Menuju konten utama

Siap-Siap Indonesia Kedatangan Kopi dari Coca-Cola

Perusahaan ini akan merambah pasar minuman kopi siap saji di Indonesia yang ramai dan penuh persaingan.

Siap-Siap Indonesia Kedatangan Kopi dari Coca-Cola
Varian produk terbaru Coca Cola Coffee Plus. FOTO/Istimewa

tirto.id - Pasar persaingan produk kopi siap minum di Indonesia sepertinya akan semakin ketat. Pasalnya, Coca-Cola Amatil—yang beroperasi di Australia, Selandia Baru, Indonesia, Papua Nugini, Fiji, dan Samoa—berencana terjun ke pasar yang sudah padat itu. Seperti diwartakan oleh The Jakarta Post, Coca-Cola Amatil (CCA) akan berencana membawa produk kopi ke Indonesia untuk memperingati 25 tahun beroperasinya CCA di Indonesia.

"Produk ini bukan minuman dingin, tapi jika kamu mau, kamu bisa menambahkan es dan membuatnya jadi es kopi," ujarnya, tanpa memberi rincian detail produk itu.

Pasar Indonesia memang menjanjikan bagi CCA. Setengah tahun 2017, CCA Indonesia dan Papua Nugini membukukan 41 persen dari total pendapatan perusahaan. Pada April 2017, CCA Indonesia mengatakan akan menambah investasi senilai $500 juta. Dan mereka jelas tahu, pasar kopi Indonesia sedang bergairah.

Coca-Cola Company jelas dikenal bukan dari produk kopi. Didirikan pada 1886, produk unggulannya adalah Coca-Cola, minuman berkarbonasi berwarna hitam dengan rasa manis yang menggelitik. Pada 2015, Coca-Cola menjadi merek global terbaik versi perusahaan konsultan merek Interbrand. Perusahaan ini juga menobatkan Coca-Cola sebagai merek paling berharga setelah Apple dan Google. Ia dijual di lebih dari 200 negara.

Tapi tak banyak yang tahu kalau perusahaan Coca-Cola juga punya produk selain minuman berkarbonasi. Salah satu lini produk mereka adalah kopi. Yang terbaru, mereka merilis Coca-Cola Coffee Plus, minuman dengan 50 persen kafein. Ini adalah kola dengan rasa kopi, dijual terbatas di Jepang.

Baca juga:Hikayat Kopi Indonesia

Menyadari gaya hidup modern yang mengutamakan kesehatan, perusahaan ini juga merilis Coca-Cola Coffee Plus No Sugar, kola rasa kopi tanpa gula. Produk ini hanya dijual terbatas di Australia saja, dan hanya dijual pada musim panas.

"Orang Australia punya kecintaan besar pada kopi, jadi kami berpikir kenapa tidak memenuhi keinginan mereka?" ujar juru bicara Coca-Cola Australia, Lisa Winn.

Baca juga:130 Tahun Coca-Cola Berkutat dengan Isu Kesehatan

Merujuk ke belakang lagi, Coca-Cola juga pernah merilis produk Coca-Cola Blak. Minuman ringan bercita rasa kopi ini pertama kali dikenalkan di Prancis pada 2006. Produk ini kemudian dijual di Amerika Serikat dan pasar lain, terutama di Eropa. Di versi Amerika Serikat, setiap kemasan 240 mililiter Blak mengandung 46 miligram kafein. Dua kali lipat dibanding kafein di Cola klasik.

Tapi produk ini hanya bertahan dua tahun. Pihak Coca-Cola mengatakan bahwa rasa produk ini, "tidak untuk semua orang." Selain itu, harganya yang lebih mahal ketimbang Cola, dianggap membuatnya susah bersaing.

Baca juga:Kota yang Hidup dari Kopi

Kisah Coca-Cola dengan kopi akan tampak tidak harmonis jika alpa merujuk pada kesuksesan Georgia. Ini adalah mereka minuman kopi andalan Coca-Cola Company. Merek ini pertama kali diluncurkan di Jepang pada 1975. Awalnya produk ini hanya dijual di Jepang. Namun karena laris, maka ia dijual di negara lain. Sekarang, Georgia bisa ditemukan juga di Singapura, Korea Selatan, India, Bahrain, juga AS.

Sebagai produk sempalan, Georgia berhasil mengalahkan Cola klasik dalam soal penjualan di Jepang. Selain itu, menurut Euromonitor, Georgia adalah produk kopi siap minum terlaris di dunia. Penjualannya tiap tahun melampaui $1 miliar.

"Meskipun kami selalu memegang peringkat nomor satu di Jepang sejak 1986, kami selalu mengejar dan berusaha keras agar Georgia Coffee menjadi lebih baik, untuk menyediakan kopi siap minum terbaik," ujar Takashi Wasa, wakil presiden senior bidang pemasaran di Coca-Cola Jepang.

Infobgrafik Coca Cola

Coca-Cola Company memang tidak setengah-setengah dalam merambah bisnis kopi. Pada Februari 2014, misalkan. Mereka membeli 10 persen saham Green Mountain Coffee Roaster senilai $1,25 miliar. Pada tahun yang sama, Green Mountain Coffee Roaster berganti nama menjadi Keurig Green Mountain. Keurig sendiri sudah lama dikenal sebagai perusahaan pembuat mesin kopi kualitas wahid.

Tak butuh waktu lama, Coca-Cola Company kembali membeli saham Keurig Green Mountain sebesar 6 persen pada Mei 2014. Dengan total saham 16 persen, Coca-Cola Company menjadi pemilih saham terbesar di Keurig Green Mountain.

Apa daya, tidak semua usaha keras membuahkan hasil yang maksimal. Salah satu produk kerjasama mereka adalah Keurig KOLD. Ini adalah mesin yang bisa membuat minuman dingin—mulai Coca-Cola hingga Dr Pepper—di rumah. Harga jualnya tak murah, USD370. Padahal ada banyak mesin sejenis dengan harga yang jauh lebih murah. SodaStream, misalnya, hanya dijual USD79. Secara desain, produk ini juga dianggap gagal karena terlalu besar dan berisik. Setelah 9 bulan usai peluncuran, Keurig memutuskan menghentikan penjualan mesin ini.

Tapi kegagalan ini jelas tidak akan menghentikan Coca-Cola Company untuk terus berinovasi di bisnis kopi. Alasannya jelas: nilai penjualan kopi amat besar. Selain itu, pangsa pasar kopi juga besar. Perusahaan riset pasar, Mintel, pernah menulis bahwa 81 persen konsumen usia 16-34 tahun suka membeli minuman panas di luar rumah.

Di Indonesia, bisnis kopi siap minum juga punya prospek cerah. Hasil riset MARS Indonesia, selama 2010-2014 volume pasar kopi siap minum tumbuh 27,1 persen per tahun. Pada 2010 volume pasar minuman kopi siap minum adalah 51,91 juta liter. Pada 2014, jumlah itu tumbuh mencapai 134,17 juta liter. Nilai pasarnya pun amat besar. Pada 2010, angkanya adalah Rp441,9 miliar. Pada 2014, nilai pasar sudah mencapai Rp1,6 triliun.

Tapi tentu saja persaingannya juga ketat. MARS Indonesia mencatat hingga Agustus 2015, sudah ada 124 perusahaan minuman kopi siap minum. Masuknya Coca-Cola Amatil ke ceruk pasar kopi siap minum jelas akan menambah ketat persaingan ini.

Baca juga artikel terkait COCA COLA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Bisnis
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani