Menuju konten utama

Boeing 737 Max: Kok Masih Belum Bisa Terbang setelah 6 Bulan?

Enam bulan berlalu, Boeing 737 Max masih dilarang mengudara.

Boeing 737 Max: Kok Masih Belum Bisa Terbang setelah 6 Bulan?
Sejumlah pesawat Boeing 737 MAX yang dilarang terbang diparkir di Boeing Field di Seattle, Washington, Amerika Serikat, Senin (1/7/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Lindsey Wasson/djo/foc

tirto.id - Pendiri Lion Air Rusdi Kirana berharap pesawat Boeing 737 Max dapat kembali mengudara. Alasannya sederhana, sebagaimana diungkapnya pada Reuters bulan lalu (14/8/2019), Lion Air "sangat membutuhkan" 737 Max untuk mendukung pertumbuhan perusahaan. Hingga larangan terbang diterbitkan, Lion Air memiliki 10 unit 737 Max dari 201 unit yang dipesan. Menengok aplikasi Flightradar24, satu unit pesawat milik Lion Air, dengan mengikuti cara kerja low-cost carrier, terbang empat hingga enam kali setiap harinya. Artinya, seandainya 10 unit Max milik Lion tidak dikandangkan, ada 7.200 hingga 10.800 jadwal penerbangan selama enam bulan yang dapat dilakukan Lion Air.

Sialnya, enam bulan senjak larangan terbang diberlakukan pada 737 Max, tidak ada tanda-tanda awan mendung sirna dari varian terbaru "si Baby Boeing" itu.

Mengejar Type Rating

Suatu malam pada bulan November 2011, di tengah pertemuan multilateral negara-negara Asia Tenggara di Bali yang dihadiri pula oleh Presiden Barack Obama, Lion Air menandatangani kontrak pemesanan 230 pesawat Boeing (201 di antaranya seri Max) senilai $21,7 miliar. Boeing tentu sumringah. Juga Rusdi Kirana, sang pendiri Lion Air. Dengan lantang ia bahkan mengatakan bahwa “737 Max akan menjadi masa depan Lion Air.”

Enam tahun berselang, Boeing mengirimkan Max pertama bagi Lion, yang kemudian digunakan Malindo Air, anak usaha Lion Air. Menyongsong harapan Rusdi Kirana itu.

Sayangnya, sejak 13 Maret 2019, Boeing 737 Max dilarang terbang di seluruh dunia. Alasannya pelarangan itu adalah kecelakaan yang menimpa Lion Air JT 610 (Oktober 2018) dan Ethiopian Airlines ET 302 (Maret 2019) yang diduga terkait masalah teknis yang sama.

Agar tak tertinggal Airbus A320Neo yang menjanjikan kapasitas lebih besar dengan biaya operasional lebih rendah, Boeing menciptakan seri Max bagi 737. Max menggunakan mesin baru, yakni LEAP-1B Engine, dan desain ujung sayap pesawat (winglet) yang berbeda. Perubahan ini kemudian menciptakan 737 yang lebih hemat energi.

Sayangnya, keunggulan itu mengubah satu elemen krusial di tubuh pesawat: angle-of-attack. Angle-of-attack (AoA) adalah sudut antara sayap dengan aliran udara (airflow). Keseimbangan AoA memastikan pesawat tetap terbang dengan aliran udara yang sesuai. Sialnya, dengan perubahan yang dilakukan, jika pilot menaikkan hidup pesawat beberapa derajat terlalu tinggi dari AoA, Max akan rentan berada dalam kondisi stall alias kehilangan daya angkat.

Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) pun jadi solusi. MCAS adalah sistem otomatis yang mampu menurunkan hidung pesawat. Masalahnya, Boeing tak pernah diberitahukan MCAS kepada pelanggannya, khususnya ke pilot-pilot yang menerbangkan Max. Alasannya, menurut Nicholas Rivero dalam tulisannya di Quartz, Boeing 737 Max memiliki type rating yang sama dengan versi Boeing 737 terdahulu.

Type rating yang sama membuat para pengguna, seperti pilot, teknisi pesawat, hingga pihak maskapai, tak perlu belajar lagi cara merawat dan menggunakan pesawat ini.

Boeing bergerak cepat setelah pesawatnya dilarang terbang di seluruh dunia. Mereka mencoba mengudarakan kembali anak emasnya itu dengan memperbaiki perangkat lunak yang berhubungan dengan MCAS. Sialnya, masalah baru muncul pada awal April 2019. Perangkat lunak yang bertugas mengatur flap (bagian untuk meningkatkan daya angkat sayap pesawat) terpengaruh oleh perbaikan itu.

Kini, lebih dari enam bulan berlalu sejak pelarangan Max terbang, Max belum dapat kembali mengudara. Michael O’Leary, Pemimpin Eksekutif Ryanair pesimistis Max akan kembali terbang dalam waktu dekat. Menurut perkiraannya, Max mungkin dapat terbang kembali pada Januari 2020 atau antara Februari dan Maret tahun depan.

O’Leary dikabarkan sangat mengharapkan FAA (otoritas penerbangan AS) dan EASA (Eropa) dapat mengizinkan Max kembali terbang.

Apa yang sesungguhnya membuat dua pesawat ini jatuh? Benarkah hanya MCAS yang menjadi biang keladinya?

Pilot adalah Kunci

Dominic Gates, dalam laporannya yang terbit di Seattle Times pada Maret 2019, menyebutkan bahwa yang patut bertanggungjawab atas dua kecelakaan Boeing 737 Max 8 adalah Boeing dan Federal Aviation Administration (FAA), otoritas penerbangan sipil Amerika Serikat.

Menurut Gates, FAA telah berlaku aneh sebagai regulator. Pada tahap sertifikasi, misalnya, FAA malah mendelegasikan tugas pemeriksaan Max pada insinyur-insinyur Boeing alih-alih memeriksanya secara independen. Akibatnya, izin terbang Max sesungguhnya tidak dibuat FAA, melainkan Boeing sendiri. Kerentanan yang terdapat dalam MCAS kemudian tidak bisa dideteksi FAA sebagai badan pengawas.

Namun, William Langewiesche, dalam laporannya di The New York Times pada 18 September 2019, memiliki ksimpulan berbeda. Tidak diragukan, Boeing dan FAA terlibat dalam tragedi Max. Tapi, dalam pemikirannya, dua institusi ini saja tidak cukup. Menurut Langewiesche, Max telah dirancang dengan baik dan berpijak pada desain 737, si Baby Boeing yang legendaris. Yang patut dipersoalkan adalah pilot.

Masih mengutip Langewiesche, untuk dapat terbang, pesawat membutuhkan airmanship alih-alih pilot. Airmanship ialah kecakapan dan pengetahuan mendalam terkait navigasi, cuaca, dan komunikasi radio.

“Pesawat terbang adalah makhluk hidup,” tegas Langewiesche. Penerbang yang baik bukanlah sosok yang hanya duduk di kokpit sambil melihat autopilot bekerja, melainkan yang benar-benar memiliki kemampuan menerbangkan pesawat. Bahkan jika pesawat tidak memiliki sistem autopilot.

Sialnya, lanjut Langewiesche, akibat ekspansi bisnis udara yang peminatnya semakin membludak, airmanship lenyap digantikan oleh “Pilot Check List”, alias pilot yang sebatas melakukan tes rutin untuk memastikan pesawatnya dapat terbang dengan moda autopilot.

Dua sosok yang menerbangkan JT 610, menurut Langewiesche, tak memiliki airmanship.

Bhavye Suneja, kapten dalam penerbangan maut itu, disebut-sebut Langewiesche sebagai sosok pilot yang “berharap memperoleh banyak jam terbang di Lion Air untuk kemudian menjadi pilot di maskapai yang lebih baik.” Suneja mau diupah di bawah tarif normal seorang pilot. Dan meskipun telah memperoleh 6.028 jam dan 45 menit jam terbang, Suneja dianggap terlalu dini memperoleh pangkat kapten, jika dibandingkan dengan para pilot di maskapai AS atau Eropa.

Sang kopilot Harvino pun dinilai tak punya airmanship oleh Langewiesche.

Ketiadaan airmanship di dunia penerbangan, khususnya Indonesia, terjadi karena pemerintah Indonesia melakukan deregulasi industri penerbangan sejak akhir dekade 1990-an. Kala itu, di tengah peningkatan permintaan perjalanan udara dan usaha pemerintah untuk menyatukan pulau-pulau di Indonesia, izin pembentukan maskapai dipermudah.

Rusdi Kirana, mantan penjual mesin tik dan calo tiket di Bandara Soekarno Hatta, mengambil peruntungan deregulasi ini dengan membentuk Lion Air.

Sayangnya, menurut Langewiesche, Rusdi tidak memiliki komitmen tinggi pada kualitas pelayanan. Salah satu indikatornya, Rusdi disebut pernah menunjuk tempat sampah sebagai divisi pengaduan konsumen.

Sialnya, Rusdi tidak sendirian. Apa pula Adam Suherman, pendiri maskapai Adam Air.

Adam Air tak memiliki kepedulian pada keselamatan. Langewiesche menjelaskan, salah satu pesawat 737 milik Adam Air memiliki 154 catatan bermasalah dari pilot-pilot yang menerbangkannya.

Ketika mengejar pertumbuhan bisnis penerbangan seraya lalai akan standar keamanan dan merekrut pilot di bawah kualitas, Indonesia disebut-sebut memiliki rasio kecelakaan lebih tinggi 15 kali lipat dibandingkan rata-rata global pada 2003 hingga 2007. Akibatnya, pada 2007, AS dan Eropa melarang maskapai-maskapai Indonesia memasuki wilayah udaranya. Namun, karena saat itu hanya Garuda Indonesia yang terbang rutin ke Eropa, Langewiesche menyebut pelarangan itu sebagai simbol kekhawatiran AS dan Eropa atas dunia dirgantara Indonesia.

Inilah yang di kemudian hari menjadi sebab jatuhnya Max dari langit Indonesia.

Jika diperhatikan, kecelakaan-kecelakaan Lion Air umumnya terjadi pada fase take-off atau landing. Menurut Langewiesche, ini membuktikan ada yang salah dengan penerbangnya karena pada fase ini autopilot belum aktif.

Di luar penyebab kejatuhan Boeing 737 Max, larangan terbang terasa sangat menyakitkan bagi maskapai-maskapai yang memiliki jenis pesawat ini. Sebagaimana dilansir Forbes, selain Lion Air, maskapai China Southern dan Turkish Airlines harus rela kehilangan potensi pendapatan senilai $370 juta dan $270 juta setelah Max dikandangkan.

Industri penerbangan kehilangan potensi pendapatan senilai total $4,1 miliar akibat 41 juta kursi penerbangan tidak bisa dijual atau harus dibatalkan karena ketiadaan Max.

Delapan tahun berlalu sejak penandatangan bisnis yang dihadiri Obama itu, Boeing 737 Max gagal mengantarkan masa depan yang gemilang bagi Lion Air.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI PESAWAT atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf