tirto.id - Hukum kurban untuk orang meninggal menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama melarangnya dan kurban tersebut dianggap tidak sah, sementara yang lain membolehkan dengan syarat harus ada wasiat atau pesan dari orang bersangkutan. Berikut ini penjelasan hukum kurban untuk orang meninggal dalam Islam.
Tahun ini, umat Islam di Indonesia mengalami perbedaan Hari Raya Idul Adha. Menurut versi Muhammadiyah, Hari Raya Idul Adha jatuh pada 9 Juli 2022 berdasarkan Maklumat PP Muhammadiyah Nomor: 01/MLM/I.0/E/2022 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1443 H.
Sementara itu, pemerintah memutuskan bahwa Hari Raya Idul Adha jatuh pada 10 Juli 2022 berdasarkan sidang isbat yang digelar pada 29 Juni silam.
Pada dasarnya, ibadah kurban ditujukan kepada orang muslim yang masih hidup, bukan untuk yang meninggal. Hukum ibadah kurban adalah sunah muakadah atau sangat ditekankan pengerjaannya dalam Islam.
Nabi Muhammad SAW mencela orang yang mampu dan berkecukupan, namun enggan berkurban. "Barang siapa yang memiliki kelapangan [harta], sedangkan ia tak berkurban, janganlah dekat-dekat tempat salat kami," (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim).
Pelaksanaan kurban dapat dilakukan pada Hari Raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik. Apabila merujuk pada versi Muhammadiyah, penyembelihan hewan kurban dapat dilakukan pada 9 Juli 2022 (Hari Raya Idul Adha), kemudian diikuti dengan 3 hari tasyrik (10-13 Juli 2022).
Sementara itu, menurut versi pemerintah, penyembelihan kurban baru boleh dilakukan pada 10 Juli 2022 (Hari Raya Idul Adha), kemudian 11-14 Juli 2022 (hari-hari tasyrik).
Hukum Kurban untuk Orang Meninggal
Ibadah kurban termasuk bagian dari sedekah dalam Islam. Orang Islam yang mukalaf, balig, mampu, dan berkecukupan harta seyogianya menyisihkan sebagian hartanya untuk berkurban.
Karena keagungan ibadah ini, ada sebagian anggota keluarga yang merasa perlu menyedekahkan kurban untuk anggota keluarganya yang lain, meskipun sudah meninggal. Meski demikian, kurban untuk orang meninggal tidak dibatasi untuk anggota keluarga saja, bisa juga untuk orang lainnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya berkurban untuk orang meninggal. Perkara ini dibahas dalam kitab-kitab klasik terdahulu dan menjadi pedebatan di antara mereka.
Pertama, salah seorang ulama mazhab Syafi'i, Imam Nawawi dalam kitab Hasyiyah Al-Qalyubi wa Umar 'ala Syarhi Jalaluddin Al-Mahalli 'ala Minhaj At-Thalibin (2008) menyitir pendapat Abdul Karim Ar-Rafi'i atau Imam Rafi'i yang membolehkan kurban untuk orang meninggal.
Dasarnya adalah logika bahwa ibadah kurban termasuk bagian dari sedekah. Dengan demikian, seseorang boleh bersedekah atas nama orang lain. Hukum kurban untuk orang meninggal tergolong sah, bermanfaat untuk si mayit, dan pahalanya mengalir ke alam kubur.
Kedua, mayoritas ulama mazhab Syafi'i berpendapat bahwa suatu ibadah harus berdasarkan niat dari pelakunya. Untuk itu, bagaimana mungkin si mayit berniat kurban, padahal ia sudah meninggal?
Atas dasar itu, ibadah kurban untuk orang meninggal dianggap tidak sah. Bagaimanapun juga, jika ada seorang muslim ingin berkurban untuk orang lain, harus ada izin dari orang terkait. Orang yang sudah wafat tidak mungkin memberi izin atas ibadah yang dilakukan untuknya.
Akan tetapi, kondisi ini menjadi sah apabila si mayit sudah berwasiat atau berpesan untuk kurban sebelum ia meninggal. Itulah yang menjadi niat dan izin si mayit.
Landasannya adalah atsar dari Ali bin Abi Thalib yang berkurban untuk Nabi Muhammad SAW 2 ekor kambing kibas, padahal beliau SAW sudah meninggal. Kemudian, Ali berkata: "Bahwa Nabi Muhammad SAW menyuruhnya melakukan yang demikian," (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dan Baihaqi).
Berdasarkan pendapat yang kedua, ibadah kurban untuk orang meninggal tidak sah, kecuali orang bersangkutan memang sudah berwasiat untuk kurban selepas ia wafat.
Editor: Addi M Idhom