tirto.id - BJ Habibie meninggal dunia pada Rabu (11/9/2019) di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Presiden RI ke-3 ini mengalami detik-detik penting usai runtuhnya Orde Baru pada 21 Mei 1998, termasuk dicopotnya Prabowo Subianto dari jabatan Pangkostrad setelah mendengar laporan dari Panglima ABRI kala itu, Wiranto.
Proses naiknya BJ Habibie sebagai presiden terkait dengan Reformasi 1998. Lantaran kuatnya desakan mahasiswa dan rakyat, Soeharto akhirnya menyatakan mundur dari posisinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998.
Sesuai konstitusi, BJ Habibie yang semula menjabat wapres kemudian dikukuhkan menjadi Presiden RI ke-3, tanpa Sidang Umum MPR dan tanpa ucapan selamat dari Soeharto.
Selama masa pemerintahan BJ Habibie yang berlangsung hingga 20 Oktober 1999, ada beberapa perubahan terjadi di Indonesia, termasuk lahirnya UU Pers, UU BI, mendirikan Bank Mandiri, juga lepasnya Timor Timur yang akhirnya menjadi negara sendiri bernama Timor Leste.
BJ Habibie baru mengungkap alasan di balik kebijakan-kebijakan politiknya melalui buku Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi yang terbit pada 2006. Pengungkapan ini, seperti kata mutiara BJ Habibie dalam pengantar buku itu, dipersembahkan kepada rakyat Indonesia.
Di buku itulah, pendiri industri pesawat terbang IPTN ini membeberkan detik-detik yang menentukan sekaligus menegangkan menjelang pergantian kekuasaan dan setelahnya, termasuk pertemuan khusus dengan Presiden Soeharto sehari sebelum lengser pada 21 Mei 1998.
“Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?” tanya BJ Habibie seperti yang tertulis dalam bukunya.
Jawaban Soeharto ternyata di luar dugaan BJ Habibie. “Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai presiden.”
Laporan Wiranto kepada Habibie
Setelah resmi menjabat sebagai Presiden RI selepas mundurnya Soeharto, BJ Habibie langsung menghadapi berbagai persoalan rumit. Dalam 100 hari pertama, salah satu tantangan terberat adalah membentuk kabinet baru, termasuk menentukan jabatan Menhankam/Panglima ABRI (Pangab).
“Pada hari Jumat, tanggal 22 Mei 1998 pukul 06.10, saya menelepon Jenderal Wiranto dan menyampaikan bahwa saya telah memutuskan untuk memintanya tetap menjadi Menhankam/Pangab dalam Kabinet Reformasi Pembangunan,” ungkap BJ Habibie.
Namun, pilihan BJ Habibie tak sepenuhnya bisa diterima semua pihak. Tak lama kemudian, Danjen Kopassus Mayor Jenderal Muchdi P.R. dan Mayor Jenderal Kivlan Zen menghadap presiden. Keduanya membawa surat dari Pangkostrad Prabowo Subianto dan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Dalam bukunya, BJ Habibie tidak menjelaskan secara gamblang isi surat dari Prabowo, namun tidak demikian dengan surat dari AH Nasution yang diungkapkannya.
“Yang menarik adalah surat dari Bapak Jenderal Besar Nasution yang menyarankan agar KSAD Jenderal Subagio Hadi Siswoyo diangkat menjadi Pangab dan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto menjadi KSAD,” sebut BJ Habibie.
Pagi tanggal 22 Mei 1998, Wiranto menghadap Presiden BJ Habibie. Panglima ABRI melaporkan bahwa ada gerakan pasukan -yang ditengarai sebagai pasukan Kostrad- menuju Jakarta. Selain itu, masih laporan Wiranto, terdapat konsentrasi pasukan di kediaman BJ Habibie di Kuningan dan Istana Merdeka.
Dari laporan tersebut, Habibie berkesimpulan bahwa Pangkostrad, yang saat itu dijabat Prabowo Subianto, bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Wiranto selaku Panglima ABRI. BJ Habibie berpikir bahwa ia harus segera membuat keputusan secara cepat.
“Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing,” titah Presiden BJ Habibie.
Menurut BJ Habibie, siapa Pangkostrad pengganti Prabowo menjadi tanggung jawab Panglima ABRI. Wiranto mengusulkan agar Asisten Operasi Pangab Letjen Johny Lumintang ditunjuk sebagai Pangkostrad sementara untuk mengembalikan semua pasukan ke basis sebelumnya.
Johny Lumintang akhirnya dilantik sebagai Pangkostrad dalam upacara serah terima jabatan yang dilangsungkan pada malam hari tanggal 22 Mei 1998. Keesokan paginya, tanggal 23 Mei 1998,
Jabatan Pangkostrad diemban Johny Lumintang hanya beberapa jam saja lantaran situasi yang mendesak. Keesokan harinya tanggal 23 Mei 1998 pagi, Mayjen Djamari Chaniago dilantik sebagai Pangkostrad. Djamari sebelumnya menjabat Panglima Divisi Siliwangi.
Perdebatan Habibie vs Prabowo
Melalui bukunya, BJ Habibie menceritakan bahwa Prabowo hendak menemuinya di Istana Merdeka tak lama setelah ia dicopot dari jabatan Pangkostrad. BJ Habibie sempat ragu, namun akhirnya ia bersedia bertemu Prabowo pada 23 Mei 1998 itu.
Keraguan BJ Habibie muncul karena Prabowo kala itu masih menantu Soeharto, mantan presiden sekaligus mentornya. Beberapa kalangan menganggap Prabowo sering memperoleh keistimewaan, termasuk dalam hal kariernya di ketentaraan.
Masuklah Prabowo ke ruang kerja presiden. Tanpa basa-basi, putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo ini langsung menukas perihal pemecatannya dari jabatan Pangkostrad dengan membawa-bawa nama keluarga dan mertuanya.
"Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto, Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad," tukas Prabowo dalam bahasa Inggris, sebagaimana disampaikan Habibie dalam bukunya.
"Anda tidak dipecat, tetapi jabatan Anda diganti," elak Habibie.
"Mengapa?" tanya Prabowo.
BJ Habibie menjawab, “Saya menyampaikan bahwa saya mendapat laporan dari Pangab bahwa gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan Istana Merdeka.”
"Saya bermaksud untuk mengamankan presiden," potong Prabowo.
"Itu adalah tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab langsung pada Pangab dan bukan tugas Anda," tegas Habibie.
"Presiden apa Anda? Anda naif!" sembur Prabowo dengan nada marah.
"Masa bodoh, saya presiden dan harus membereskan keadaan bangsa dan negara yang sangat memprihatinkan," tandas BJ Habibie.
"Atas nama ayah saya Prof. Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya Presiden Soeharto, saya minta Anda memberikan saya tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad," desak Prabowo.
"Tidak!" BJ Habibie menjawab dengan tegas, "Sampai matahari terbenam Anda sudah harus menyerahkan semua pasukan kepada Pangkostrad yang baru!"
"Berikan saya tiga minggu atau tiga hari saja untuk masih dapat menguasai pasukan saya," balas Prabowo
"Tidak! Sebelum matahari terbenam semua pasukan sudah harus diserahkan kepada Pangkostrad baru!" ulang BJ Habibie sembari melanjutkan, "Saya bersedia mengangkat Anda menjadi duta besar di mana saja.
Namun, Prabowo tidak mau dan tetap memaksa. "Yang saya kehendaki adalah pasukan saya!"
"Ini tidak mungkin, Prabowo!" tegas presiden.
Usai pertemuan itu, Prabowo pulang. Presiden Habibie kemudian menempatkannya di Bandung sebagai komandan Sekolah Staf Komando ABRI.
Beberapa waktu kemudian, Wiranto selaku Panglima ABRI membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk menyidangkan Prabowo. Tapi keputusan DKP sampai kini masih menjadi kontroversi.
Belum terkuak dengan pasti apakah Presiden BJ Habibie memang menandatangani keputusan tentang pemberhentian Prabowo Subianto dari Dinas Keprajuritan ABRI dengan hormat dan memperoleh hak pensiun perwira tinggi.
Misteri ini masih menjadi teka-teki setelah berlalu cukup lama, bahkan hingga BJ Habibie wafat pada 11 September 2019. Atas mangkatnya Presiden RI ke-3 ini, Prabowo yang kini memimpin Partai Gerindra mengucapkan belasungkawa melalui Twitter.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Saya atas nama pribadi dan keluarga besar Partai Gerindra mengucapkan turut berduka cita atas wafatnya Presiden Republik Indonesia ke-3 Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie. Semoga ditempatkan di sisi Allah SWT. Aamiin YRA,” tulis Prabowo.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
— Prabowo Subianto (@prabowo) September 11, 2019
Saya atas nama pribadi dan keluarga besar partai @Gerindra mengucapkan turut berduka cita atas wafatnya Presiden Republik Indonesia ke 3 Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie. Semoga ditempatkan di sisi Allah SWT. Aamiin YRA.