tirto.id - Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM – SPSI) membuat petisi untuk menolak rencana pemerintah menyejajarkan tembakau dan produk turunannya dengan narkotika dan psikotropika lewat Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan. Salah satu pasal RUU Kesehatan mengelompokan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif di dalam kategori yang sama dengan ketentuan ini dimasukan di dalam pasal 154 ayat (3).
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP RTMM – SPSI, Sudarto AS, menyebutkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah disusun secara omnibus law ini akan sangat berdampak. Tidak hanya itu, dia juga mengklaim bakal mengganggu kesejahteraan maupun kelangsungan hidup para pekerja di industri hasil tembakau (HTI) Indonesia.
“Lapangan kerja [baru] juga sulit, sementara lapangan kerja yang ada tergerus habis, turun drastis,” kata Sudarto di sela-sela perayaan Hari Buruh, dikutip Kamis (4/5/2023).
Sudarto menjelaskan dalam 10 tahun terakhir, jumlah anggota FSP RTMM – SPSI mengalami penurunan menjadi 148.000 orang. Hal itu dipicu berbagai batasan atau pengetatan yang timbul akibat regulasi yang ada. Kondisi ini dikhawatirkan akan terus memburuk, jika RUU Kesehatan yang menyejajarkan tembakau dengan narkotika dan psikotropika diloloskan.
Dia mengatakan ratusan ribu buruh, di sektor industri tembakau dan masyarakat menggantungkan hidupnya di sektor pertembakauan akan terdampak status sosialnya hingga dapat terancam di PHK. Sementara, dia menilai mereka adalah penggerak ekonomi keluarganya dengan pendidikan terbatas. Lebih lanjut, dia menyayangkan industri yang sudah memiliki tenaga kerja signifikan ini tidak dilindungi.
“Pemerintah saja membuat perubahan undang-undang dalam rangka menarik investor. Yang ada kok malah enggak dilindungi?” serunya.
Belum lagi, rencana penyejajaran ini sebenarnya bertentangan dengan Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010 yang arahnya lebih kepada pengamanan atas konsumsi dan bukan menghilangkan tembakau. Di samping pasal zat adiktif dalam RUU Kesehatan, serikat buruh ini juga menolak rencana pemerintah untuk merevisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Sejalan dengan RUU Kesehatan, aturan ini juga dinilai memberatkan bagi industri rokok. Sebab, tidak hanya melakukan pengendalian tembakau dari sisi konsumsi, tetapi juga penjualan, kemasan, dan berbagai aspek lainnya yang membuat IHT susah bergerak.
“Namanya lapangan kerja itu kan kalau bisa dipertahankan. Bagaimana bisa bertahan kalau ternyata bukan sekedar pengendalian konsumsinya, tapi penjualan, kemasan, dan segalanya diatur sedemikian rupa,” ucapnya.
Di saat yang sama, serikat buruh ini juga meminta agar pemerintah bisa bersikap lebih aktif dalam proses pembuatan kebijakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada.
“Jangan kita tahu-tahu belakangan. Kita baru tahu setelah mencoba mengamati dan mengerti,” katanya.
Lebih lanjut, Sudarto juga berharap seluruh aturan yang dihasilkan oleh pemerintah bisa lebih berdaulat dan terbebas dari kepentingan asing. Sebab, selain merugikan pekerja hingga petani dan industri ini secara keseluruhan, campur tangan asing juga dikhawatirkan akan merugikan negara secara lebih luas.
“Indikasi ini bukan sekedar bicara rokok, tapi bagaimana beberapa lembaga swadaya masyarakat [LSM] atau Non-Governmental Organization [NGO] asing itu berperan. Kita harus berdaulat!” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan tembakau disetarakan dengan zat adiktif seperti narkoba, psikotropika, dan minuman beralkohol karena dampak bahaya merokok. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 154 Draf Rancangan Undang-Undang (RUU Kesehatan) Kesehatan.
"Ini menjadi faktor risiko penyakit lain bukan hanya penyakit jantung atau kardiovaskuler tapi juga penyakit kanker atau penyakit kronik lainnya, dan pada akhirnya jadi beban ekonomi baik keluarga dan negara,” kata Nadia melalui pesan singkat kepada reporter Tirto.
Nadia menuturkan risiko kesehatan akibat merokok membuat penduduk produktif banyak yang tidak sehat dan membuat angka harapan hidup rendah. “Walau bisa panjang umur tapi tidak sehat jadi ujungnya tidak produktif,” kata dia.
Meski begitu, Nadia bilang aturan ini tidak serta-merta membuat pemerintah tidak memedulikan atau angkat tangan terhadap nasib para petani tembakau.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin