tirto.id - Senin, 15 Oktober 2018 beredar Surat Bupati Cianjur yang ditandatangani oleh Wakil Bupati Cianjur Herman Suherman kepada camat se-Kabupaten Cianjur. Dalam surat bernomor 400/5368/Kesra tersebut, Pemerintah Kabupaten Cianjur meminta setiap masjid jami untuk menyampaikan khotbah dengan materi terkait LGBT.
Alasannya: Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kabupaten Cianjur mencatat peningkatan jumlah LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) yang cukup signifikan.
Saat dikonfirmasi, Kepala Humas Pemerintah Kabupaten Cianjur, Gagan Rusganda membenarkan adanya surat edaran tersebut. Gagan mengatakan bahwa pemerintah Kabupaten Cianjur tak bisa diam ketika mendapati perkembangan perilaku LGBT.
“Dengan perkembangan perilaku LGBT saat ini apakah Pemerintah Daerah harus berdiam atau kita berupaya untuk menanggulanginya?” ujar Gagan kepada reporter Tirto.
Gagan juga menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten Cianjur tak hanya berupaya menekan LGBT melalui khotbah Jumat di Masjid. Gagan mengaku, sejak 2017 lalu pemerintah juga telah melakukan sosialisasi penanggulangan LGBT di sekolah.
“Perihal bentuk sosialisasi kepada masyarakat berkenaan dengan perilaku LGBT, penyalahgunaan narkoba, miras, kami sudah mencoba melalui kegiatan penyampaian melalui upacara kenaikan bender setiap hari Senin di sekolah dengan cara bergantian. Bentuk lainnya saat ini kami mencoba melalui khotbah Jumat,” kata Gagan.
Gagan pun mengirimkan 6 halaman materi khotbah Jum’at yang dimaksud. Di situ tertulis tentang "bahaya LGBT, sodomi, dan pencabulan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara dalam perspektif hukum Islam."
Pada halaman pertama, Pemkab Cianjur menuliskan tentang kehancuran kaum Sodom. Bagi mereka, kehadiran LGBT akan membuka peluang turunnya adzab yang lebih besar.
“Saat ini pula Allah telah menurunkan penyakit kelamin berupa HIV yang juga belum ditemukan obatnya, maka tidak menutup kemungkinan azab Allah pun akan segera tiba,” ungkap Pemkab Cianjur dalam surat edaran tersebut.
Dalam surat tersebut, pihak pemkab juga menuliskan beberapa ayat-ayat Alquran serta bunyi hadis yang menunjukkan larangan perilaku LGBT, serta mengaitkan musibah gunung meletus, gempa bumi, tsunami, banjir, longsor, kebakaran, angin puting-beliung sebagai akibat dari dosa-dosa manusia.
Potensi Diskriminatif Aturan Daerah
Surat yang dikeluarkan oleh Bupati Cianjur tersebut bisa menyebabkan daerah-daerah lain menjadi "latah". Beberapa kepala daerah pun dengan tegas menyampaikan bahwa mereka akan membuat aturan daerah untuk membatasi ruang gerak LGBT.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menyatakan sebaiknya kepala daerah tak mengeluarkan aturan-aturan tersebut. Pasalnya, aturan tersebut berpotensi menimbulkan diskriminasi.
“Nah sekarang ini, peraturan semacam itu tidak layak dikeluarkan dalam bentuk perbup [peraturan bupati]. Kalau pelarangan gitu, tingkatnya di level daerah [paling tidak] perda-lah. Tapi perda pun menurut saya juga terlalu berlebihan, karena aturan semacam itu aturan potensial diskriminatif,” ungkap Refly
Refly menyampaikan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh kelompok LGBT tidak berbeda dengan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat heteroseksual lainnya. Pemerintah seharusnya sadar, bahwa ada orang yang memang terlahir LGBT.
Ancaman terhadap LGBT
Mei 2018 lalu, LBH Masyarakat pernah mengeluarkan catatan berjudul “Bahaya Akut Persekusi LGBT: Seri Monitor dan Dokumentasi” (PDF) yang berisi dokumentasi terkait stigma, diskriminasi serta kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT.
Di situ tertulis, sepanjang tahun 2017 terdapat 973 orang yang menjadi korban dari stigma, diskriminasi, dan kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas, dan ekspresi gender. Dalam catatan itu, transgender menjadi kelompok dengan korban terbanyak (715 orang), dan diikuti dengan gay (225 orang), lesbian (29 orang), dan lain-lain (4 orang).
Stigma tentang LGBT pun ternyata tak hanya berdampak kepada kelompok LGBT saja. Akhir 2017 lalu, misalnya, terjadi perundungan terhadap kakak-adik yang dituduh gay. Perundungan itu bermula saat seorang perempuan bernama Sri Mulyani mengunggah video di laman Facebook, dan menuding dua remaja pria WNA yang ada di videonya memperlihatkan ekspresi homoseksual di ruang publik.
Akibatnya, kedua remaja yang dituduh sebagai pasangan gay tersebut sempat takut untuk keluar rumah.
LBH Masyarakat mencatat ada beragam bentuk stigma terhadap LGBT. Mereka dianggap sebagai sumber HIV, menyimpang, penyakit, bertentangan dengan agama, dan bertentangan dengan ideologi negara.
Stigma yang muncul di masyarakat tentang LGBT tentunya mendorong timbulnya diskriminasi. Ia bisa berwujud persekusi, upaya paksa dan pemidanaan, pelarangan mendapatkan pendidikan, pembubaran acara, dan pelanggaran HAM, serta bentuk kekerasan lainnya.
Bahkan, dalam catatan yang ditulis oleh LBH Masyarakat tersebut, negara (55 persen) menjadi aktor utama yang melakukan stigma, diskriminasi, dan pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT dibandingkan masyarakat (45 persen).
Pemerintah daerah seperti Pemkab Cianjur merupakan bagian dari negara. Dalam hal ini, kasus ini menunjukkan bukti bahwa negara justru menjadi salah satu pemain utama dalam diskriminasi terhadap LGBT.
Salah seorang anggota komunitas LGBT, LZ, mengaku keberatan terhadap surat yang dikeluarkan oleh Bupati Cianjur tersebut. Pasalnya, Pemerintah Kabupaten Cianjur telah memberikan informasi yang keliru terhadap masyarakat.
“Tentu saja keberatan terhadap surat edaran Bupati Cianjur dan juga KPA Kabupaten Cianjur. Dengan surat edaran tersebut, artinya mereka selaku pemerintah daerah memberikan informasi yang keliru. Tidak bisa membedakan mana perilaku seksual yang berisiko, dan mana ketertarikan seksual pada manusia,” kata LZ.
LZ menganggap munculnya surat yang dikeluarkan oleh Pemkab Cianjur tersebut bisa berdampak pada kebijakan di daerah lain, seperti di Balikpapan dan Jambi.
“Ini kan jadinya menular, ya. Menularnya kebodohan para pemerintah daerah ini. Enggak lama setelah itu, Pemerintah Balikpapan mau bikin perwal, mau bikin peraturan walikota [untuk mencegah LGBT],” ungkap LZ.
LZ mengaku mengkhawatirkan keamanan LGBT jika pemerintah-pemerintah daerah mengeluarkan aturan-aturan tersebut.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani