tirto.id - Pada tahun 1860, Moshoeshoe, Raja Leshoto, kerajaan di bagian selatan Afrika, menerima hadiah selimut berbahan wol. Sejak itu Moshoeshoe berhenti menggunakan karosses, benda serupa selimut yang terbuat dari kulit binatang, dan beralih mengenakan selimut wol. Masyarakat setempat lantas memandang selimut wol sebagai simbol status sosial.
Sepuluh tahun setelah Moshoeshoe menerima hadiah, terjadi perubahan iklim di Afrika Selatan yang membuat masyarakat sulit memproduksi selimut dari kulit hewan. Mereka mulai membuat selimut berbahan katun yang nampak serupa dengan milik sang raja. Pembuatan selimut ini kemudian menjadi tradisi masyarakat Bashoto.
Vogue melaporkan bahwa selimut yang disebut Bashoto Heritage Blanket sulit ditemukan di luar Afrika. Salah satu tempat yang menyimpan benda tersebut ialah British Museum. Baru-baru salah satu adegan dalam film Black Panther memperlihatkan karakter Ratu Ramonda, Nakia, dan Shuri menghangatkan diri dengan selimut Bashoto.
Selimut Bashoto hanyalah salah satu sekian banyak elemen budaya Afrika yang muncul dalam Black Panther. Ruth Carter, desainer kostum film produksi Marvel Studios ini, memilih untuk memperlihatkan elemen budaya dari sejumlah suku di Afrika. Salah satunya terlihat lewat adegan yang mempertontonkan rakyat Wakanda berdiri di lereng tebing untuk menyaksikan sang raja bertarung.
Pengawal raja yang disebut Dora Milaje berdiri di antara kerumunan sambil mengucap dukungan bagi T’Challa, sang raja. Para pengawal perempuan terlihat sangat memesona dan perkasa dalam busana mereka. “Saya merasa tertekan saat diminta untuk merancam kostum di film ini. Saya tidak ingin terjebak stereotip,” kata Carter yang meluangkan waktu untuk mempelajari tradisi busana dan karya seni Afrika ketika diminta terlibat dalam produksi Black Panther.
Kepada Vox, Ruth menyatakan tak ingin menampilkan sosok wanita pengawal kerajaan dengan busana terbuka. Baginya, akan lebih masuk akal bila kostum pengawal dibuat tertutup agar mampu menyiratkan kesan perlindungan. Di samping itu, ia hendak membuktikan bahwa dengan busana lengan panjang dan kepala botak pun, seorang perempuan bisa tampak menarik dan kuat.
Dora tampil mengenakan kalung serta gelang besar yang terbuat dari logam. Busana merah yang membentuk lekuk tubuh menunjukkan motif geometris yang menurut Ruth punya makna sakral. Kalung dan gelang Dora nampak serupa dengan perhiasan yang dikenakan oleh wanita dari suku Ndebele. Dalam tradisi Ndebele, perhiasan melambangkan status sosial dan simbol ikatan perkawinan. Dalam film, Ruth sengaja tidak menunjukkan makna asli dari penggunaan perhiasan.
Kepada Glamour, Ruth mengaku tidak ingin terkesa sedang membuat film dokumenter. Oleh karena itu, ia berusaha menempatkan elemen tradisi dengan cara modern. Salah satunya pada gaun hijau Nakia yang dikenakan saat masuk ke sebuah bar rahasia.
“Dalam adegan tersebut Nakia tengah menyamar. Busananya harus terkesan elegan dan nyaman bila harus bertempur. Gaun ini sebenarnya gaun perang, tetapi saya menyamarkan kesan itu,” lanjut Ruth .
Bagaimana dengan Shuri? Ruth tidak ingin Shuri yang bekerja di laboratorium mengenakan jas putih seperti pada umumnya. “Saya merasa jas laboratorium sangat klise,” kata Ruth Kepada Vulture. Ia mengganti jas laboratorium dengan terusan putih yang sepintas mengingatkan pada busana lab. Busana, ujar Ruth, tampak sebagai busana yang bisa didaur ulang. Menurutnya, citra tersebut sesuai dengan imaji tentang Wakanda sebagai tempat yang ramah lingkungan.
Dalam mendesain kostum, Ruth turut memanfaatkan teknologi yang baru digunakan dalam ranah fesyen terkini, yakni teknik cetak 3D. Salah satu properti syuting yang dicetak dengan teknik 3D adalah hiasan kepala Ratu Ramonda, yang desainnya terinspirasi topi masyarakat Zulu. Karena hendak memberi kesan futuristik pada hiasan kepala Ramonda, Ruth pun bekerjasama dengan Julia Koerner, arsitek, perancang 3D wearable art.
“Ramonda adalah ratu Wakanda. Orang-orang Wakanda dikisahkan punya pemikiran maju tentang teknologi. Mahkota kepala ratu harus dibuat dengan cara yang terdepan pula,” ujar Ruth kepada Vulture.
Namun, Ruth tak membatasi inspirasi dari tradisi Afrika saja. Produk sepatu sandal lansiran Alexander McQueen, label fesyen premium asal Inggris, misalnya, jadi pelengkap busana T’Challa. Ruth menilai, desain alas kaki tersebut sesuai dengan jubah T’Challa yang serupa busana abad ke-18 dan dilengkapi motif tradisional Nigeria. Tak cuma T’Challa yang mengenakan sepatu bermerek internasional. Sepatu Killmonger pun digarap oleh rumah mode Balmain.
Kostum karya Ruth mendapat respons positif dari sejumlah orang. Tak mengherankan, sebab selama ini film-film superhero nyaris selalu menonjolkan budaya kulit putih. Kehadiran Black Panther, lengkap dengan konteks budaya dan fesyen, tak ayal lagi disambut gembira.
Selain respons di media sosial, sejumlah kelompok masyarakat Afro–America merayakan penayangan Black Panther dengan mengenakan busana Afrika di malam pemutaran. Bagi mereka, film ini ialah medium tepat untuk menyuarakan budaya fesyen dan identitas orang Afrika.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono