Menuju konten utama

Cacar Monyet dan Alasan Mengapa Banyak Penyakit Muncul dari Hutan

Sebagian besar penyakit menular pada manusia (60 persen) muncul dari patogen yang dibawa hewan.

Cacar Monyet dan Alasan Mengapa Banyak Penyakit Muncul dari Hutan
Ilustrasi Monyet. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Bumi dapat mencukupkan kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk keserakahan.”

Mahatma Gandhi tepat menggambarkan bagaimana kesusahan kita melawan pandemi saat ini berawal dari keserakahan. Dan polanya akan terus berulang sampai manusia punah, atau tak ada lagi sumber daya yang bisa digunakan.

Belum rampung pekerjaan rumah menuntaskan wabah Covid-19, beberapa waktu lalu muncul kabar infeksi virus lain tengah mengintai kita. Seturut pemberitaan BBC, Amerika Serikat melacak lebih dari 200 orang di 27 negara bagian terkait penyakit langka: cacar monyet (MonkeyPox).

Penyakit ini muncul lagi setelah mati suri selama 18 tahun. Seorang pria Texas membawa kembali virus tersebut dari Nigeria. Ia menjadi pasien cacar monyet pertama di AS sejak 2003. Pelacakan kepada 200 orang dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan kontak dengan si pria Texas.

“Sebagian besar kasus tidak serius, kadangkala menyerupai cacar air dan sembuh sendiri dalam beberapa pekan. Namun menurut CDC, satu dalam 100 kasus menyebabkan kematian,” tulis BBC. Infeksi cacar monyet memiliki gejala demam, pusing, bengkak, nyeri punggung, nyeri otot, lemas, dan ruam.

Penyakit ini termasuk golongan zoonosis, penyakit yang menular dari hewan ke manusia. Cacar monyet memiliki dua varian genetik, yakni cacar monyet Afrika Tengah dan Afrika Barat. Infeksi manusia pada varian Afrika Tengah biasanya lebih parah dan memiliki angka kematian lebih tinggi dibanding tipe satunya lagi.

Mari kita telusuri dulu awal mula kemunculan cacar monyet. Pada tahun 1958 koloni monyet yang dipelihara untuk penelitian terdeteksi memiliki lesi serupa cacar. Dari situlah muncul sebutan “monkeypox” untuk merujuk cacar pada monyet.

Infeksi dapat terjadi akibat kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, lesi kulit atau mukosa dari hewan terinfeksi. Di Afrika, bukti infeksi virus cacar monyet ditemukan pada beberapa jenis hewan termasuk tupai, tikus, dormice, dan berbagai spesies monyet lain.

Dari catatan publikasi WHO diketahui infeksi pertama pada manusia terjadi dua dasawarsa setelah penemuan lesi pada monyet, yakni pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo. Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun menjadi inang pertama, lalu sebagian besar kasus menyebar di perdesaan, daerah hutan hujan di Cekungan Kongo.

Meski cacar monyet masuk dalam keluarga cacar air, namun varian tersebut diklaim lebih langka karena umum menular hanya di sejumlah kawasan tengah dan barat Afrika, dekat hutan tropis. Jika dirunut, tak cuma cacar monyet yang muncul dari daerah terpencil, namun ada juga nipah, ebola, flu burung, dan malaria.

Lalu mengapa kebanyakan penyakit menular muncul dari wilayah yang bersinggungan dengan satwa liar, seperti di pemukiman dekat hutan?

Jawabannya dipicu oleh pelbagai faktor seperti peningkatan urbanisasi dan populasi manusia, perubahan ekologi, dan deforestasi.

Perubahan Ekosistem

Ketika manusia terus mengeksploitasi keanekaragaman hayati dengan menebang hutan dan membangun lebih banyak infrastruktur, maka risiko pandemi penyakit seperti cacar monyet akan meningkat.

Sebagian besar penyakit menular pada manusia (60 persen) muncul dari patogen yang dibawa hewan. Perubahan ekosistem termasuk deforestasi membuka risiko penyebaran karena hewan beradaptasi. Mereka keluar dari habitat aslinya, menyebar, membawa patogen ke lingkungan yang lebih luas, dan meningkatkan kontak antara satwa liar dan manusia.

Ada tiga faktor yang berpengaruh dalam penyebaran zoonosis, yakni: keanekaragaman mikroba satwa liar dalam wilayah tertentu; kedua, perubahan lingkungan; dan ketiga, frekuensi interaksi antara hewan dan manusia. Jika salah satu faktor terganggu, maka dipastikan ancaman zoonosis mengintai manusia.

“Kami telah memperingatkan ini selama beberapa dekade, tapi tak ada yang peduli,” kata Kate Jones, pemodel ekologi dari Universitas College London. Dalam studinya yang diterbitkan Nature (2020) ia menyebut hewan pengerat, kelelawar, dan burung passerine sebagai inang paling kuat zoonosis.

Jones adalah salah satu peneliti yang menyelidiki hubungan antara keanekaragaman hayati, penggunaan lahan, dan penyakit menular. Contoh terdekat epidemi zoonosis dari deforestasi pernah menyerang Malaysia pada akhir 1997 hingga awal 1998 dengan virus nipah.

Penyebaran virus ini bermula dari migrasi kelelawar buah dari hutan ke kebun buah dan peternakan babi. Respons tak lazim para kelelawar dipicu oleh kekeringan dan kebakaran hutan sehingga pohon-pohon di hutan gagal berbuah.

Virus nipah yang dibawa kelelawar disebarkan lewat air liur. Sisa buah yang mereka makan tercecer dan dikonsumsi oleh babi milik penduduk. Peristiwa selanjutnya dapat dirunut: hewan ternak itulah yang kemudian menjadi perantara virus nipah dari kelelawar ke manusia.

Deforestasi di hutan hujan Amazon akibat pembukaan lahan juga turut memicu penyebaran penyakit malaria. Nyamuk Anopheles mendapat habitat ideal untuk berkembang biak di genangan air yang terbentuk di pinggir hutan, di balik sisa-sisa penebangan yang airnya tak dapat lagi diserap pepohonan.

Infografik Monkeypox

Infografik Monkeypox. tirto.id/Quita

Ancaman Wabah di Masa Depan

Sebagian besar upaya untuk mencegah penyebaran penyakit baru cenderung fokus pada pengembangan vaksin, diagnosis awal, dan pengendalian infeksi. Namun ancaman penyakit terus berulang, bahkan bertambah jika alam tak lagi seimbang. Harus ada perubahan perilaku dasar manusia sehingga keanekaragaman hayati tetap lestari dan risiko kesehatan berkurang. Peluang terjadinya pandemi di masa depan harus diminimalisasi dengan pembangunan berkelanjutan.

“Jika deforestasi terus terjadi, eksploitasi penambangan, dan pembangunan yang tidak terencana, kita akan mengalami lebih banyak wabah,” ujar Ibrahima Socé Fall, epidemiolog Swiss kepada Nature.

Ia melanjutkan, penting memahami ekologi serta tren sosial dan ekonomi perbatasan desa untuk memproyeksikan risiko penyakit di masa depan. Sebab wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati berpotensi menjadi tempat pencetus wabah.

“Berkurangnya keanekaragaman hayati pasti disertai ekspansi manusia di perbatasan perdesaan, meningkatkan kumpulan patogen yang berpindah dari hewan ke manusia,” kata Jones.

Analisis Jones dan timnya mengumpulkan lebih dari 3,2 juta catatan studi ekologi di seluruh dunia, mulai dari hutan asli hingga lahan pertanian kota. Mereka menemukan bahwa populasi spesies yang menjadi inang penyakit menular ke manusia, termasuk 143 mamalia seperti kelelawar, hewan pengerat, dan primata.

Jika dilihat dari teori ini, maka Indonesia bisa menjadi sumber wabah masa depan: punya variasi keanekaragaman hayati dan ekosistem yang terus dieksploitasi. Tinggal pilih saja apakah kita mau mawas diri, atau justru tenggelam dalam keserakahan.

Baca juga artikel terkait PENYAKIT MENULAR atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Irfan Teguh