Menuju konten utama

Alternatif Sikap Jokowi Tanggapi UU MD3 Menurut Mahfud MD

Terkait polemik persetujuan Presiden Jokowi terhadap draft UU MD3, ahli hukum tata negara Mahfud MD mengatakan ada beberapa alternatif sikap Presiden menyikapi hal ini.

Alternatif Sikap Jokowi Tanggapi UU MD3 Menurut Mahfud MD
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato saat Sidang Paripurna pada pembukaan masa sidang I tahun 2017-2018 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id -

Draft Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang sudah selesai direvisi saat ini menunggu persetujuan Presiden Jokowi. Pakar hukum tata negara Mahfud MD mengutarakan beberapa alternatif sikap yang bisa diambil Presiden Joko Widodo terkait hal itu.

"Presiden punya wewenang untuk menentukan sikap soal UU MD3 tanpa boleh ditekan oleh siapa pun," kata Mahfud, di Padang, Kamis (1/3/2018) malam.

Mahfud, usai pidato kebangsaan dengan tema Revitalisasi Peran Agama, Budaya dan Negara Dalam Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa, di GOR Himpunan Tjinta Teman sebagai bagian perayaan Cap Go Meh, di Padang, menyebutkan beberapa alternatif dengan segala risiko yang mungkin timbul, namun Presiden Jokowi perlu mengambil keputusan secepatnya.

"Mudah-mudahan dalam seminggu ke depan sudah ada sikap Presiden, jadi tunggu saja," katanya lagi.

Ia memaparkan alternatif sikap yang bisa diambil itu, pertama, Presiden bisa menandatangani lalu diserahkan kepada masyarakat apakah mau digugat atau tidak ke Mahkamah Konstitusi.

Kedua, bisa juga Presiden tidak menandatangani dan diserahkan kepada masyarakat, kata dia.

Kemudian, bisa juga Presiden menandatangani lalu mengubah UU tersebut melalui legislatif review atau bisa juga menandatangani lalu disusul dengan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) untuk mencabut tiga pasal yang bermasalah.

Jadi semua itu, menurut Mahfud, boleh dilakukan oleh Presiden dan dapat dipilih sesuai dengan mana yang dianggap baik berdasarkan pertimbangan yang ada.

Terkait dengan mana sikap yang paling tepat, Mahfud menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi berdasarkan analisisnya.

Sebelumnya, dalam revisi UU MD3 dinilai ada tiga pasal kontroversial yang mendapat kritik keras publik dan harus dikoreksi.

Pertama, pasal 73 yang menyatakan polisi diwajibkan membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang.

Lalu, pasal 122 huruf k, menyatakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Berikutnya, pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.

Analis Politik dari Exposit Research and Strategic Advisory (ERSA) Arif Susanto menambahkan, pasal 245 UU MD3 juga mempersulit aparat penegak hukum untuk memeriksa anggota DPR dalam kasus pidana. Pasal itu mengatur bahwa pemanggilan anggota DPR untuk pemeriksaan terkait kasus pidana harus melalui persetujuan MKD dan baru kemudian Presiden.

Arif menegaskan pasal tersebut melanggar asas kesetaraan semua pihak di hadapan hukum (equality before the law) yang sudah diatur dalam konstitusi.

Kadiv Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur juga menilai sejumlah ketentuan baru dalam hasil revisi UU MD3 membahayakan ketatanegaraan Indonesia.

Isnur menambahkan hasil revisi UU MD3 juga memperkuat anggapan publik bahwa DPR ingin menjadi lembaga yang antikritik.

Isnur mencontohkan pasal 245 bisa menjadi dalih untuk mempersulit KPK saat hendak memeriksa anggota DPR. Kesulitan terutama bisa dialami lembaga penegak hukum seperti Polri untuk keperluan penanganan kasus hukum di luar pidana khusus.

Soal ini, KPK memang sudah menegaskan pemanggilan anggota DPR oleh Komisi Antirasuah tetap akan mengikuti UU KPK. Tapi, hak imunitas anggota DPR tercatat pernah menjadi dalih Novanto saat hendak menghindari pemeriksaan di KPK.

Baca juga artikel terkait UU MD3

tirto.id - Politik
Sumber: antara
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri