Menuju konten utama

Calon Pimpinan Baru Legislatif dan Apa yang Ada di Baliknya

Sejumlah nama mencuat sebagai pimpinan baru legislatif. Ada nama Ahmad Basarah dari PDIP, Muhaimin Iskandar dari PKB, dan Ahmad Muzani dari Gerindra.

Calon Pimpinan Baru Legislatif dan Apa yang Ada di Baliknya
Suasana Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (14/2/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Salah satu amanat utama dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) adalah penambahan pimpinan. DPR akan punya satu pimpinan baru, MPR tiga, dan DPD satu. Ihwal ini diatur dalam pasal 84, pasal 15 dan pasal 260 draf UU MD3 hasil revisi.

Tambahan satu kursi pimpinan DPR akan diberikan kepada PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu 2014. Untuk tiga kursi pimpinan MPR, partai yang akan mendapat jatah adalah PDIP, Gerindra, dan PKB. Sementara pimpinan DPD akan dipilih anggota melalui mekanisme sidang paripurna.

Pimpinan baru akan dilantik setelah revisi UU MD3 berlaku resmi, yaitu ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatanganinya atau lewat dari 30 hari sejak draf revisi disepakati.

Jokowi telah memutuskan tak menandatangani draf revisi UU MD3 karena kaget dengan keberadaan pasal-pasal kontroversial di dalamnya, terutama pasal 73 tentang pemanggilan paksa, pasal 122 huruf K tentang contempt of parliament, dan pasal 245 ayat 1 tentang hak imunitas DPR.

Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan kalau dirinya dapat memahami sikap Jokowi. Namun, ia memastikan penambahan pimpinan dapat tetap dilakukan seiring berlakunya UU MD3, 15 Maret 2018.

Bamsoet mengatakan bahwa fraksi PDIP dapat menentukan sendiri kriteria apa saja yang harus dipenuhi pimpinan baru. Yang jelas, nama tersebut "harus punya kemampuan."

Lantas siapa nama-nama yang bakal mengisi pos baru itu?

Hingga awal Februari lalu, PDIP belum menentukan siapa yang akan ditunjuk. Ketua DPP PDIP, Hendrawan Supratikno, pernah menyatakan baik kursi pimpinan DPR atau MPR masih menunggu keputusan Ketua Umum mereka, Megawati Soekarnoputri. Meski sempat menyebut nama Ahmad Basarah yang menjabat sebagai ketua badan sosialisasi MPR, namun Hendrawan mengatakan "semua kembali ke Ketua Umum."

Fraksi lain juga sudah mengajukan nama. Ketua Fraksi PKB MPR, Jazilul Fawaid, mengatakan kalau partainya akan mengajukan nama Muhaimin Iskandar untuk menjadi pimpinan MPR. Muhaimin adalah Ketua Umum PKB yang sempat menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

"Track record dan pengalaman Cak Imin sangat memenuhi syarat untuk mengemban amanat tersebut," kata Jazilul, Senin (5/3/2018).

Dari Gerindra, nama yang akan diajukan menjadi calon pimpinan MPR adalah Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal partai. Muzani dipilih karena ia dianggap sudah berpengalaman memimpin partainya di DPR.

"InsyaAllah Sekjen Ahmad Muzani yang akan dipilih," kata Wakil Sekjen Gerindra, Andre Rosiade.

Motif Politik

Pengamat dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, berpendapat kalau niat utama perubahan UU MD3 sebenarnya hanya untuk menambah kursi pimpinan di parlemen. Ia curiga tak ada motif penguatan parlemen dari revisi aturan ini.

"Yang kami kritik adalah bagaimana dapat kursi tapi tidak bertujuan memperkuat parlemen. Motifnya cenderung kepada kekuasaan dan transaksional. Ini yang membuat UU MD3 kontroversi, karena menjadi produk dari perjanjian," ujar Lucius kepada Tirto, Minggu (4/3/2018) malam.

Apa yang dikatakan Lucius bisa jadi benar jika melihat bagaimana awal mula aturan ini direvisi. Upaya revisi ini pertama kali digulirkan fraksi PDIP yang menginginkan mekanisme pemilihan Ketua DPR dikembalikan berdasarkan partai pemenang pemilu, bukan melalui voting anggota DPR seperti hasil revisi Pasal 82 UU MD3 pada 2014 lalu. Lewat hasil voting itu PDIP tidak dapat "jatah".

Sementara apa yang dia maksud sebagai "tidak bertujuan memperkuat parlemen" terlihat melalui masa jabatan pimpinan baru yang hanya sampai 2019. Pasca pemilu nanti, jumlah pimpinan DPR, DPD, dan MPR akan kembali seperti semula. Menurut Lucius, sifat tambahan pimpinan yang sementara menunjukkan tak ada keseriusan anggota legislatif menghasilkan regulasi yang berkualitas.

"Kalau aturannya saja berubah-ubah, bagaimana untuk membuat sistem parlemen yang baku?" katanya.

Hal yang sama diungkapkan pengamat politik dari UIN Jakarta, Adi Prayitno. Katanya, penambahan kursi pimpinan hanya sekadar mengakomodasi kepentingan partai. Jabatan baru ini, ujar Adi, hanyalah akal-akalan politisi Senayan untuk terus menambah pundi-pundi kekuasaannya. Sementara di satu sisi kinerjanya selama ini masih jauh dari harapan publik.

"Ini lah rezim politik Senayan yang paling vulgar mempertontonkan syahwat politiknya di legislatif tanpa rasa malu. Padahal kinerja mereka sangat rendah. Target legislasi tak sesuai harapan," katanya, tahun lalu.

Keberatan sebetulnya disampaikan anggota parlemen juga. Ketua Fraksi Partai NasDem Johnny G Plate misalnya, mengatakan kalau baiknya UU MD3 dicabut saja.

"Bila ini dapat dilakukan pimpinan DPR dan dalam konsultasinya menemukan jalan keluar yang terbaik dengan mencabut kembali usulan tersebut, maka akan mendapat apresiasi dan dukungan hebat dari masyarakat," ujar Johnny di Gedung DPR, Jakarta, setelah sidang paripurna pertama pasca reses.

Kritik-kritik semacam ini bukan tidak diketahui pimpinan DPR sekarang. Ketua DPR Bambang Soesatyo misalnya, pada awal Februari lalu mengatakan kalau penambahan kursi pimpinan "bukan balas budi atau bagi-bagi kue kekuasaan." Katanya, penambahan kursi pimpinan legislatif semata untuk "mengakomodir kekuatan politik."

Bambang menilai tidak pantas bila PDIP sebagai partai pemenang pemilu 2014 tidak diakomodasi sebagai pimpinan DPR. Lagi pula, menurutnya, itu akan membuat kekuatan politik di DPR timpang. "PDIP itu partai pemenang pemilu dengan kekuatan politik yang besar," kata Bambang.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino