Menuju konten utama

Bisakah Produk Kopi Kapsul Menaklukkan Coffeeholic Indonesia?

Masalahnya, di negara berkembang seperti Indonesia, mesin kopi kapsul masih dianggap mahal.

Bisakah Produk Kopi Kapsul Menaklukkan Coffeeholic Indonesia?
Tren terbaru bagi pecinta kopi dalam bentuk kopi kapsul. FOTO/Coca-Cola Amatil Indonesia

tirto.id - Hugh Jackman suatu ketika pernah berkata: wangi kopi yang baru diseduh itu adalah salah satu penemuan terbaik. Mungkin saat itu ia belum bertemu dengan mesin kopi.

Pada awalnya, pembuatan kopi selalu sederhana. Hanya butuh bubuk kopi, air panas, dan bisa ditambahkan pemanis lain. Entah itu gula pasir, gula cokelat, atau susu. Tapi dunia kopi terus berkembang dan melahirkan penemuan-penemuan terbaik dalam menyeduh kopi. Gabungan antara metode tradisional, matematika, dan juga fisika.

Salah satu contohnya adalah kehadiran mesin pembuat kopi elektronik. Wigomat disebut-sebut sebagai mesin kopi elektronik pertama. Ia dipatenkan oleh penciptanya, Gottlob Widmann, pada 1954. Cara kerjanya menjadi cetak biru bagi mesin-mesin kopi generasi berikutnya.

Ada tiga tabung kaca pada mesin ini. Satu tabung paling besar berisi air. Dari tabung itu, ada semacam selang logam yang berfungsi mengucurkan air panas ke tabung bawahnya yang berisi bubuk kopi. Tetesan itu nantinya akan menggenangi bubuk kopi, dan meneteskan kopi ke dalam buli-buli di bawahnya. Metode penyeduhan ini disebut dengan drip.

Dari sana, kelahiran mesin-mesin kopi seperti tak terbendung. Mesin kopi ini membawa perubahan besar dan seperti tak kasat mata. Contoh: berkurangnya kepemilikan ceret untuk merebus air. Fenomena ini terjadi di Inggris. Di sana, tingkat permintaan ceret turun lebih dari 7,5 persen dalam periode 2008-2013. Penjualannya pun turun, dari 8,1 juta unit ceret pada 2007, menjadi hanya 7,5 juta ceret pada 2012. Pada 2008, ada 83 persen populasi Inggris yang punya ceret, lalu turun menjadi hanya 78 persen.

Sebaliknya, penjualan mesin pembuat kopi meningkat. Pada 2008, 16 persen rumah tangga punya mesin pembuat kopi di rumah. Pada 2013, jumlahnya naik jadi 22 persen. Penjualan alat-alat dan mesin pembuat kopi di Inggris bernilai £52 juta pada 2008, dan naik jadi £69 juta pada 2012. Apa boleh buat. Mesin kopi bisa dianggap lebih praktis ketimbang menyeduh kopi dengan ceret, pula dianggap lebih hemat energi.

Baca juga: Tak Ada Kopi yang Kenikmatannya Mutlak

Mesin kopi juga berkembang sesuai kebutuhan. Jika sebelumnya mesin kopi identik dengan pembuatan dalam porsi besar dan karenanya identik dengan perkantoran, maka lahirlah pula mesin kopi yang menyajikan kopi per porsi. Mesin kopi jenis ini akrab dengan rumah tangga, karena porsi bisa dibuat satuan. Penjualan mesin ini turut mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat, 1,2 juta mesin kopi single-serve terjual pada 2006. Jumlahnya melonjak jadi 4,1 juta unit di 2010.

Salah satu mesin kopi single-serve pertama adalah Senseo, yang dibuat oleh dua perusahaan Belanda, Philips dan Douwe Egberts. Mesin ini pertama dirilis pada 2001 di Belanda, lalu mengikuti Belgia, Prancis, hingga Amerika Serikat dan Australia. Mesin kopi ini memakai kopi yang sudah dikemas dalam bentuk pod—saringan berbentuk bundar yang mirip dengan teh celup. Mesin ini menuai kesuksesan besar. Hingga 2008, mesin ini terjual lebih dari 20 juta unit.

Nama lain yang kemudian jadi nama besar dalam industri mesin kopi single-serve ini adalah Keurig. Mesin mereka menggunakan K-Cups, kopi yang diletakkan dalam wadah plastik mirip bungkus pasta cokelat era 90-an, alias versi lebih kecil dari kudapan Nyam-Nyam.

Infografik kopi kapsul

Kemudian menyusul produk Nespresso dari Nestle, Tassimo dari Kraft, dan yang terbaru: Grinders Caffitaly System yang dibuat oleh Coca-Cola Amatil Indonesia (CCAI), Grinders Coffee Roaster, dan Caffitaly System. Produk ini diluncurkan pada 19 Desember 2017. Ada tiga jenis mesin kopi yang diluncurkan, yakni Milano, Roma, dan Venice.

"Produk ini akan siap di seluruh Jawa dalam seminggu ke depan. Dan untuk pasar Kalimantan serta Sulawesi, produk ini akan hadir dalam waktu 2-3 minggu, tergantung pengiriman dari Jakarta," ujar Mark Payne, Direktur Penjualan CCAI.

Baca juga: Siap-Siap Indonesia Kedatangan Kopi dari Coca-Cola

Jika menengok desain produk, Caffitaly tak banyak beranjak dari produk yang sudah terkenal lebih dulu. Produk Milano, misalkan, bisa dibilang kembar identik dengan produk Cappuccina. Untuk produk kemasan kapsul, bentuknya mirip dengan K-Cups yang dikeluarkan oleh Keurig. Bukan kebetulan kalau desain kapsul keluaran CCAAI ini mirip dengan Keurig yang dimiliki oleh Green Mountain Coffee Roasters. Sebab Coca-Cola memang mempunyai 16,5 persen saham di Green Mountain.

CCAI sadar bahwa pasar persaingan kopi di Indonesia amat berat. Tapi mereka percaya diri, sebab bisa dibilang kuda-kuda mereka sudah kokoh. Persiapan peluncuran produk ini sudah dilakukan sejak Desember 2016. Selain itu, CCAAI punya 830.00 pelanggan di seluruh Indonesia.

"Produk ini sudah disiapkan dengan matang, dengan melihat potensi dan melihat kemampuan dari semua partner. Kami semua solid, established brand. Dari kualitas kopi Grinder dan mesin dari Caffitaly, kami optimis," ujar Presiden Direktur CCAI, Kadir Gunduz.

Optimisme seperti itu memang beralasan. Secara global, pangsa pasar mesin kopi single-serve ini memang cerah. Lembaga riset pasar Euromonitor menyebut bahwa kopi dalam kemasan kapsul ini mencatatkan pertumbuhan tercepat dalam industri kopi, bahkan juga di kategori minuman panas secara umum.

Dalam kurun 2011-2016, pertumbuhan tahunan penjualan kopi kapsul ini mencapai 18 persen. Meski demikian, yang patut dicatat, angka pertumbuhannya menurun. Pada 2017, angka pertumbuhannya hanya 9 persen. Pada 2021, diperkirakan pertumbuhannya akan berada di kisaran 5 persen saja.

Euromonitor juga mencatat bahwa pasar tersubur kopi kapsul dan mesin pembuatnya adalah negara-negara maju. Konsumsi kopi kapsul yang signifikan dari negara berkembang hanya ada di Ceko, Slovakia, dan Israel.

"Selain tiga negara itu, konsumsi paling besar berada di kawasan Australasia, Amerika utara, dan Eropa Barat," tulis laporan ini.

Baca juga: Kota yang Hidup dari Kopi

Salah satu penghalang utama larisnya mesin kopi single-serve dan kopi kapsul di negara berkembang adalah: harganya yang kerap dianggap terlampau mahal. Produk Venice dari CCAI, misalkan. Harga mesinnya dibanderol Rp1,8 juta. Bahkan Milano mencapai Rp3,5 juta. Sedangkan di beberapa lapak online, mesin Nespresso dari Nestle dipatok Rp3,4 juta hingga Rp6 juta. Sedangkan untuk kopi kapsulnya, satu pak isi 10, harganya berkisar antara Rp110 ribu hingga Rp150 ribu.

"Mungkin akan ada pembuatan mesin serupa di harga bawah. Kalau itu terjadi, produk kopi kapsul ini akan bisa menggapai kalangan menengah di pasar negara berkembang," tulis Euromonitor.

Jika prediksi Euromonitor benar, CCAI dan semua produsen mesin kopi single-serve harus berjuang keras untuk menaklukkan hati para peminum kopi di Indonesia. Selagi menunggu hasilnya, sepertinya penjualan ceret di Indonesia masih tetap akan laris.

Baca juga artikel terkait KOPI atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani