tirto.id - Alih-alih sebagai penyanyi, selama ini saya lebih mengenal Syahrini (Rini Fatimah Jaelani) sebagai salah satu pesohor paling populer di media sosial.
Sialnya, suaranya sebenarnya bagus. Tapi ia terlanjur menceburkan diri ke dunia showbiz yang justru lebih riuh oleh kontroversi, caci-maki para haters, dan gemerlap untung dari bisnis endorsement.
Saat gaya hidupnya diangkat ke layar lebar bergenre komedi, saya penasaran: apakah orang-orang akan tertawa sebagaimana selama ini mereka menertawakan tingkahnya yang manjyaaah?
Syahrini tidak berperan menjadi siapa-siapa kecuali dirinya sendiri: seorang penyanyi yang ditaksir punya jutaan penggemar. Manajernya, Nina (Ririn Ekawati), setia mendampingi Syahrini yang selalu dipanggil “Inces” (asal kata “princess”, bukan hubungan sedarah, lho).
Bodyguard Ugal-Ugalan menawarkan premis yang sangat amat sederhana. Suatu ketika, kehidupan Syahrini terganggu oleh orang yang tak dikenal. Ia lantas menemui Erin (Tamara Blezynski), sahabatnya saat kuliah yang memiliki perusahaan jasa sewa keamanan bernama The Guardians.
Syahrini kemudian memilih Boris (Boris Bokir), Acho (Muhadkly Acho), Lolox (Lolox), Anyun (Anyun Cadel) dan Jessica (Melayu Nicole Hall) sebagai pengawal pribadinya. Para aktor ini rata-rata berlatar sebagai stand-up comedian.
Kelimanya, kecuali Lolox, sebenarnya sudah dipecat dan tinggal menerima pesangon. Mereka terlalu ugal-ugalan dalam bertugas, sehingga kerap merugikan perusahaan.
Tapi Syahrini tidak sreg dengan tawaran pengawal dari Erin sebab “tampangnya terlalu sangar”. Maka Boris dan kawan-kawan yang ia pilih.
Konser tunggal yang Syahrini gelar di sebuah gedung mewah pada awalnya berjalan lancar. Namun usai lagu kedua, ia diculik para penarinya sendiri. Boris, Acho, Anyun, dan Jessica segera melakukan usaha penyelamatan, sementara Lolox sibuk berurusan dengan lem.
Bodyguard Ugal-Ugalan adalah rangkaian sketsa komedi “slapstick”. Rumusnya sama persis dengan film-film Warkop DKI.
Di permulaan film, misalnya, Acho bertemu dengan pengemis yang masih muda, segar, dan bugar. Ternyata ia seorang stylish, punya sepeda motor, lengkap dengan ponsel pintar dan pacar yang tertipu sebab tahunya si laki punya kerjaan beken.
Lolox adalah pengawal paling obsesif dengan perempuan. Pernah ia terpesona dengan perempuan cantik yang parkir mobil di belakang mobilnya. Si perempuan barangkali masih awam menyetir, sehingga menabrak mobil Lolox. Muka Lolox pun belepotan kena saus donat yang hampir ia makan.
Dan lain-lain. Dan lain-lain. Dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan cerita utama film. Saya juga tidak mampu tertawa. Bukan hanya karena kontennya tidak sejalur dengan selera humor saya, namun banyak di antaranya yang plagiat belaka.
Boris pernah digambarkan sedang dalam perjalanan di pinggir kota, lalu bertanya waktu kepada seorang penggembala sapi. Penggembala menjawab dengan cara mengangkat zakar si sapi. Boris yang heran bertanya soal teknik tersebut, lalu ditunjukkan bahwa zakar sapi hanya menghalangi jam di sebuah menara.
Sketsa tersebut sama persis dengan salah satu adegan di film Italia berjudul Le Barzelette (2004). Adegan asli dalam film yang disutradarai Carlo Vanzina itu bukan memakai sapi, melainkan keledai. Potongan sketsanya sudah viral di YouTube dan di berbagai akun media sosial.
Saya curiga, jangan-jangan video komedi yang viral memang menjadi sumber inspirasi si penulis naskah. Di sketsa-sketsa lanjutan, kecurigaan saya makin terbukti adanya.
Muncul sketsa Boris sebagai bek yang selalu kena bola yang beberapa kali ditendang pemain lawan. Adegan ini serupa dengan video kiper yang selalu kena bola di kepalanya saat sedang menghadapi adu penalti.
Kontennya dimuat beberapa akun di YouTube, sehingga sulit untuk melacak unggahan yang orisinal. Keterangan di permulaan video menyebutkan produsennya adalah Studio C.
Ada adegan Lolox saat SD keliru menjawab soal matematika sebab temannya memberi contekan jawaban “3” memakai jari, tapi bagi Lolox adalah simbol “ok”. Atau saat Anyun mengerjai Lolox memakai sulap botol air.
Lelucon-lelucon ini sama sekali tidak mengandung kebaruan. Cuma dijiplak untuk menyumpal narasi utama agar film punya durasi normal, dan sekali lagi, tidak ada hubungannya dengan cerita utama.
Lolox yang gagal menjawab soal matematika adalah duplikasi plek-plekan dari adegan di Cinema Paradiso (1988) besutan Giuseppe Tornatore. Salvatore Di Vita kecil memberi tahu jawaban pertanyaan dari guru kepada Boccia, teman sekelasnya yang bodoh, memakai gambar pohon Natal dan pertanyaan "5x5" dijawabnya "hari Natal".
Jika ada yang agak orisinal, ujung-ujungnya garing. Contohnya saat Syahrini melihat ke atas, semua orang heran, dan ternyata ia hanya mau bersin.
Atau lelucon kata kunci wi-fi “makan dulu” yang ditanyakan Acho usai makan. Atau saat pelayan menyebut satu persatu jenis menu makan malam dengan lantang dan sangat mengganggu.
Delusional memang, jika kita berharap banyak dari film yang menurut Tamara syutingnya cuma tujuh hari ini. Adegan demi adegan tak masuk akal pun berseliweran.
Mulai dari maling yang dibiarkan pergi usai ketahuan oleh Syahrini, sampai perampokan di siang bolong oleh lima orang bertampang sangar.
Seluruh adegan tak masuk akal seakan-akan tidak dipersoalkan sutradara, mentang-mentang tajuknya film komedi. Tentu saja film ini meniadakan akting yang bermutu, sebab gimmick dan ekspresi komikal dari para “aktor” dianggap cukup untuk membawakan materi skenario.
Syahrini adalah lelucon terbesar bangsa ini, di hari ini. Demikian kesimpulan hiperbolis saya usai keluar dari bioskop. Apalagi usai membaca laporan Antara bahwa ia tidak membaca dan tidak menghafal naskah film.
“Pusing,” katanya.
Produsen film ini jelas-jelas hanya mengeksploitasi tingkah Syahrini yang khas. Kata-kata “hempas”, “syantik”, “cetar membahana”, keluar tiap kali Syahrini buka mulut. Sebuah merek dagang yang, meski ditertawakan bayak orang, hanya Syahrini cueki.
Syahrini pernah menyatakan Indonesia masuk ke wilayah Asia Timur. Ia pernah berfoto di jalan tol Surabaya. Ia pernah menuliskan “sun fransisco” di Instagram, juga “i'm feel free” yang seharusnya “i feel free” atau “i'm feeling free”, sementara “celfie” ia pakai alih-alih “selfie”.
Apakah ia menyesal? Malu? Entah. Satu-dua konferensi pers atau konfirmasi di unggahan lain selalu jadi solusi. Apakah ia tidak nyaman dengan banyaknya akun yang menjadi haters setia, atau mereka yang selalu mencaci-maki dengan ganas? Kurang tahu juga.
Tapi satu hal yang pasti: Syahrini adalah contoh terbaik dari pesohor yang punya karier karena memakai rumus “tidak ada yang namanya publikasi yang buruk”.
Kontroversi, caci-maki, kebencian orang lain terhadapnya, justru jadi bahan bakar untuk menaiki tangga popularitas. Haters justru jadi sumber pundi-pundi uang. Dalam kasus Syahrini, termasuk jika jadi bahan tertawaan oleh orang-orang se-nusa, se-bangsa, dan se-tanah air.
Bowo Tik Tok, Young Lex, Awkarin, dan orang-orang yang menyemat status “artis” lain, berada di jalur yang sama. Apa yang mereka usung sebagai “bakat” tenggelam oleh banjir kontroversi dan caci-maki, yang diramaikan media massa kacangan, juga warganet yang punya terlalu banyak waktu luang.
Dulu saya tak pernah bisa memastikan apakah Syahrini benar-benar bodoh atau sengaja menjadi bodoh. Dunia showbiz dipenuhi beragam karakter yang membuat segalanya terasa abu-abu.
Saya memperoleh pencerahan pada bulan Maret lalu, saat Syahrini mengunjungi Holocaust Memorial di Berlin, Jerman. Sang “Inces” mengunggah foto di fitur story Instagram, yang memperlihatkan ia sedang berdiri di antara balok-balok memorial.
Ada pula video di mana ia berujar dengan santai, “Bagus yah, tempat Hitler bunuh-bunuhan dulu.”
Wow.
Seperti biasa, kontroversi ini menguap oleh permintaan maaf panjang yang Syahrini unggah di postingan selanjutnya. Ia juga segera menghapus foto maupun video yang diambil di lokasi kejadian.
Kasus ini membuka mata saya betapa buruk mutu selebritas kita. Sayangnya, pamer kedunguan macam Syahrini tidak menghentikan pertunjukan glamornya di dunia hiburan tanah air. Kasus itu seolah-olah tidak berarti apa-apa baginya, dan bagi para pesohor dengan gaya hidup serupa.
Buktinya, beberapa bulan berselang, film Bodyguard Ugal-Ugalan tayang di bioskop-bioskop tanah air. Dan kembali ke pertanyaan saya di awal: apakah para penonton tertawa?
Ya, mereka tertawa. Terbahak-bahak di banyak adegan dan sketsa. Setidaknya mereka yang menonton bersama saya di Pejaten Village XXI, pada Kamis (5/6/2018) sore. Mereka terhibur, yang berarti Syahrini beserta kru film telah berhasil menjalankan misi dari sang produser.
Maybe the joke is not on her. But on me. On us.
Editor: Ivan Aulia Ahsan