. Tingkat pengangguran terbuka rata-rata pada periode pertama SBY ada di 9,7%. Kemudian menyentuh nilai tertinggi pada Agustus 2005 yakni 11,24%.

Setelah terpilih lagi sebagai presiden untuk periode 2009-2014, angka pengangguran di zaman SBY berfluktuasi masih dalam rentang yang cukup tinggi, yakni 5-7%. Merujuk data BPS, tingkat pengangguran turun menjadi 5,94% di penghujung masa jabatan SBY pada 2014. Tak jauh berbeda, periode ini juga menghadapi bermacam tantangan.

Satu di antaranya mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM). Selama SBY menjabat presiden, perekonomian RI diketahui sering terombang-ambing dalam fluktuasi harga minyak dunia. Sepuluh tahun berkuasa, harga BBM tercatat empat kali naik, yakni tiga kali pada periode pertama dan satu kali pada periode kedua.

Penarikan subsidi BBM kala itu memengaruhi banyak hal. Kenaikan harga tak pelak menjadi tekanan tersendiri terhadap sisi anggaran, biang kerok inflasi hingga menambah kemiskinan. Seperti yang dijelaskan Mohamad Ikhsan dkk dalam Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 Terhadap Kemiskinan (2005).

World Bank mencatat grafik rata-rata tekanan inflasi di zaman SBY naik-turun dari yang terendah 4,3% pada 2012 dan yang tertinggi 13,1% pada 2006. Diwarisi inflasi tahunan setinggi 6,1% oleh Megawati pada 2004, SBY berhasil menekannya jadi 4,4% pada 2009. Saat periode kedua SBY berakhir pada 2014, inflasi naik lagi jadi 6,4%.

Selain inflasi, kenaikan harga BBM juga berdampak terhadap kemiskinan di era SBY. Jika tekanan inflasi dibarengi dengan dampak psikologisnya, maka peneliti memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia akan bertambah 0,43% sehingga keseluruhan menjadi 16,68%. Perhitungan ini pun terbukti dari catatan BPS.

Dua tahun setelah kenaikan BBM pada 2005, angka kemiskinan mengalami peningkatan. Menurut data BPS, total penduduk miskin bertambah 4,2 juta orang pada 2006, sehingga total menjadi 39,30 juta jiwa.

Pada periode pertama SBY, penduduk miskin berkurang 3,5 juta orang. Yaitu dari 36,1 juta atau 16,66% pada 2004 menjadi 32,53 juta atau 14,15% pada 2009. Tren ini berlanjut periode kedua. Pada September 2014, angkanya menjadi 27,73 juta atau 10,96%. Sepuluh tahun di bawah rezim SBY, jumlah orang miskin terhitung berkurang 8,4 juta jiwa)

Perekonomian RI zaman SBY juga tak lepas dari masalah mata uang. Pada 2004, World Bank mencatat rata-rata nilai tukar rupiah seharga Rp8.938 per USD dan periode pertama ditutup dengan Rp10.389 per USD.

Memasuki periode kedua, SBY membawa rata-rata nilai tukar rupiah kembali menguat pada 2010 dan berlanjut hingga 2011. Akan tetapi, tren positif ternyata hanya berlangsung sesaat. Setelah itu, nilai mata uang kita terus-terusan anjlok. Nilainya melemah drastis hingga ditutup dengan Rp11.865 per USD pada 2014.

Begitu pula utang luar negeri. Di tangan SBY, jumlahnya konsisten meningkat. Berdasarkan data World Bank, total utang warisan era Megawati tercatat USD138,04 miliar pada 2004. Setelah SBY berkuasa, nilainya meroket lebih dari dua kali lipat ke USD292,57 miliar pada 2014.

Dari segi pendapatan, pertumbuhan PDB era SBY relatif lebih baik ketimbang Megawati maupun Gus Dur. Merujuk data World Bank, angkanya di rentang 4,6-6,3%. Diawali 5% pada 2004, SBY menutup periode pertama dengan 4,6% pada 2009. Di akhir periode kedua, pertumbuhannya tercatat kembali ke level 5%.

Menurut Prasetyo Legowo dalam penelitian Dua Periode Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Sebagai Presiden (2021), pertumbuhan ekonomi yang melambat pada 2009 terjadi akibat pelemahan rupiah buntut krisis global 2008. Saat itu, perekonomian dunia terguncang karena hipotek subprime dan runtuhnya Lehman Brothers di pasar AS.

Dalam penelitian berjudul Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono: Faktor Rakyat Indonesia Memilih Kembali Pada Periode Ke-2 (2023), Eyda Kurnia dan sejawat menganggap pertumbuhan PDB dan peningkatan cadangan devisa sebagai satu di antara prestasi SBY selama 10 tahun memimpin Indonesia.

Hal itu terlihat dari data World Bank. Pada 2004, cadangan devisa RI USD36,31 miliar atau setara Rp552 triliun (kurs Rp15.214 per USD). Walau sempat turun pada 2005, nilainya meningkat lagi hingga tembus USD112,8 miliar pada 2012. Setelah 10 tahun menjabat, cadangan devisa warisan SBY menjadi USD111,86 miliar.

Jokowi: PDB Stagnan tapi Investasi Melejit

Setelah pemerintahan SBY berakhir, Joko Widodo (Jokowi) muncul sebagai pemenang Pemilihan Umum Presiden 2014. Saat ia mulai memimpin, pertumbuhan PDB Indonesia sempat melemah jadi 4,9% pada 2015. Lima tahun menjabat, titik pertumbuhan tertinggi selama periode pertamanya terjadi pada 2018 lalu, yakni 5,2%.

Pada 2019, Jokowi kembali terpilih sebagai presiden. Pada masa-masa awal periodenya kali ini, perekonomian RI langsung mendapat cobaan dahsyat dari Coronavirus Disease 19. Tak jauh berbeda dengan banyak negara lainnya, pandemi meluluhlantakkan PDB Indonesia hingga kontraksi -2,1% pada 2020.

Total utang luar negeri juga meningkat tajam di zaman Jokowi, di mana menurut laporan Bank Indonesia nilainya menyentuh USD396,84 miliar pada akhir 2022. Sementara itu, total utang pemerintah pusat telah setara 44,4% dari PDB Indonesia pada 2021. Persentasenya meningkat signifikan dari 2014 yang tercatat masih 27,4%.

Setelah anjlok di tangan SBY menjadi rata-rata Rp11.865 per USD pada 2014, nasib rupiah kian malang di tangan Jokowi. Meskipun sempat melandai kurun 2016-2017, rupiah hancur lagi dan pada tahun 2023 anteng di kisaran Rp15.000 per USD.

Infografik Ekonomi SBY dan Jokowi

Infografik Ekonomi SBY & Jokowi. tirto.id/Quita

Meskipun demikian, di bawah naungan Jokowi, tingkat inflasi tahunan relatif lebih rendah ketimbang zaman SBY. Dilansir dari Statista, pada 2014, angkanya tercatat 6,4%. Setahun Jokowi menjabat, tekanan turun menjadi 6,36%. Tren ini terus berlanjut hingga pada 2021 tingkat inflasi bise ditekan ke lebel 1,56%.

Akan tetapi, situasi berubah drastis pada 2022. Tahun lalu, inflasi mengamuk hingga mencapai 4,21%. Meski demikian, tekananya relatif masih di bawah rata-rata era SBY.

Seperti yang dialami presiden-presiden sebelumnya, kemiskinan masih persoalan. Setahun menjabat, jumlah penduduk miskin di era Jokowi bertambah hampir satu juta orang menjadi 28,51 juta pada September 2015.

Namun data terakhir menunjukkan penurunan, di mana per September 2022 jumlahnya 26,36 juta pada September 2022. Selama delapan tahun berkuasa, Jokowi membuat penduduk miskin berkurang 1,3 juta orang.

Di era Jokowi, tingkat pengangguran relatif konstan berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka tercatat 5,94% pada Agustus 2014. Saat periode pertama Jokowi berakhir, pengangguran mencapai 5,23%. Pada periode keduanya, tidak terjadi penurunan signifikan. Hingga Februari 2023, tingkatnya masih 5,45%.

Indikator ekonomi yang juga paling mencolok di era Jokowi adalah realisasi investasi, terutama investasi asing. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasinya yang sebelumnya hanya USD28,5 miliar pada 2014 atau Rp428 triliun melejit ke USD45,6 miliar pada akhir 2022 atau setara Rp684 triliun.

Perolehan invetasi dalam negeri juga sama gemilangnya. Dari di kisaran Rp 156 triliun di tahun 2014, menjadi Rp553 triliun pada tahun 2022.

Melalui penelitian berjudul Analisis Perbandingan PDB, Konsumsi, Investasi, dan Ekspor Neto di Indonesia pada Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Era Presiden Joko Widodo (2020), Jodi Rizki Kusuma menemukan perbedaan signifikan pada sisi PDB, konsumsi, investasi dan ekspor neto antara Jokowi dan SBY.

Berdasarkan perhitungan atas variabel PDB, konsumsi dan investasi, peneliti menyimpulkan bahwa kondisi perekonomian dalam negeri era Jokowi lebih baik ketimbang SBY. Sedangkan bila diukur dari variabel ekspor neto, perekonomian dalam negeri era SBY justru dianggap lebih bagus dibanding Jokowi.

Baca juga artikel terkait FB POST atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas