tirto.id - Permasalahan internal TVRI semakin menumpuk. Setelah DPR memerintahkan pemberhentian sementara seleksi calon Dirut TVRI, Selasa (25/2/2020), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan sejumlah persoalan yang terjadi di stasiun televisi milik pemerintah itu kepada DPR RI.
Dokumen yang diserahkan Anggota III BPK Achsanul Qosasi itu bertajuk Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Penerapan Regulasi dalam Menunjang Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Lembaga Penyiaran Publik pada LPP RRI dan TVRI Tahun Anggaran 2017 sampai dengan Semester I 2019 kepada DPR Rabu (26/2/2020).
Berdasarkan keterangan resmi yang diperoleh reporter Tirto, Kamis (27/2/2020), BPK menemukan peraturan perundang-undangan yang mengatur LPP TVRI dan LPP RRI belum memadai.
Ia mengatakan, ada sejumlah permasalahan pada PP 13/2005 tentang LPP TVRI dan PP 12/2005 tentang LPP RRI dan Ketentuan dalam Keputusan Dewan Pengawas LPP TVRI Nomor 2 Tahun 2018 tidak sesuai dengan PP Nomor 13 Tahun 2005.
Dalam permasalahan PP 13/2005, BPK menyoalkan substansi Pasal 7 huruf d tentang kewenangan Dewan Pengawas yang bertugas untuk mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi TVRI.
Ketentuan pemberhentian direktur diatur dalam Pasal 24 ayat 4 PP 13/2005. Akan tetapi, Dewas TVRI justru menambahkan syarat hasil penilaian kinerja memuaskan dan tidak memuaskan.
“Berdasarkan pemeriksaan, penilaian kinerja kepada Dewan Direksi cenderung subjektif. Atas indikator-indikator yang pencapaian kinerjanya 100%, Dewas menilai bervariasi dan tanpa rumusan yang jelas. Selain itu, Dewas LPP TVRI menambahkan 10 indikator penilaian yang tidak tercantum dalam kontrak manajemen,” demikian rilis BPK.
BPK merekomendasikan beberapa poin dalam laporan itu, salah satunya Direksi TVRI dan Dewas TVRI maupun Direksi RRI dan Dewas RRI untuk memprakarsai revisi PP Nomor 12 Tahun 2005 dan PP Nomor 13 Tahun 2005, antara lain: terkait tugas dan fungsi Dewan Pengawas dan Dewan Direksi; kedudukan jabatan Dewan Pengawas; pemberhentian Dewan Pengawas; pengangkatan dan pemberhentian Dewan Direksi; serta Pejabat Pembina Kepegawaian.
Mereka juga mendesak agar Dewas bekerja sesuai perundang-undangan yang berlaku dengan indikator yang objektif.
“Dewas LPP TVRI dan LPP RRI dalam melakukan penilaian kinerja Dewan Direksi LPP TVRI dan LPP RRI mempedomani peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan indikator kinerja yang terukur, formulasi penilaian yang telah disepakati bersama dan lebih objektif sesuai dengan realisasi pencapaian target,” demikian rilis BPK.
Helmy Yahya Kemungkinan Kembali?
Ketua Komite Penyelamat TVRI Agil Samal berpendapat hasil audit BPK memperkuat sikap subjektif Dewan Pengawas TVRI dalam bertugas. Agil mengatakan, kasus pemberhentian Helmy menandakan sudah tergolong subjektif.
“Pemberhentian Saudara Helmy Yahya dari jabatan Direktur Utama LPP TVRI oleh Dewan Pengawas cenderung Subjektif dengan tidak mengacu pada aturan yang berlaku,” kata Agil dalam keterangan tertulis kepada reporter Tirto, Jumat (28/2/2020).
Agil menganggap Dewas TVRI menyalahi wewenang dengan menafsirkan sendiri posisi Dewas setara dengan menteri sehingga menikmati fasilitas yang tidak seharusnya. Selain itu, Dewas sudah bersikap sewenang-wenang sehingga menimbulkan dampak negatif kinerja TVRI.
Agil mendesak 4 anggota Dewas TVRI, yakni Arief Hidayat Thamrin, Maryuni Kabul Budiono, Made Ayu Dwi Maheny, dan Pamungkas Trishadiatmoko untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka kepada TVRI dan meminta mundur sebagai Dewas TVRI.
Selain itu, Agil berpendapat agar Helmy kembali sebagai Dirut TVRI. Ia beralasan, pencopotan Helmy merupakan sikap subjektif Dewas TVRI.
Agil optimistis surat pemecatan Helmy bisa tidak sah karena “secara hukum pemberhentian Pak Helmy bukan karena melanggar hukum atau aturan yang berlaku. Jika ini di PTUN kan, beliau akan menang”.
Agil berpendapat, Helmy seharusnya tidak dipecat, tetapi mendapat apresiasi. Ia berharap kerja Helmy bisa kembali berjalan untuk kemajuan TVRI.
“Kalau TVRI mau maju, harus Pak Helmy kembali. Dua tahun ini ada programnya yang belum selesai. Kita berikan waktu kepada beliau untuk menyelesaikan masa tugasnya yaitu 5 tahun.,” kata Agil.
Ahli Hukum Administrasi Negara Universitas Bengkulu Beni Kurnia Illahi berpendapat surat keputusan pemberhentian Dirut TVRI berpotensi tidak sah. Sebab, unsur hukum dalam surat tersebut tidak terpenuhi secara formil maupun materiil.
“Kalau menurut saya tidak sah karena secara formil dan materiil cacat karena produk yang dikeluarkan tidak sesuai,” kata Beni saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (28/2/2020).
Beni mengatakan, kecacatan secara formil muncul karena produk yang dikeluarkan adalah surat keputusan. Menurut dia, surat keputusan semestinya tidak melahirkan pasal demi pasal lain. Konsep tersebut tidak sesuai secara perundang-undangan.
Sementara dari sisi materiil, kata dia, temuan BPK menjadi bukti kalau ada kesewenang-wenangan Dewas TVRI dalam menjalankan kebijakan.
Kebijakan tersebut justru mengarah pada surat keputusan sehingga tidak sesuai dalam dasar perundang-undangan. Beni berpendapat, Dewas TVRI seharusnya menerbitkan peraturan kelembagaan seperti aturan hubungan antar-lembaga. Ia mencontohkan seperti KPK yang memiliki peraturan komisi.
Meskipun tidak sah, Beni mengingatkan kalau Helmy tidak serta-merta bisa langsung kembali menjadi Dirut TVRI. Ia berpendapat, pengadilan harus memutus pemecatan pembawa acara “Siapa Berani” itu tidak sah secara hukum sehingga dibatalkan oleh pengadilan.
“Artinya surat keputusan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan aturan yang lebih tinggi nah itu menjadi dasar pertimbangan PTUN dalam menyatakan itu kalau dianggap bertentangan bisa saja pemulihan itu bisa dikembalikan,” kata Beni.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Nur Sholikin berpendapat, pemberhentian Helmy tetap sah. Akan tetapi, Helmy bisa menggugat balik dan kembali ke kursi Dirut TVRI karena ada ketentuan yang dilanggar Dewan Pengawas TVRI.
"Kalau pemberhentian bisa jadi dalam status proses pencopotan ini sah, tapi dia memiliki kelemahan. Jadi keputusan yang dibuat oleh Dewan Pengawas ini memiliki kelemahan dari sisi hukum," kata Sholikin kepada reporter Tirto.
Menurut Sholikin, ketentuan pemecatan sudah diatur secara limitatif dalam Pasal 24 ayat 4 PP 13 tahun 2005.
Pasal 24 PP 13 tahun 2005 berisi tentang 4 poin pemberhentian Direksi TVRI, yaitu: tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; terlibat dalam tindakan yang merugikan lembaga; dipidana karena melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
Namun Sholikin melihat ada norma tambahan yang dimasukkan oleh Dewas TVRI saat memecat Helmy. Ia mengingatkan, aturan yang lebih rendah tidak boleh menambah aturan baru sehingga ada celah hukum dalam pemecatan Helmy, apalagi temuan BPK menjadi petunjuk sekaligus bukti Dewas TVRI melebihi wewenang mereka.
"Jadi dalam hal ini peraturan yang dibuat dewan pengawas seharusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang di atasnya yaitu peraturan pemerintah soal LPP TVRI," kata Sholikin.
Meski ada pelanggaran, Sholikin mengingatkan Helmy tidak bisa langsung kembali ke kursi Dirut TVRI.
Ia mengatakan, setidaknya ada upaya hukum yang bisa membuat Helmy kembali. Salah satunya adalah Dewas TVRI menerbitkan surat pembatalan pemberhentian Helmy atau Helmy menggugat ke pengadilan.
Sebab, kata dia, Helmy memerlukan putusan pengadilan untuk membatalkan keputusan pemecatan dan menggunakan dokumen BPK sebagai penguat dalil di persidangan.
"Jadi dasar pemberhentian itu tidak kuat secara hukum tidak memiliki legitimasi karena bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya, jadi ketika itu diajukan ke pengadilan pasti pengadilan akan memberikan tafsir perundang-undangan," kata Sholikin.
Terkait ini, reporter Tirto menghubungi Arief Hidayat Thamrin selaku Ketua Dewas TVRI yang selama ini biasa memberikan keterangan pers. Namun hingga artikel ini dirilis, ia tak memberikan respons.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz