tirto.id - "Bagi sebagian orang, kopi itu kebutuhan primer," kata Syahrani Rahim, pendiri kafe Coffee Life yang terletak di Cilandak, Jakarta Selatan.
Tiga tahun lalu, dengan modal Rp450 juta, Rani --panggilan akrabnya-- dan kakak lelakinya membuka kafe karena tak bisa melepaskan diri dari pengalaman ketika tinggal di Melbourne, Australia. Di kota yang kerap dijuluki sebagai ibu kota kopi dunia itu, Rani jatuh cinta dengan kopi dan ingin membawa kecintaannya itu ketika pulang ke Indonesia.
Setelah menyewa satu bangunan di Jalan Margasatwa Raya, Rani memulai bisnisnya. Pelan tapi pasti, bisnisnya berkembang. Para pengunjung yang terkesan dengan kopi di sana, menjadi langganan.
Kafe seperti Coffee Life, yang menjual kopi Arabika dengan kualitas baik memang berkembang sangat pesat sejak Starbucks, jaringan kafe internasional asal Amerika Serikat, masuk ke Indonesia pada 2002. Lima tahun kemudian, Anomali Coffee berdiri dan menyebabkan ledakan jumlah kafe kopi di Jakarta.
Menurut lembaga riset pasar Euromonitor, kedai kopi specialty dan kafe waralaba di Indonesia bertumbuh cepat sejak lima tahun terakhir. Kini jumlahnya di Indonesia sekitar 1.083 kedai. Sebagian besar ada di Jakarta. Masih menurut Euromonitor, pertumbuhan penjualan kopi untuk konsumsi pribadi mencapai pertumbuhan 7 persen setahun. Nilai perdagangannya diperkirakan bisa mencapai Rp11,9 triliun pada 2020.
Pertumbuhan kafe seperti ini membuat konsumsi kopi di tingkat lokal jadi meningkat. "Kini ketersediaan kopi dari Indonesia untuk pasar internasional mulai menurun, karena banyak dikonsumsi di tingkat domestik," ujar Thomas Copple, ahli ekonomi di International Coffee Organization. "Konsumsi kopi biasanya cenderung meningkat seiring perkembangan ekonomi," katanya lagi.
Pendapat ini didukung oleh data dari Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI). Pada 2014, kebutuhan kopi dalam negeri diperkirakan mencapai 260.000 kilogram. Kemudian naik menjadi 280.000 kilogram pada 2015, dan pada tahun ini diperkirakan kebutuhan kopi dalam negeri mencapai 300.000 kilogram. Begitu pula konsumsi kopi per kapita. Jika pada 2014 angkanya adalah 1,03 kilogram per kapita per tahun, kemudian naik menjadi 1,09 kilogram pada 2015. Di tahun ini angkanya diprediksi mencapai 1,15 kilogram per kapita.
Tentu saja angka ini masih jauh ketimbang angka konsumsi negara rakus kopi seperti Belanda dan Norwegia yang diperkirakan angka konsumsinya mencapai 16 kilogram per kapita. Tapi tetap saja ini kabar baik, apalagi jika dibandingkan dengan konsumsi kopi dalam negeri yang hanya 0,8 kilogram per kapita.
Kopi di Jakarta juga menemukan hidup dan pecintanya sendiri-sendiri. Jika uangmu hanya tersisa selembar Sultan Mahmud Badaruddin tapi tetap ingin ngopi, cegatlah para penjual kopi sepeda. Yang mereka jual adalah kopi kemasan, disajikan dalam gelas plastik. Harganya memang amat terjangkau, sekitar Rp4 ribu saja. Sisa tiga lembar uang bergambar Pangeran Antasari masih bisa dibelikan cemilan atau beberapa batang rokok untuk teman ngopi. Bukan pilihan yang buruk.
Jika sedang ada uang lebih dan ingin ngopi pada pukul 3 pagi, ada banyak gerai 7-11 dan Circle K, bahkan Indomaret Point, yang menjual kopi sejak dari biji yang sudah disangrai. Pelanggan bisa memilih sendiri jenis kopi yang diinginkan. Circle K bahkan menyediakan kopi dari area-area tertentu. Harganya sedikit lebih mahal ketimbang kopi sepeda. Di gerai minimarket ini, kopi bisa dinikmati dari harga Rp9 ribu hingga Rp15 ribu.
Meningkat lebih ke atas lagi, ada kafe artisan yang menjual kopi dengan harga dengan rentang harga belasan ribu hingga puluhan ribu. Dari Cilandak ada Coffee Life, di Kemang ada Coffee War, di Tebet ada Kopikina. Itu hanya beberapa contoh dari ratusan kafe artisan di Jakarta.
Kemudian secara kuantitas, ada pula kafe besar yang kemudian menjelma jadi jarangan waralaba dan buka cabang di mana-mana. Anomali berawal dari satu gerai, kemudian kini berkembang jadi tiga gerai dan satu pusat pelatihan di Jakarta. Mereka juga punya satu pusat pelatihan di Bali dan satu gerai yang juga merangkap tempat sangrai.
Nama lain yang termasuk nama besar adalah Bakoel Koffie. Berawal dari warung nasi yang didirikan sejak 1870 oleh Tek Sun Ho, kafe ini jadi besar dan punya empat gerai di Jakarta.
"Kopi itu seperti wine-nya Indonesia," kata Syenny Chatrine Widjaja pada Financial Times. Menurut perempuan yang sekarang menjalankan Bakoel Koffie, kini pendapatan dari satu gerainya mencapai Rp300 juta hingga Rp500 juta dalam sebulan.
Modal mendirikan kafe memang tak murah. Tanamera Coffee, misalkan. Salah satu kafe dengan kualitas kopi terbaik di Jakarta ini mengeluarkan dana sekitar Rp2,9 miliar untuk membeli mesin sangrai kapasitas 60 kilogram. Sedangkan mesin espresso mereka beli seharga Rp450 juta. Namun menurut Ian Criddle, co-founder Tanamera, pendapatan mereka meningkat empat kali lipat sejak tiga tahun terakhir, dan sudah balik modal.
Sedangkan kafe skala menengah seperti Coffee Life berjalan lebih santai. Hingga menginjak tahun ketiga, Rani mengaku belum balik modal. Dari pendapatan kafe plus usaha sangrai kopinya, dalam sebulan pendapatan Coffee Life berkisar Rp40 juta sampai Rp60 juta.
"Jujur saja, sebenarnya bagi kami enggak terlalu penting balik modal atau enggak. Yang penting bisa bayar pegawai dan sewa tempat, dan masih bisa ngulik-ngulik kopi dan minum sepuasnya," ujar Rani yang memperkirakan akan balik modal di tahun keempat atau kelima.
Semakin banyak kafe waralaba dan artisan di Jakarta juga berarti persaingan yang makin ketat. Menurut Rani, bisnis kafe di Jakarta masih punya prospek cerah. Terutama di tempat-tempat yang belum ada kopi dengan segmen pembeli kelas menengah. Apalagi dengan pertumbuhan kelas menengah yang semakin besar di Jakarta.
"Tapi pasti akan terjadi survival of the fittest. Mungkin yang bakal punah adalah mereka yang ikut-ikutan. Produk, servis, harga, juga lokasi akan menentukan," kata Rani.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti